MAGELANG, borneoreview.co – Di level khusus orang-orang Komunitas Lima Gunung, makin membiasakan diri mengontrol pendirinya.
Yaitu, budayawan Sutanto Mendut, baik saat pidato maupun memberi petuah kepanjangan sampai tidak ada juntrungan.
Mereka dikenal sebagai “Ring 1” komunitas, intensif bertemu dan mudah berkomunikasi dengan Tanto Mendut yang sering juga dipanggil sebagai Presiden Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, Menoreh) Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Siasat mengontrol, antara lain dengan mengajak lainnya tepuk tangan, berceloteh “wis-wis” (sudah), atau yang paling sopan memberi kode melalui tangan.
Tanto Mendut yang dikontrol, biasanya tersadar atas omongan kepanjangan tanpa juntrungan. Lalu, memfokuskan materi omongan atau secara halus mengumpat anggota komunitasnya dengan satu kata, “clurut” (celurut). Audiens menyambut gergeran (tertawa).
Intimitas para pegiat dan anggota komunitas dengan Tanto, menjadikan pemahaman positif atas pesan, perintah, kritik, dan sindiran timbal-balik itu mudah berterima.
Bahkan seringkali Tanto tidak mewajibkan semua hal, seperti omongan, tindakan, maupun bunyi batin dia, harus dipahami karena ada realitas lain yang juga bernilai, seperti tentang “lelakon”, hal tak terduga dan tak terhindarkan.
Merebaknya siniar menjadi salah satu bahan kritik Tanto Mendut untuk membawa kekuatan kesadaran anggota bahwa tidak semua hal terjadi karena omong-omong.
Era disrupsi saat ini, antara lain berupa omongan berlimpah, terkadang minim tindakan, atau bahkan tak dimengerti sendiri oleh pengomong (pembicara).
Seorang tokoh utama komunitas, Supadi Haryanto, berujar tidak semua suara omongan yang masuk telinga bisa dikeluarkan lewat mulut.
Akan tetapi, menjadi bijaksana diolah dalam batin terlebih dahulu untuk menjadi “kawruh” (ilmu pengetahuan) yang bertengger di pikiran. Sosok pandai dan cerdik mengolah omongan, hasilnya pribadi bijaksana dan dipercaya.
Penulis kebudayaan, Bre Redana, merumuskan proses dialektika itu sebagai olah tubuh, pikiran, dan jiwa.
Terutama untuk para elite dan pengambil keputusan publik, wajib paham akan dialektika itu, supaya jernih mengeluarkan regulasi dan mengambil kebijakan publik.
Dalam konteks komunitas, dialektika tubuh, pikiran, dan jiwa, tentu tantangan kerumitan tersendiri untuk jalan kebudayaan.
Usaha membumikan dan menyeleksi omongan dalam pikiran dan batin untuk menjadi sikap bijaksana dan tindakan dipercaya tersebut, nampaknya seiring dengan tujuan mengembangkan nilai-nilai budaya bangsa sebagaimana tertulis dalam Pasal 4 UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Tema Festival
Tema Festival Lima Gunung XXIV tahun ini, “Andhudhah Kawruh Sinengker”, oleh Tanto dipandang sebagai hadir pada waktu dan tempat yang pas, terutama karena kehidupan menghadapi disrupsi, serba gonjang-ganjing, dan serasa tak ada juntrungan. Situasi itu, dialami siapa saja, baik secara personal maupun sosial kemasyarakatan, lingkungan alam, bangsa, dan negara.
“Semakin sulit menemukan kebenaran, ini era pasca-kebenaran. Influencer (pemengaruh) dan buzzers (pengikut) itu peranan kabur,” ucapnya.
Satu atau beberapa pihak dan kalangan tertentu menganggap keadaan politik negara stabil, sosial-masyarakat kondusif, ekonomi dan demokrasi terjaga, pertahanan keamanan mantap, bencana dimitigasi, diantisipasi, serta ditangani, lingkungan alam terus dilestarikan, serta publik mendapatkan layanan transparan, profesional, dan akuntabel.
Akan tetapi, kalangan lainnya barangkali menganggap sebaliknya. Kebijakan publik tidak berkeadilan, kebohongan bertebaran, dan masyarakat menghadapi realitas terombang-ambing, segala urusan berbiaya tinggi karena pungli dan premanisme.
Setiap orang harus mengencangkan pikiran kritis yang membuat stres dan was-was, sedangkan gaduh di media sosial membuat gangguan kesehatan mental.
Guna memantapkan kemandirian Komunitas Lima Gunung yang dibangunnya, Tanto justru tidak ikut pertemuan-pertemuan para tokoh dalam seluruh proses penyiapan Festival Lima Gunung. Termasuk merumuskan tema “Andhudhah Kawruh Sinengker”, ia tidak campur tangan.
Festival Lima Gunung sebagai agenda rutin tahunan secara mandiri, diselenggarakan dengan lokasi bergantian secara sukarela di berbagai dusun basis komunitas tersebut.
Tahun ini, festival sebagai bagian dari rangkaian tradisi puluhan tahun, “Suran Tutup Ngisor Ke-90”, warga Padepokan Tjipta Boedaja Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun.
Tahun ini, “Suran Tutup Ngisor” sebagai berumur sembilan dekade, sedangkan Festival Lima Gunung memasuki usia triwindu.
Penyelenggaraan “Suran Tutup Ngisor Ke-90” dan “Festival Lima Gunung XXIV” selama 9-13 Juli 2025. Tercatat untuk tampil dalam pergelaran itu, sekitar 80 grup kesenian dengan total 1.225 personel berasal dari lokal Magelang, luar kota, dan beberapa lainnya luar negeri, meliputi 93 mata acara, baik bersifat sakral maupun profan.
Berbagai acara itu, antara lain tradisi ritual, pementasan kesenian tradisional dan kontemporer, performa seni, kirab budaya, pembacaan puisi dan guritan, pidato kebudayaan, peluncuran buku foto, dan pemberian piagam “Lima Gunung Award” kepada lima tokoh dan entitas.
Salah satu sesepuh terpenting komunitas, Sitras Anjilin, yang hadir dalam pertemuan keempat membahas festival di rumah Ketua Komunitas Lima Gunung, Sujono, di Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan.
Akhir pertengahan Mei lalu, semacam memainkan diri menjadi pengarah untuk mereka yang hadir rapat sampai kepada rumusan tema festival.
Tentu saja, rumusan itu lahir setelah melalui proses warga komunitas dalam dinamika berbagi pemikiran kritis menangkap keadaan dan fenomena semesta, domestik, dan lingkungan sekitar.
Tema “Andhudhah Kawruh Sinengker”, dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia, “Membongkar Ilmu Tersembunyi”, oleh pemimpin Padepokan Warga Budaya Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Singgih Arif Kusnadi, dipandang sebagai menantang dan absurd.
Di panggung festival, komunitas menghadirkan lambang tema itu, berupa Ganesha, dibuat menjadi seni instalasi berukuran raksasa, menggunakan bahan-bahan alam pertanian dan desa.
Ganesha yang simbol ilmu pengetahuan itu, dibuat secara kontemporer dengan empat tangan memegang pacul, arit, kendi, padi, sedangkan belalainya memegang pena.
Butuh 10 hari warga bergotong royong membuatnya di kompleks pedepokan, di halaman antara rumah-rumah warga.
Setidaknya, di kalangan warga komunitas, perbincangan hangat terus menyeruak atas tema “Andhudhah Kawruh Sinengker”.
Di tengah menyemangati warga melanjutkan pembuatan instalasi Ganesha kontemporer dan panggung festival, empat sesepuh pedepokan, yakni Tjipta Mihardja, Sarwoto, Bambang Santosa, dan Sitras Anjilin, asyik juga membincangkan tema tersebut.
Mereka setidaknya merasa tidak menemukan rasa bahasa Indonesia yang pas untuk terjemahan tema dari kalimat berbahasa Jawa itu.
Seperti, “andhudhah” dalam konteks rasa jawa tidak sekadar menggali atau membongkar. Kawruh akan gampang dimengerti sebagai ilmu pengetahuan yang dipandang berbeda dengan pengertian “ngelmu” dalam bahasa Jawa.
Sedangkan, “sinengker” bukan sekadar sesuatu yang tersembunyi atau rahasia, akan tetapi ada unsur kesengajaan disimpan.
Belum lagi soal objek “kawruh” yang mereka pandang sebagai sesuatu tak kasat mata, tentu menjadi hal yang tak mudah diketahui atau bahkan dipahami.
“Andhudhah” objek “kawruh” tentunya menjadi tantangan tersendiri, sedangkan pencarian jawaban atas ragam pertanyaan seputar “sinengker”, sebagai hal yang juga rumit.
Mungkin saja, ilmu itu tentang nilai-nilai dan petuah luhur warisan nenek moyang, mengenai alam semesta dan alien, wujud manusia generasi baru dan penampakan keseimbangan bumi setelah perubahan iklim global.
Atau, tentang petunjuk masa depan kehidupan bersama adil, maju dan makmur, bahagia serta sentosa setelah berlalu gonjang-ganjing pasca-kebenaran.
Andaikan tema itu dihadapkan pada kesadaran akan pentingnya semangat solidaritas, empati, kritis kontruktif, keprihatinan, retret, dan kemantapan harapan kehidupan bersama semesta lebih baik, mungkin satu per satu diperoleh jawaban atas “Andhudhah Kawruh Sinengker”.
Festival Lima Gunung tahun ini sekiranya membuka ajakan untuk penjelajahan panjang itu, setidaknya untuk mereka yang berkehendak mau diajak “andhudhah”.
Belum soal kerumitan tindak lanjutnya, karena realitas kehidupan bukan hanya omong-omong atau siniar lho!