Hiu Paus dan Kearifan Lokal Nelayan Aceh

BANDAACEH, borneoreview.co – Pagi di akhir Juni 2025, langit Pantai Keutapang Rayeuk di Desa (Gampong) Rubek Meupayong, Kecamatan Susoh, Kabupaten Aceh Barat Daya terlihat cerah dan angin lembut menyapu permukaan air.

Nelayan di gampong itu memulai hari dengan semangat untuk menyambut musim udang rebon, atau yang akrab disebut warga setempat sebagai udang sabu. Pukat darat pun ditebar di laut, dengan harapan hasil tangkapan udang sabu pada tahun ini bisa melimpah.

Seperti nelayan di pesisir Barat Selatan Aceh pada umumnya, hidup mereka bergantung dari hasil laut dengan cara menangkap ikan yang dilakukan turun-temurun menggunakan jaring besar yang ditarik bersama-sama dari darat.

Namun, rutinitas pagi itu berubah menjadi kejadian luar biasa. Sebuah bayangan besar muncul dari kejauhan, bergerak perlahan mendekati tepi pantai.

Gelombang ombak kecil bergulung-gulung dengan aneh, dan nelayan yang sedang menarik jaring pun dikejutkan oleh sesuatu yang besar muncul ke permukaan.

Itu adalah seekor hiu paus (Rhincodon typus), spesies ikan raksasa yang tidak sengaja terjerat jaring mereka. Bagi sebagian orang, kejadian seperti ini bisa saja menimbulkan panik, tapi tidak bagi para nelayan Gampong Rubek Meupayong.

Naluri kemanusiaan dan kepedulian terhadap alam langsung mengemuka. Mereka tahu bahwa spesies ikan yang memiliki totol-totol putih pada tubuhnya itu bukan hanya hewan langka, tapi juga simbol kehidupan laut yang mesti dijaga bersama.

“Awalnya kami kira itu ikan besar biasa. Tapi setelah kelihatan badannya besar dan ada totol putih, kami sadar itu hiu paus. Langsung kami berhenti tarik jaring,” kata M. Yusuf, salah satu nelayan di Gampong Rubek Meupayong.

Kabar hiu paus terjaring itu tersebar begitu cepat. Dalam waktu singkat, masyarakat setempat berdatangan ke Pantai Keutapang. Beberapa warga datang karena penasaran, sebagian lainnya karena khawatir. Tak sedikit anak-anak yang ikut menyaksikan momen langka itu dari kejauhan. Wajah mereka dipenuhi kekaguman sekaligus cemas.

Kearifan Lokal Menjaga Laut

Kepala Desa (Keuchik) Elizahar langsung turun tangan mengordinasi warga desa dan nelayan untuk menyelamatkan hiu paus malang itu.

Tak ada peralatan khusus; hanya ada tekad dan keinginan kuat untuk menyelamatkan makhluk besar yang terlihat bergerak makin lambat karena kemungkinan sudah kelelahan akibat terperangkap jaring pukat darat.

“Kita tidak punya alat evakuasi seperti tim SAR. Tapi semangat dan gotong royong adalah kekuatan kami,” ujar Elizahar.

Para nelayan dan warga membentuk formasi untuk operasi penyelamatan. Sebagian bertugas menyiram tubuh hiu paus agar tidak kering akibat terekspos sinar matahari. Yang lain mengambil alat potong seadanya untuk membuka jaring dengan perlahan agar tidak melukai kulit ikan tersebut.

Kurang dari satu jam dengan kerja penuh kehati-hatian, sebagian jaring yang menjebak tubuh hiu paus berhasil dipotong. Serentak terdengar pekikan takbir dan sorak-sorai warga ketika tubuh besar hiu paus itu perlahan bergerak kembali ke laut.

Ikan bongsor itu seakan “menari” di antara buih ombak sebelum akhirnya berenang makin dalam dan menghilang ke dasar samudera.

“Alhamdulillah, dia selamat,” kata Fatimah, warga setempat yang melihat momen itu sambil menyeka air mata haru.

Peristiwa penyelamatan ini seolah menghidupkan kembali warisan panjang masyarakat pesisir Aceh, sebuah tradisi tak tertulis yang menyatu dalam jiwa dan laku hidup sehari-hari.

Nelayan menyadari bahwa menjadi nelayan bukan hanya soal menangkap ikan, tapi juga soal menjaga laut agar tetap hidup dan lestari.

Panglima Laot Aceh Barat Day (Abdya) Hasanuddin, atau pemangku adat nelayan dan masyarakat pesisir, menegaskan bahwa nelayan Aceh dalam menjaga hiu paus bukanlah hal baru.

Jauh sebelum konsep konservasi modern dikenal, larangan menangkap hiu paus sudah menjadi bagian dari aturan adat yang diwariskan secara turun-temurun.

“Ikan raksasa itu bukan sekadar penghuni laut. Kehadirannya dipercaya sebagai pertanda baik, pembawa rezeki bagi para nelayan,” tuturnya.

Peristiwa tersebut bukan hanya tentang penyelamatan seekor hiu paus. Ini adalah gambaran hidup dari filosofi masyarakat pesisir Provinsi Aceh.

Ada nasihat bijak yang diwariskan: “Laut bukan hanya sumber penghidupan, tapi juga tempat kami belajar menjaga kehidupan.”

Dan aksi penyelamatan oleh warga setempat itu mempertegas kembali bahwa kearifan lokal bisa berjalan seiring dengan kepedulian lingkungan.

Nelayan Gampong Rubek Meupayong memang hidup dari laut, tapi mereka juga memahami bahwa keberlangsungan laut bergantung pada bagaimana manusia memperlakukannya.

Hiu paus yang tersesat menjadi pengingat bahwa batas antara manusia dan alam sangatlah tipis dan hanya melalui empati batas itu bisa dijaga. Kejadian ini juga memantik wacana penting soal peran masyarakat dalam pelestarian satwa laut yang dilindungi.

Nelayan Gampong Rubek Meupayong merelakan jaring mereka dirobek untuk menyelamatkan hiu paus, padahal itu adalah alat mereka untuk mencari makan.

Di balik cerita jaring yang robek, ada pelajaran besar bahwa kemuliaan yang tidak datang dari seberapa banyak hasil laut yang ditangkap, tapi dari keputusan menyelamatkan satu jiwa yang tak bisa bersuara.

Di era ketika eksploitasi laut makin masif, contoh baik seperti ini seharusnya diberi ruang lebih besar. Bisa melalui kebijakan yang pronelayan, pendampingan masyarakat pesisir, dan edukasi cara tangkap ikan yang berkelanjutan. Di sanalah pemerintah perlu berperan.

“Laut yang dihuni hiu paus adalah laut yang subur, penuh ikan, dan aman untuk dilayari,” ujar Panglima laot.

Ini adalah rasa hormat mendalam terhadap alam dan keyakinan spiritual bahwa lautan adalah rumah bersama, bukan ruang yang bebas dieksploitasi.

Lembaga adat Panglima Laot pun memegang peran sebagai jembatan antara adat dan pelestarian lingkungan. Mereka tak hanya mengatur waktu dan zona tangkap, tetapi juga menjaga keharmonisan antara manusia dan laut.

Di tengah arus modernisasi dan eksploitasi besar-besaran, mereka tetap berdiri sebagai penjaga moral dan ekologis tanah rencong.

Bagi masyarakat Aceh, laut bukan semata ruang ekonomi. Ia adalah sahabat, guru, bahkan tempat menggantungkan harapan. Maka ketika hiu paus itu tersesat ke pantai, masyarakat melihatnya sebagai panggilan nurani untuk menyelamatkan sesama makhluk ciptaan Allah SWT.

Hiu paus itu kini telah kembali ke habitatnya. Tapi kisahnya akan tinggal di hati masyarakat Rubek Meupayong sebagai cerita kebanggaan, sebagai simbol kemanusiaan, dan sebagai warisan moral bagi generasi nelayan berikutnya.(Ant)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *