Kabut Asap dan Karhutla, Masalah Tak Pernah Selesai di Indonesia

Pemadaman Karhutla

JAKARTA, borneoreview.co – Sepanjang paruh pertama 2025, hutan dan lahan di 12 kabupaten dan kota Provinsi Riau kembali dikepung si jago merah.

Karhutla menyisakan kabut pekat, udara tidak layak hirup, dan sederet tersangka ditetapkan sebagai pihak yang melanggar hukum.

Data mutakhir menyebutkan hingga 20 Juli 2025, setidaknya 269 hektare lahan terbakar dalam 35 kejadian kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Pada paruh tahun ini sudah 44 orang ditetapkan sebagai tersangka. Sebagian dari mereka disebut sebagai pelaku yang membakar, pemodal, serta pemilik perorangan yang dengan sengaja melakukan pembakaran lahannya.

Penyebarannya merata, dari Kabupaten Kampar, Rokan Hilir, Rokan Hulu, Indragiri Hulu, hingga Kuantan Singingi.

Bahkan, 143 hektare hutan di kawasan hutan produksi terbatas (HPT) di Kecamatan Rambah Samo, Kabupaten Rokan Hulu, dibakar untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.

Sebagian titik api juga terekam di area gambut dan sekitar Taman Nasional Tesso Nilo.

“Ini bukan bencana yang murni karena alam. Sebagian besar titik api muncul karena dibakar manusia,” kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Suharyanto, dalam Rapat Koordinasi Penanganan Karhutla di Pekanbaru, Riau, Selasa (22/7/2025).

Pola dan karakteristik kebakaran menunjukkan adanya motif pembukaan lahan. Dalam sehari, luas kebakaran di Riau bisa meningkat dua kali lipat dari 546 hektare menjadi hampir 1.000 hektare.

Agaknya, laju karhutla di Riau tahun ini bukan sekadar bencana ekologi, tetapi krisis pengawasan.

Merujuk data BNPB sampai dengan pertengahan Juli 2025, karhutla secara merata melanda 12 kabupaten/kota di Riau.

Jumlah luasan lahan yang terbakar tertinggi di Kampar dan Bengkalis yang melampaui 100 hektare, kemudian Kabupaten Rokan Hilir, Siak, hingga Indragiri Hilir lebih dari 50 hektare.

Kota Pekanbaru seluas 21,08 hektare atau bertambah seluas 6 hektare dari laporan kejadian pekan lalu dan api masih terus membara di kawasan terdampak.

Pemerintah pusat, melalui Satgas Penegakan Hukum, telah merespons cepat dengan ditetapkannya 44 orang sebagai tersangka.

Meskipun demikian, oknum penjahat lingkungan itu tidak jera. Kebakaran terus merembet dan kabut asap mulai mengancam lintas batas wilayah.

Hingga kini, belum ada kejelasan, apakah para pelaku hanya dihukum administratif atau benar-benar dibawa ke pengadilan dan dijatuhi pidana penjara.

Terlebih, belum ada laporan penindakan pada korporasi pemilik konsesi yang kerap disebut dalam temuan lapangan.

Menurut Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol, beberapa perusahaan besar, seperti RAPP, Sinar Mas Group, hingga PTPN IV Ragional III telah diminta memperkuat komitmen pencegahan karhutla.

Caranya, memastikan mereka membangun sekat kanal, menyiapkan alat pemadam, dan aktif patroli lapangan.

Pola-pola kebakaran selalu mirip, dimulai dari wilayah perbatasan konsesi perkebunan, merambat ke lahan milik warga, lalu menyusup ke kawasan lindung.

Ketika musim kemarau tiba dan lahan mulai mengering, pembakaran lahan menjadi jalan pintas yang murah dan cepat.

Korek api menggantikan traktor dan alat berat. Satu batang kayu dibakar bisa membuka satu hektare lahan baru, dan dalam hitungan hari berubah menjadi hamparan siap tanam.

Masalahnya bukan hanya pelaku perorangan. Dalam banyak kasus, kebakaran ditemukan di sekitar kawasan konsesi milik korporasi besar. Artinya ini bukan sembarang insiden. Ini masif dan sistematis.

Publik masih menanti bentuk tanggung jawab konkret dari sektor swasta yang kerap disebut berada di balik pembiaran pembakaran lahan.

Desk Karhutla

Pemerintah pusat telah mengaktifkan Desk Karhutla, satuan tugas lintas sektor yang ditugaskan khusus untuk menangani kebakaran hutan dan lahan di tujuh provinsi rawan, termasuk Riau.

Dukungan operasional dijanjikan mencakup pendanaan, logistik, serta peralatan pemadaman darat maupun udara.

Deks Karhutla berlaku berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 3/2020 dan Keputusan Menko Polkam Nomor 29/2025, Kemenko Polkam bersama BNPB ditunjuk sebagai unsur utama dalam penanganan karhutla.

Sebagaimana mandat dari Presiden Prabowo, BNPB bertanggung jawab dalam memberikan dukungan pendampingan penanggulangan karhutla.

Misalnya, fungsi komando untuk pengerahan sumber daya penanggulangan karhutla, kolaborasi kegiatan peningkatan sosial ekonomi masyarakat, hingga memberikan dukungan Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kementerian Kehutanan untuk penyelesaian tumpang tindih peraturan.

Sementara untuk Kemenko Polkam, memiliki tanggung jawab atas tertibnya pelaksanaan tugas-tugas keanggotaan Desk Karhutla.

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan melaksanakan tugas lainnya yang diberikan oleh ketua pengarah dan pengendali.

Hanya saja, di lapangan, implementasi dari kebijakan itu masih harus menjangkau sepenuhnya wilayah-wilayah terpencil, dengan medan sulit.

Pada medio Mei hingga Juni 2025, dinamika atmosfer turut memicu pola cuaca yang tidak menentu. Dimana musim kemarau tiba, tetapi hujan masih turun di sejumlah lokasi.

Situasi ini dinilai membingungkan strategi mitigasi karena dalam satu provinsi bisa saja satu daerah dilanda banjir dan tanah longsor, sementara daerah lainnya justru terbakar hebat.

Ketujuh provinsi prioritas itu adalah Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan termasuk kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN) Kalimantan Timur.

Seharusnya fenomena ini bukan menjadi alasan di balik cepatnya rambatan lahan terbakar. Januari – 20 Juli, di Riau saja telah terdeteksi 790 titik panas dan 27 titik api aktif.

Situasi darurat seperti ini tidak bisa ditangani dengan pendekatan biasa berbasis pemadaman darat semata.

BNPB pun telah mengerahkan helikopter water bombing, sebagian di antaranya disediakan oleh perusahaan swasta.

Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) pun digencarkan sejak Mei dan kembali dijalankan mulai 21 Juli sampai lima hari ke depan.

Hasilnya mulai terlihat, meskipun belum merata, hujan buatan mulai membasahi wilayah, seperti Indragiri Hilir, Kuala Kampar, dan Bangkinang.

Meskipun demikian, tantangannya tetap sama dari tahun ke tahun, yakni medan gambut yang dalam dan sulit dijangkau, api yang membara dari bawah tanah, serta angin kencang yang mempercepat perluasan sebaran.

Beberapa kabupaten telah menetapkan status siaga, tetapi belum tersedia mekanisme evakuasi warga jika kualitas udara memburuk drastis.

Faktanya, kualitas udara di sejumlah titik telah mengalami degradasi. Di Rokan Hilir dan Pelalawan, warga mulai mengenakan masker N95 untuk beraktivitas.

Sekolah-sekolah pun bersiap menerapkan pembelajaran jarak jauh jika kasus ISPA meningkat.

Hingga kini, belum ada satu pun kebijakan darurat kesehatan yang resmi dikeluarkan oleh pemerintah daerah.

Kebakaran hutan dan lahan bukan sekadar urusan api dan asap. Ia adalah krisis multidimensi yang mengancam ekologi, kesehatan, ekonomi, bahkan diplomasi internasional.

Dalam konteks perubahan iklim global, Indonesia sedang mempertaruhkan reputasi dan komitmennya.

Langkah penegakan hukum memang mulai terlihat, namun konsistensi akan diuji apakah Desk Karhutla benar-benar mampu bertindak lintas sektor? Apakah para tersangka pembakar akan dihukum hingga tuntas? Dan yang paling penting, apakah bara ini akan berhenti menjadi cerita tahunan?

Pola karhutla, sejatinya bukan hal baru di Indonesia. Dalam dua dekade terakhir, bencana ini hampir selalu menghantui wilayah-wilayah rawan. Seperti, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Kalimantan.

Tahun 2015 menjadi salah satu yang terburuk, dengan 2,6 juta hektare lahan terbakar dan asap yang bahkan menyeberang ke negara tetangga.

Tahun 2019 juga mencatat lonjakan besar. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), saat itu lebih dari 857 ribu hektare hangus, dengan Kalimantan Tengah dan Riau sebagai episentrum kebakaran.

Sebanyak 328 ribu hektare, di antaranya merupakan lahan gambut yang sangat sulit dipadamkan.

Pada 2023 dan 2024, titik panas sempat menurun, terbantu oleh curah hujan serta penerapan teknologi pendeteksi dini, namun pada awal 2025 memperlihatkan tren kenaikan kembali.

Ini menunjukkan bahwa pendekatan jangka panjang, seperti restorasi ekosistem gambut dan restrukturisasi izin konsesi hutan, belum maksimal diterapkan.

Tanpa koreksi serius, Indonesia dikhawatirkan akan kembali memasuki siklus karhutla besar tiap lima tahunan yang mematikan ekologis.(Ant)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *