PONTIANAK, borneoreview.co – Di halaman rumahku di tangsi militer di kampong halaman dahulu, tumbuh dua buah pohon yang cukup besar. Yakni, pohon jambu air dan pohon jarak berduri.
Keduanya membuat teras depan rumah menjadi lebih teduh. Tak ada manfaat lainnya dari pohon jarak berduri. Tapi, lain halnya dengan jambu air yang buahnya besar, dan rasanya manis.
Saat pohon jambu ini berbuah, hasilnya pun cukup banyak dan dapat berbagi ke para tetangga. Mungkin karena manis buahnya, dan juga berdekatan dengan pohon mangga harum manis milik tetangga sebelah, pohon ini banyak sarang kerengge-nya.
Ada juga faedah pohon ini disarangi kerengge yang juga disebut semut rangrang (Oecophylla smaragdina) ini, karena menjadi sulit dipanjat.
Hampir tak ada yang berani memanjat pohon-pohon yang disarangi kerengge, tanpa pelindung yang memadai.
Kegarangan kerengge ini sering kami jadikan sindiran pada orang-orang yang sering berlaku galak. Seperti, “Habis makan sarang kerengge, ya,” atau “Coba diganti sarapannya, jangan makan sarang kerengge.”
Kerengge dikenal sebagai salah satu semut yang agresif. Hidup secara berkoloni dan teritorial, serta memiliki solidaritas tinggi. Saat satu ekor semut terancam, ia bisa menggerakkan teman-temannya, untuk membantu menyerang penyebab gangguan.
Gigitannya yang tajam, dijamin membuat bengkak. Semut ini dikenal jago dalam menenun daun, untuk dijadikan sarangnya. Tak heran jika Bahasa Inggris semut ini, berarti semut penenun atau weaver ant.
Daun-daun yang ditenunnya disatukan dengan sejenis sutera yang dihasilkan oleh larvanya. Saat banyak orang yang memelihara ikan siluk atau arwana (Scleropages formosus) serta burung-burung kicau di kampong halamanku, sarang kerengge menjadi diburu.
Larva kerengge atau kroto dikumpulkan dan diperjualbelikan untuk pakan. Banyak orang yang memanen sarang-sarang kerengge. Bahkan, sampai menjelajahi kebun-kebun rambutan.
Mereka menggunakan sepeda sambil membawa galah panjang, untuk menjangkaunya dan ember sebagai penampung hasilnya.
Kuyakin dengan semakin berkurangnya pepohonan buah di kampongku, kerengge juga berpotensi berkurang.
Tak banyak lagi kulihat para pencari kroto yang berkeliaran. Ataukah, bisa jadi pengurangan kerengge yang terjadi, lebih disebabkan sarangnya dijadikan sarapan atau makanan penduduk kota.
Habis, makin banyak saja orang galak yang kutemui di kampong halaman.***
Penulis: Dr Pahrian Siregar (Alm)