Warung Akeng-Warung Atong: Melayani Pembeli 24 Jam, Tapi Dua Barang Ini Pantang Dijual Saat Malam Hari

Toko Kelontong

PONTIANAK, borneoreview.co – Toko waralaba penyedia barang kebutuhan harian, sekarang semakin mengekspansi sudut-sudut kampong halaman.

Di banyak persimpangan, bahkan ada tanda penunjuk arah yang menginformasikan. Dimana toko waralaba terdekat, dan jaraknya dari persimpangan tersebut.

Pertarungan dua waralaba nasional untuk mendominasi terlihat benar-benar ketat. Jika salah satunya membuka gerai di suatu lokasi, patut diduga dalam jangka yang tak lama, gerai kompetitornya akan dibuka juga di dekatnya.

Kejelasan harga, kebersihan, kerapian penataan, rasa aman atau pelayanan berbelanja selama 24 jam, mungkin beberapa alasan banyaknya pembeli yang mendatangi toko waralaba.

Sebaliknya, keinginan memperoleh pendapatan pasif, mendayagunakan aset bangunan, kemudahan pengurusan, atau iming-iming keuntungan.

Juga keamanan investasi. Semua itu menjadi motivasi pewaralaba berlomba mengembangkannya.

Jamanku kecil di kampong halaman, perbelanjaan harian keluargaku lebih banyak dilakukan di warung kelontong yang ada di sekitar rumah. Umumnya, warung kelontong yang ada dipunyai dan dikelola oleh pemukim Tionghoa.

Aku terbiasa disuruh orangtuaku untuk berbelanja mencari barang yang dibutuhkan di rumah, baik dengan jalan kaki maupun bersepeda.

Warung referensi pertama keluargaku adalah Warung Aheng, yang berada pinggir jalan raya Alianyang, tak jauh dari tangsi militer dimana aku dibesarkan.

Jika barang yang dicari tak diperoleh, maka pencarian dilakukan ke warung referensi kedua, Warung Atong. Yang berada di simpang Jalan Penjara (sekarang Jalan KH. Wahid Hasyim) dan Jalan Veteran.

Jalan Veteran sekarang diubah menjadi Jalan Johar, nama lamanya di tahun 1960-an adalah Jalan Masrono. Jaraknya kurang lebih satu setengah kilometer dari rumah, sehingga harus ditempuh dengan bersepeda.

Jika tak ditemukan juga, artinya kebutuhan itu harus dicari di toko-toko khusus, yang biasanya berada di tengah kota, atau di Pasar Induk Parit Besar.

Warung-warung kelontong dahulu, umumnya berpintu susun dari lembaran kayu atau papan. Saat beroperasi, semua pintu kayu akan dibuka selebar-lebarnya.

Saat tutup, papan akan disusun berurutan dan kemudian dikunci menggunakan palang kayu dari dalam.

Warung menjual apa saja, mulai dari kebutuhan pokok, seperti, beras, minyak tanah, lauk pauk, perlengkapan sekolah, kosmetik hingga obat-obatan.

Bahkan terkadang ada yang lebih lengkap dibandingkan toko waralaba modern. Perbedaannya, barang dagangan tak diletakkan dengan rapi.

Karenanya, pembeli tak dapat mandiri dan membutuhkan bantuan dari pemilik atau karyawan untuk mencarinya.

Jika ramai pembelinya, alamat lebih lama waktu kita berbelanja, karena harus menunggu antrian layanan. Banyak warung kelontong yang sesungguhnya beroperasi dua puluh empat jam.

Meskipun saat malam mereka telah menutup pintunya, namun tersedia jendela kecil yang dapat dibuka untuk melayani pembeli yang datang.

Pembeli hanya mengetuk jendela tersebut, dan saat dibuka, transaksi akan berlangsung di jendela tersebut.

Cukup banyak warung kelontong yang berguguran. Ada yang tetap bertahan. Ada pula yang mengadopsi midel berjualan toko waralaba modern.

Aku ingat ada kepercayaan, para penjual warung kelontong tak akan mau melayani pembelian setidaknya dua jenis barang pada saat malam hari. Kalau tidak salah, minyak tanah dan jarum.

Kemanapun kita pergi, jika matahari telah terbenam, tak ada warung kelontong di kampong halaman yang bersedia melayani pembeliannya.

Ada yang beralasan habis, ada yang menyampaikan tak menjual barang-barang tersebut, tapi ada juga yang bilang pantang (pamali di Sunda).

Aku tak paham alasan sesungguhnya. Sekedar menduga-duga saja, penjualan minyak tanah, tentunya berbahaya karena penerangan dahulu masih sering menggunakan api. Yang berpotensi menyambar minyak yang dipersiapkan atau dibeli.

Nah, untuk jarum, bisa jadi karena ukurannya yang kecil, dapat saja jatuh atau hilang diperjalanan.

Jika terjatuh, selain merugikan si pembeli, juga berbahaya bagi orang lain.

Penulis: Dr Pahrian Siregar (Alm)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *