Mengapa Tambang Ilegal Merajalela di Indonesia? Ini Akar Masalahnya

PONTIANAK, borneoreview.co – Indonesia dikenal sebagai negara kaya sumber daya alam, terutama tambang seperti batu bara, emas, timah, hingga nikel.

Namun, kekayaan alam tersebut juga memunculkan sisi gelap: maraknya penambangan tanpa izin atau yang dikenal sebagai tambang ilegal.

Fenomena ini tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga menyebabkan kerugian negara yang sangat besar.

Salah satu akar masalah tambang ilegal adalah kemiskinan struktural di daerah kaya sumber daya. Banyak masyarakat lokal melihat aktivitas ini sebagai jalan keluar cepat dari kesulitan ekonomi. Dengan modal minim dan alat sederhana, mereka bisa langsung menggali dan menjual hasil tambang ke tengkulak atau pembeli besar.

Sayangnya, keuntungan dari tambang ilegal ini tidak menyelesaikan masalah jangka panjang. Wilayah seperti Sumatra Selatan, yang kaya akan batu bara, justru tetap memiliki angka kemiskinan tinggi. Hal ini disebabkan pendapatan dari tambang ilegal tidak masuk ke kas daerah atau negara, sehingga tidak berdampak pada pembangunan.

Selain itu, prosedur perizinan tambang di Indonesia terkenal lambat, birokratis, dan mahal. Proses mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) bisa memakan waktu hingga dua tahun, dengan berbagai syarat teknis, administrasi, dan lingkungan. Ketidakpastian ini membuat banyak orang, terutama penambang kecil, memilih jalur pintas.

Bahkan di beberapa daerah, tumpang tindih kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah semakin memperparah situasi. Ketiadaan regulasi jelas terkait Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) membuat masyarakat kesulitan mengakses legalitas, meskipun sudah menambang di wilayahnya sendiri selama bertahun-tahun.

Meski ada ribuan titik tambang ilegal di Indonesia—diperkirakan lebih dari 2.700 lokasi hingga 2023—penindakan terhadapnya masih minim. Keterbatasan sumber daya manusia, dana, dan teknologi dalam lembaga pengawas membuat aktivitas ilegal ini sulit diawasi secara optimal.

Lebih parah lagi, ada indikasi keterlibatan oknum aparat atau pejabat daerah dalam praktik tambang ilegal. Kongkalikong dengan pelaku bisnis tambang hitam menciptakan jaringan perlindungan yang sulit ditembus. Akibatnya, tambang ilegal tidak hanya bertahan, tapi terus berkembang.

Sementara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan instansi lain telah menemukan bahwa banyak izin tambang di Indonesia bermasalah. Ada IUP yang tidak memenuhi syarat, bahkan berada di kawasan hutan lindung. Tata kelola sektor pertambangan yang buruk menjadi celah besar bagi pelaku tambang ilegal untuk beroperasi tanpa hambatan berarti.

Menurut laporan terkini, luas wilayah tambang ilegal di Indonesia diperkirakan mencapai 300 ribu hektare, dan potensi kerugian negara akibat praktik ini ditaksir mencapai Rp700 triliun. Angka tersebut mencakup hilangnya penerimaan pajak, royalti, dan dampak kerusakan lingkungan.

Tambang ilegal tak hanya merugikan negara secara ekonomi, tetapi juga menimbulkan kerusakan lingkungan yang mengkhawatirkan. Di Bangka Belitung, ribuan hektare hutan dan mangrove rusak akibat tambang timah ilegal. Di Sulawesi dan Papua Barat, terumbu karang rusak karena aktivitas tambang nikel.

Contoh lain terjadi di kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN), di mana tambang ilegal ditemukan di kawasan Taman Hutan Raya Soeharto. Tambang ini bahkan menggunakan dokumen palsu dan merugikan negara hingga Rp5,7 triliun. Kasus ini menjadi bukti bahwa tambang ilegal sudah menyusup ke wilayah strategis nasional.

Rekomendasi Solusi

– Reformasi perizinan: Permudah legalisasi tambang rakyat dengan prosedur yang transparan dan murah.

– Pengawasan digital: Gunakan sistem digital seperti SIMBARA untuk melacak aktivitas tambang secara real-time.

– Penegakan hukum tanpa tebang pilih: Tindak tegas oknum aparat, pejabat, dan pemodal tambang ilegal.

– Pemberdayaan ekonomi lokal: Ciptakan lapangan kerja alternatif agar warga tidak bergantung pada tambang ilegal.

– Rehabilitasi lingkungan: Wajibkan reklamasi bekas tambang dan audit izin usaha yang sudah terbit.

Tambang ilegal bukan hanya soal pelanggaran hukum, tapi juga potret kegagalan sistem pengelolaan sumber daya alam. Selama akar permasalahan tidak dibereskan—dari kemiskinan hingga tata kelola tambang—praktik ini akan terus berulang dan merugikan bangsa.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *