PONTIANAK, borneoreview.co – Asap tebal membumbung tinggi di tengah laut. Perairan di Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, Rabu (21/6/2023), mulai membara.
Orang-orang berteriak, “Bakar, bakar, bakar.” Suara menyeruak di antara patahan kayu dan api. Desir angin laut kian membuat suasana mencekam.
Siang itu, sekitar pukul 10.30 WIB ratusan nelayan mengepung dua kapal, KM Wahana Nilam dan KM AJB – 1. Berawal adu mulut di tengah laut. Berujung pembakaran kapal.
Nelayan tersulut emosi. Mereka marah, lantas membakar dua kapal asal Kecamatan Juwana dan Rembang, Jawa Tengah, seperti dilansir dari Insidepontianak.com.
KM Wahana Nilam yang berbobot 88 grosston (GT) dan KM AJB – 1, berbobot 92 GT dianggap ‘ngeyel’ usai berulang kali diingatkan untuk tak menangkap ikan menggunakan alat tangkap cantrang dan melanggar zona penangkapan.
Dua kapal tersebut adalah kapal cumi yang kerap melintasi area tangkap nelayan Kalbar. Zonanya, dari Selat Karimata hingga masuk wilayah perairan Kalbar. Masuk kawasan penangkapan ikan WPP-RI 771.
Dua kapal ini dianggap menerabas radius 12 mil, bahkan di bawah radius aturan yang ditetapkan plus dengan penggunaan cantrang besar.
Cantrang adalah sejenis alat tangkap ikan yang berupa pukat kantong (seine net) yang dioperasikan dengan cara di lingkarkan pada dasar perairan dan kemudian ditarik ke atas kapal.
Bukan tanpa alasan peristiwa itu terjadi. Bisa dikatakan, itu adalah puncak kekesalan nelayan.
Mulai dari area tangkap, kapal ber-GT besar, persaingan tak imbang, hasil tangkap berkurang, pendapatan makin sedikit hingga modal tergerus akibat aksi kapal-kapal tersebut tanpa mempertimbangkan nasib nelayan lokal.
Bukan juga pertama kali perseteruan antara nelayan lokal Kalbar dengan kapal besar ini. Terbanyak, berasal dari pulau Jawa, terutama kawasan Pantura yang kebanyakan beroperasi di perairan Kalimantan.
Tak hanya dua kapal nahas ini, sebelumnya ada lima kapal serupa juga berhasil diamuk nelayan di perairan Kepulauan Karimata, Kabupaten Kayong Utara.
Bedanya, lima kapal ini tidak dibakar hanya diamankan bersama petugas Polair. Kejadiannya, sekitar periode tahun 2023-2024. Meski tak dibakar, tapi intimidasi nelayan lokal mampu membuat kapal-kapal itu diproses hukum.
Kelima kapal itu adalah KM. Eka Setia, KM Sumber Makmur, KM Rajawali Laut VI, KM Kencana Enam dan KM Character dengan bobot di atas 80-104 GT.
Di periode 2024 hingga saat ini, para nelayan Kepulauan Karimata masih berjibaku mengusir puluhan kapal-kapal tanpa menimbulkan konflik besar.
Dalam catatan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kalbar, Kepulauan Karimata menjadi surganya pencari ikan, berbagai jenis ikan tepatnya. Ikan dan cumi berkualitas super mudah ditemukan di sana. Sebut saja Ikan Semerah, Ikan Kerapu Sunu, Ikan Tenggiri, Ikan Krisi, Rumput Laut, hingga Lobster.
Dengan perlintasan hasil jual oleh pemasok melewati Jakarta hingga Belitung untuk jadi komoditi ekspor. Tak heran, jika muara utama kapal-kapal pencari ikan ada di sekitaran Selat hingga Kepulauan Karimata.
Jika ditelisik lagi, peristiwa pembakaran dua kapal di perairan Kubu Raya, berawal dari pengusiran dan ‘pelarian’ dua kapal tersebut dari sekitaran Kepulauan Karimata, Kayong Utara.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kayong Utara mencatat hasil perikanan di tahun 2020 mencapai 21.676,95 ton.
Potensi ini yang menjadikan perlintasan kapal-kapal besar luar Kalbar kerap ditemukan di area Kepulauan Karimata dan sekitarnya (Ketapang). Potensi melimpah menjadi pemantik meraup tangkapan laut hingga berton-ton.
Tak heran sejak dulu Selat Karimata terkenal dengan potensi melimpah akan hasil laut. Tak heran, jika pencurian ikan mulai marak. Bahkan makin tahun makin meningkat.
Konflik di perairan Kalbar terus berlanjut, meski kasus di bawa ke meja hijau, baik kasus pembakaran kapal di Kubu Raya hingga penangkapan kapal di Kayong Utara. Namun, tak ada solusi kongkrit dari pemerintah.
Masih saja ditemui kapal-kapal luar melanggar zona terlarang di perairan Kalbar dan penggunaan cantrang yang tak ada habisnya.
Dari fakta penyelesaian kasus yang ada, pemerintah terkesan tak mampu berbuat banyak untuk menyelesaikan konflik dan baru bertindak usai peristiwa terjadi dilihat dari kasus pembakaran kapal tersebut.
Data Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Pontianak mencatat sejak tahun 2022 hingga 2024, pihaknya mengamankan 8 kapal nelayan yang melanggar aturan.
kapal-kapal itu umumnya memiliki tonase besar dari 30-120 GT. Mereka adalah KM Semanget, KM Subur Jaya, KM Arif Wijaya Sukses, KM Karunia Ilahi V, KM Herry (30 GT), KM Bejo Satrio (120 GT), KM Buana Mulya (96 GT) dan KM Tirta Mangkurat Jaya dengan 116 GT.
Dari delapan kapal ini, KM Arif Wijaya Sukses terbukti menggunakan cantrang sementara tujuh kapal lainnya melanggar zona tangkap hingga kelengkapan surat-surat bermasalah.
Delapan kapal tersebut hanya dikenakan sanksi administrasi. Padahal, kapal-kapal tersebut dianggap merugikan nelayan lokal.
Bukan hanya kapal cantrang yang menjarah hasil laut dari ikan, anakan ikan hingga merusak ekosistem perairan sekitar, tapi pembiaran pencurian ikan bebas pelan tapi pasti memangkas kehidupan nelayan setempat yang menggantungkan semua hidupnya di laut.
Tangkapan berkurang drastis sedikit hingga kebutuhan untuk melaut makin sulit memperparah kualitas hidup nelayan di pesisir Kalbar.
Banyak pihak meyakini, tanpa tindakan tegas dan banyak kebijakan ambigu layu, konflik ‘senyap’ antara dua pemburu laut ini bakal terus berulang, dan sepertinya masih akan terus berlanjut.
Apa sebenarnya permasalahan dua pemburu hidup di laut Kalbar ini? Apakah hanya sekedar pelanggaran zona atau penggunaan cantrang atau ‘lemesnya’ kebijakan pemerintah yang tak dianggap para pelanggar ini?***