Banjir Mataram Lombok, Puncak Kemarau Malah Banjir Melanda

Bajir Mataram

MATARAM, borneoreview.co – Sahrullah bersusah payah mendorong endapan lumpur, sisa banjir di rumahnya.

Ia menggunakan potongan triplek di ruang dapur rumah orang tuanya, tepat di pinggir Sungai Ancar, Kelurahan Kekalik Jaya, Kecamatan Sekarbela, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Pria berusia 31 tahun itu, membersihkan rumah bersama kakak perempuan dan ibunya. Dengan mata sayu menahan kantuk karena belum tidur semalaman.

Sahrullah menceritakan kisah banjir yang terjadi saat puncak musim kemarau tersebut.

“Air tiba-tiba datang masuk melalui celah pipa saluran pembuangan sekitar jam 2 siang,” ujarnya, saat ditemui di sela kesibukan membersihkan rumah yang berantakan akibat banjir pada 7 Juli 2025.

Air itu semakin deras. Semakin lama semakin tinggi, hingga mencapai pinggang.

Banjir surut saat subuh menyisakan endapan lumpur cokelat yang menyelimuti lantai. Lumpur tersebut berasal dari persawahan yang ikut terendam banjir, kemudian arus air membawa lumpur masuk ke rumah-rumah penduduk.

Rumah orang tua Sahrullah hanya berjarak satu meter dari Sungai Ancar. Sungai itu memiliki panjang aliran sejauh 21 kilometer dan luas daerah aliran sungai 22.891 kilometer persegi yang berhulu di Narmada, Kabupaten Lombok Barat.

Pada 2022, luapan Sungai Ancar akibat hujan lebat pernah masuk ke dalam rumah, tapi saat itu banjir hanya sampai kamar mandi, air masuk melalui saluran pembuangan yang mengarah ke sungai.

Banjir yang melanda Kota Mataram dan daerah sekitar pada 6 Juli 2025 adalah bencana alam yang mengejutkan lantaran peristiwa itu berlangsung dalam perhitungan kalender yang seharusnya puncak musim kemarau.

Hujan lebat mengguyur Kota Mataram terjadi sejak siang saat kumandang azan Zuhur sekitar pukul 12.30 WITA dan berlangsung hingga sore hari.

Jejak banjir yang menempel pada dinding rumah orang tua Sahrullah tampak setinggi pinggang orang dewasa, sedangkan tebal endapan lumpur sekitar lima sentimeter.

Namun, kawasan lain di Kota Mataram, ketinggian banjir ada yang mencapai dua meter.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Nusa Tenggara Barat mencatat ada enam kecamatan terdampak banjir.

Jumlah korban jiwa mencapai lebih dari 30 ribu orang, 520 orang mengungsi, 35 orang dirawat di rumah sakit, dan satu orang meninggal dunia akibat tersengat listrik.

Faktor Lingkungan

Kondisi lingkungan merupakan faktor utama yang menjadi penyebab banjir di Kota Mataram. Curah hujan tinggi didukung oleh gelombang pasang air laut adalah kombinasi paripurna.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengingatkan bahaya banjir rob yang mengintai daerah pesisir pada 5 sampai 16 Juli 2025.

Fase purnama menimbulkan gelombang pasang akibat gravitasi bulan dan membentuk benteng air asin pada setiap pintu muara sungai.

Volume curah hujan sebanyak 4,2 miliar liter dalam waktu enam jam membuat sungai kesulitan mengalirkan limpasan air hujan ke laut akibat terhalang gelombang pasang.

Kondisi itu lantas membuat sungai-sungai meluap, membanjiri pemukiman penduduk dan fasilitas publik, menghancurkan jembatan, serta menyeret puluhan mobil.

Kota Mataram dilalui oleh empat sungai besar, yakni Sungai Jangkok, Sungai Ancar, Sungai Brenyok, dan Sungai Midang.

Hulu keempat sungai itu berada di Kabupaten Lombok Barat yang terletak pada kaki Gunung Rinjani dan hilir sungai langsung menghadap ke Selat Lombok.

Sebagian besar wilayah Kota Mataram merupakan hamparan datar dengan ketinggian 5 sampai 25 meter di atas permukaan laut.

Topografi Mataram sebagai ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Barat ini berupa dataran rendah yang bersinggungan langsung dengan laut.

Banjir awal Juli 2025 di Kota Mataram terjadi akibat luapan dua sungai besar, yaitu Sungai Ancar dan Sungai Brenyok, serta satu sungai kecil jalur irigasi persawahan bernama Sungai Unus.

Sungai-sungai yang meluap tersebut melintasi kawasan pemukiman padat penduduk.

Beberapa video yang beredar di media sosial memperlihatkan banyak sampah hanyut terbawa arus banjir.

Budaya buang sampah sembarangan terutama ke sungai masih marak dilakukan oleh masyarakat di Kota Mataram dan sekitarnya.

Bantaran sungai yang terus menyempit akibat terdesak pemukiman membuat daya tampung sungai menurun signifikan. Bantaran sungai adalah batas profil sungai untuk bisa menahan debit banjir tahunan.

Apabila masyarakat mengambil bantaran sungai, maka sungai kehilangan kapasitas hingga 50-an persen.

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Mataram Nomor 15 Tahun 2003 tentang sempadan sungai, garis sempadan sungai paling sedikit 10 meter—dihitung dari tepi sungai—untuk sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebih dari tiga meter.

Sedangkan, sungai yang memiliki kedalaman lebih dari 3 meter sampai 20 meter harus memiliki sempadan minimal 15 meter dan sungai dengan kedalaman lebih dari 20 meter harus memiliki sempadan paling sedikit 30 meter dihitung dari tepi sungai.

Regulasi sempadan sungai yang dibuat 22 tahun lalu tersebut bertujuan agar Kota Mataram tidak mengalami banjir di masa depan. Namun, fakta di lapangan saat ini ada banyak bangunan yang berdiri dekat tepi sungai.

Solusi Jangka Panjang

Fenomena perubahan iklim yang terjadi saat ini mempengaruhi ketinggian muka air laut dan mengubah pola curah hujan.

Bagi Kota Mataram yang berhadapan langsung dengan laut dan dilalui oleh empat sungai besar.

Maka, kebijakan pembangunan berkelanjutan harus dikedepankan agar menciptakan ketahanan sosial dan mengurangi dampak dari perubahan iklim.

Pendekatan mitigasi dan adaptasi adalah solusi jangka panjang agar di masa depan tidak ada lagi banjir yang merendam kota.

Wajah Mataram adalah wajah Nusa Tenggara Barat, sehingga pembangunan ibu kota harus sesuai prosedur dan aturan yang berlaku.

Bangunan pemukiman yang saat ini berdiri pada kawasan sempadan sungai harus dibongkar sesuai dengan regulasi yang tertuang dalam Peraturan Daerah Kota Mataram Nomor 12 Tahun 2011 tentang rencana tata ruang wilayah Kota Mataram.

Penduduk yang rumahnya masuk ke dalam program pembongkaran harus direlokasi ke perumahan bertingkat agar tidak ada lagi lahan terbuka dibetonisasi.

Ketersediaan lahan terbuka dengan vegetasi yang rapat dapat mempermudah proses limpasan air hujan meresap ke dalam tanah dan mengurangi potensi banjir.

Sempadan sungai merupakan ruang yang tidak boleh dibangun lantaran letaknya berada di antara tepi air sungai tertinggi hingga batas kawasan yang boleh dibangun.

Ketika sempadan sungai yang seharusnya dapat menahan limpasan hujan berubah menjadi pemukiman, maka tidak ada lagi jalan bagi air sungai untuk melintas ke laut.

Pemerintah kota harus mampu mengembalikan sempadan sungai sesuai dengan fungsinya sebagai tempat perlindungan lingkungan, pencegahan bencana, dan pelestarian ekosistem sungai.

Kebiasaan masyarakat yang membuang sampah sembarangan, terutama ke sungai harus dihentikan dengan menerapkan sanksi tegas berupa denda atau kurungan agar tidak ada lagi bungkus makanan dan minuman, pakaian, hingga kasur hanyut di sungai.

Jembatan Kekalik Gerisak di Kecamatan Sekarbela, Kota Mataram yang dipenuhi sampah saat banjir pada 6 Juli 2025, menjadi pelajaran bagi kita semua tentang bahaya sampah jika dibuang ke sungai.

Sampah yang sulit terurai dan terus menumpuk dapat berubah menjadi bendungan yang menahan laju air sungai.

Kolaborasi lintas sektor antara pemerintah daerah, masyarakat, dunia pendidikan, dan organisasi non-profit menjadi kunci dalam upaya menangani bencana banjir secara permanen di Kota Mataram.(Ant)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *