Kisah Tenaga Kesehatan dan Puskesmas Pelosok Batas Negeri, Perbatasan Papua di Merauke

Kesehatan Gratis Papua

MERAUKE, borneoreview.co – Tubuh perempuan yang dibalut kulit rapuh itu tak banyak bergerak, saat duduk di lantai semen halus yang dingin.

Ia menjulurkan kaki sambil bersandar di dinding rumah kayu. Mata sayunya sesekali menatap langit-langit rumah beratap seng, lalu kembali memandang kakinya yang tak sekuat dulu lagi.

Pemilik tubuh renta itu bernama Paula Mona, warga Kampung Bunggay di Distrik Elikobel, Kabupaten Merauke, Papua Selatan.

Dalam rumah kecil di tepi kampung itu, Mona seperti sedang menuliskan kisah kelam dalam lembar kehidupannya. Hidup menjanda karena ditinggal suaminya yang meninggal dunia, membuat hari-hari Mona begitu sulit di usianya yang ke-61.

Kedua putranya, yang diharapkannya dapat menggantikan sosok sang ayah, juga tidak berada di sisinya. Mereka pergi mengadu nasib di kota.

Hati mama-mama Papua itu kian hancur saat mendapat kabar putra pertamanya harus mendekam di balik jeruji besi karena kasus penggunaan obat-obatan terlarang.

Mona berjuang melawan kehampaan hidupnya hingga adik perempuannya datang membawa anak dan cucu untuk menemaninya di rumah.

Kini, mereka tinggal berempat. Bertahan hidup dengan memakan apa yang ditanam di lahan kecil sekitar rumah karena dana pensiun suami Mona yang dulunya bekerja sebagai karyawan salah satu perusahaan milik negara, jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup.

“Hampir setiap hari kami makan sayur daun singkong. Jadi begitu sudah,” ujar Mona.

Tak banyak pilihan bagi Mona dengan kondisi tubuh yang rapuh karena sakit yang tak dipahami olehnya.

Ia tak mengerti kenapa kakinya tak lagi kuat menopang tubuh, tak bisa bernafas lega, batuk yang tak kunjung sembuh, hingga pandangannya yang kian terbatas.

Saban hari, Mona selalu punya waktu menyendiri di dalam kamar, membaca kita suci dan berdoa. Dalam kepasrahannya, ia meminta kepada Yang Maha Kuasa untuk menyembuhkannya dengan cara-Nya.

Tak ada hal yang lebih penting saat ini bagi Mona selain bebas dari penyakit. Setidaknya, jika dalam kondisi sehat, ia dapat menghadapi segudang persoalan yang melilit kehidupannya.

“Saya hanya mau sehat lagi. Itu saja,” ujarnya.

Terima CKG

Doa tanpa henti yang dilantunkan Mona seperti mendapat jawaban yang jatuh langsung dari langit ketika rumahnya didatangi tim medis dari Puskesmas Bupul yang diikuti dua perwakilan dari Kementerian Kesehatan.

Mereka menyambangi rumah Mona untuk memberikan layanan Program Cek Kesehatan Gratis (CKG), salah satu program unggulan dari Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

Selama 11 Februari – 7 Juli 2025, Puskesmas Bupul telah memberikan layanan CKG kepada 764 orang yang tersebar di 12 kampung di Distrik Elikobel.

Mona merupakan satu dari ratusan sasaran penerima manfaat tersebut. Senyuman di wajahnya tak bisa menyembunyikan rasa sumringah saat menyambut tim medis yang dipimpin Pelaksana Tugas Kepala Puskesmas Bupul Markus Pakadang datang untuk menolongnya.

Ia sungguh tak menyangka, menerima layanan pemeriksaan kesehatannya langsung di rumahnya tanpa biaya apa pun.

Mona tak harus menyewa kendaraan untuk berobat di puskesmas yang berjarak 29 kilometer untuk memeriksa tubuhnya. Tidak pula harus menempuh perjalanan lebih dari 220 kilometer di Kota Merauke untuk mengakses layanan rumah sakit.

Percakapan hangat dengan dialek khas lokal mengawali perjumpaan mereka sebelum Mona diperiksa oleh dokter Libertine Mandala Putri yang dibantu beberapa rekannya.

Berbagai pemeriksaan dilakukan dokter, dari mengukur tekanan darah, tinggi dan berat badan, asam urat, gula darah, kolesterol, pemeriksaan telinga, mata, mulut, dan pernapasan, hingga pengambilan dahak untuk pemeriksaan tuberkulosis.

Mona menurut dengan senyum saat alat medis dipasang ke tubuhnya, juga saat menjawab setiap pertanyaan dari dokter.

“Aduh, saya senang sekali diperiksa begini. Saya mau sembuh,” ujarnya dengan suara bergetar.

Setelah pemeriksaan, dokter Libertine memberikan obat-obatan serta berbagai saran tentang kesehatan Mona, termasuk meminta Mona berangkat ke Merauke untuk pemeriksaan organ dalam tubuhnya.

Sang dokter pun berulang kali mengingatkan semua penghuni rumah agar membiasakan hidup yang sehat, apalagi memiliki anak kecil yang seharusnya bertumbuh di lingkungan yang sehat.

Harus Berubah

Kepulan asap hitam selalu menjadi pemandangan khas di ruang dapur ketika Mona atau sanak keluarganya memasak di tungku dari batu dengan kayu sebagai sumber api, untuk menyiapkan hidangan sehari-hari.

Selama bertahun-tahun, Mona hidup dengan kebiasaan memasak seperti itu. Selama itu pula, organ pernapasannya menghirup asap tungku, yang pada puncaknya membuat ia tak lagi bernapas secara normal.

“Mama punya paru-paru ini menunjukkan bahwa mama tidak boleh lagi terkena asap tungku,” kata Libertine sesuai memeriksa pernapasan Mona.

Memasak dengan tungku dan kayu merupakan kebiasaan yang beresiko tinggi terhadap kesehatan. Apalagi, ruangan dapur Mona yang tidak dilengkapi dengan ventilasi sehingga memperlambat sirkulasi udara.

Libertine mengingatkan Mona agar mengubah kebiasaan memasak seperti itu. Jika tidak, resiko gangguan pernapasan akan terus meningkat dengan dampak yang lebih fatal.

Tak hanya itu, Mona juga harus meninggalkan kebiasaan memasak menggunakan minyak goreng yang sama secara berulang kali, tidak mengkonsumsi sayur daun singkong secara rutin maupun makan daging hewan yang tidak diolah dengan baik.

“Mama harus mengubah semua kebiasaan itu kalau mama mau sehat lagi,” ujar Libertine.

Mona, sekali lagi, menyambut semua nasehat dengan senyuman khasnya sambil mengangguk. Tanpa kata-kata, ia hanya memandang sang dokter dengan mata berkaca-kaca.

Tak ada yang lebih membahagiakan Mona di hari itu selain kehadiran para petugas medis yang membawa layanan Program CKG untuknya.

Layanan kesehatan yang lebih lengkap untuk pertama kalinya bagi Mona itu telah menyemai harapan baru baginya untuk berjuang mendapatkan kembali kesehatannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *