JAKARTA, borneoreview.co – Indonesia menjadi salah satu negara dengan penduduk terbanyak di dunia. Sesuatu yang membanggakan, jika saja tidak diikuti dengan masalah food waste.
Food waste atau sampah sisa makanan adalah momok bagi indonesia. Setidaknya, ini menjadi perhatian Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
Melansir berbagai sumber, Senin (17/3/2025), menurut Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) milik KLH, total timbulan sampah sepanjang 2024 mencapai 32,8 juta ton dan sampah sisa makanan sebanyak 39,43 persen.
Artinya ini sangat mengkhawatirkan karena food waste menjadi salah satu jenis sampah yang menyebabkan timbulan sampah nasional masih tinggi.
Food waste yang menumpuk di TPA menghasilkan gas metana dan karbondioksida dan keduanya tidak sehat untuk bumi.
Para 2016 lalu saja, diketahui dari The Economist Intelligence Unit, Indonesia merupakan penyumbang sampah makanan terbesar kedua di dunia.
Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) bahkan telah menyebutkan bahwa sekitar sepertiga dari makanan yang diproduksi di dunia untuk konsumsi manusia setiap tahun – sekitar 1,3 miliar ton – hilang atau terbuang.
Sedangkan di Indonesia saja, hampir 13 juta ton makanan terbuang setiap tahun. Makanan yang terbuang bisa memberi makan puluhan juta orang, bisa jadi sama dengan jumlah kelaparan yang sama di Indonesia.
Menurut data 2026 itu, Indonesia memang masih kalah dengan Arab Saudi. Negara ini membuang hampir 427 kilogram makanannya per orang setiap tahun.
Sememtara Indonesia, membuang hampir 300 kilogram makanan per orang setiap tahun.
Mengapa negara Indonesia dan Arab Saudi membuang begitu banyak makanan? Salah satu alasannya terletak pada tradisi yang hampir serupa antara kedua negara. Yakni, upacara perkawinan yang berlebihan.
Ditemukan bahwa 90 persen makanan yang dipasok selama upacara perkawinan di Indonesia dan Arab Saudi berakhir di kotak sampah karena orang-orang menggunakan acara semacam itu untuk memamerkan status mereka.
Bandingkan dengan Amerika Serikat. Warga di nehara ini hanya menghamburkan hampir 277 kilogram makanan per kapita setiap tahun pada tahun 2016.
Yang jelas, sampah organik yang dicampur dan diabaikan adalah salah satu penyumbang terbesar pemanasan global.
Plastik dan sampah tak-terdegradasi lainnya bukanlah satu-satunya masalah saat ini, limbah yang bisa terdegradasi juga mengambil bagian dalam memperburuk situasi lingkungan.
Memang, sampah organik menyimpan manfaat yang tak terhitung jumlahnya bagi kehidupan. Bisa menjadi kompos, bisa menjadi makanan bergizi bagi hewan peliharaan, dan juga berguna untuk pengadaan sumber energi terbarukan biogas.
Namun, di sisi lain, sampah organik menciptakan gas metana (CH₄) yang berbahaya bagi lapisan ozon.***