Pajak Kripto Demi Keadilan Investasi dan Bisnis di Indonesia

Uang

JAKARTA, borneoreview.co – Perkembangan teknologi finansial, telah membawa aset kripto menjadi salah satu instrumen investasi yang semakin diminati di Indonesia.

Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025, melakukan reformasi besar dalam pengaturan pajak kripto.

Tujuan pajak kripto, menciptakan kepastian hukum, meningkatkan penerimaan negara, dan mewujudkan keadilan berusaha.

Hal ini menandakan bahwa Indonesia tengah memasuki era baru perpajakan aset digital di tengah lonjakan minat masyarakat pada aset kripto.

Dengan perubahan ini, pemerintah berharap ekosistem kripto nasional dapat tumbuh secara legal, terpantau, dan memberikan kontribusi signifikan bagi penerimaan negara.

Berdasarkan laporan terakhir Direktorat Jenderal Pajak (DJP), penerimaan pajak kripto secara akumulasi telah terkumpul sebesar Rp1,2 triliun sampai dengan Maret 2025.

Penerimaan pajak kripto sejak 2022 hingga 2025 berturut-turut adalah Rp246,45 miliar, Rp220,83 miliar, Rp620,4 miliar, dan Rp115,1 miliar.

Kemudian sebanyak Rp560,61 miliar bersumber dari pungutan pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 dan Rp642,17 miliar dari pajak pertambahan nilai (PPN) dalam negeri.

Saat ini dengan terbitnya PMK Nomor 50 Tahun 2025 transaksi kripto yang sebelumnya diperlakukan sebagai komoditas.

Kini, disetarakan dengan surat berharga dan menjadi tonggak kebijakan baru yang menghapus PPN atas penyerahan aset kripto, menetapkan PPh final dengan tarif sederhana, dan memperkuat tata kelola administrasi.

Regulasi ini merupakan jawaban atas tantangan perpajakan digital yang semakin kompleks sekaligus sebagai strategi memperluas basis penerimaan negara.

Sebelum hadirnya PMK 50/2025, ketentuan pajak kripto diatur melalui PMK 68/2022.

Dalam aturan lama, aset kripto dianggap sebagai Barang Kena Pajak tidak berwujud, sehingga penjualannya dikenai PPN dengan tarif efektif antara 0,12 hingga 0,24 persen.

Selain itu, PPh Pasal 22 final sebesar 0,1 persen dikenakan atas transaksi melalui platform lokal, sedangkan transaksi melalui platform asing atau PPMSE luar negeri dikenai tarif 2 persen.

Jasa penambangan dan verifikasi juga dikenai PPN melalui mekanisme khusus.

Sistem ini menimbulkan sejumlah persoalan seperti beban pajak berganda, administrasi yang rumit, dan kecenderungan pelaku usaha untuk memindahkan transaksi ke platform luar negeri.

Dalam praktiknya, efisiensi pengumpulan pajak kripto sangat dipengaruhi oleh regulasi lokal, penegakan hukum, dan kesadaran wajib pajak itu sendiri.

Dampak Regulasi Baru

PMK terbaru ini mereformasi kerangka pajak kripto secara menyeluruh.

Penyerahan aset kripto kini dibebaskan dari PPN karena dipersamakan dengan surat berharga, sehingga menghapus beban pajak berganda yang sebelumnya menjadi keluhan utama pelaku industri.

Pajak pertambahan nilai hanya dikenakan atas jasa platform dan penambang yang menyediakan sarana transaksi dan verifikasi.

Untuk pajak penghasilan, setiap transaksi kripto dikenai PPh final sebesar 0,21 persen jika dilakukan melalui platform lokal.

Transaksi melalui platform luar negeri atau penjualan langsung tanpa perantara dikenai tarif 1 persen.

Platform PPMSE dikenai PPN 12 persen dari komisi yang diterima, sedangkan penambang dikenai PPN efektif 2,2 persen serta pajak penghasilan berdasarkan tarif umum.

Selain itu, PMK 50/2025 mempertegas kewajiban penyetoran, pelaporan, bukti pemungutan, dan konversi nilai transaksi ke rupiah, disertai sanksi tegas bagi pelanggaran sesuai UU KUP.

Penerapan PMK 50/2025 membawa dampak signifikan terhadap ekosistem kripto dan penerimaan negara.

Dari sisi keadilan berusaha, pembedaan tarif PPh antara platform lokal dan asing memberikan keuntungan kompetitif kepada penyedia domestik.

Platform asing dikenai tarif lebih tinggi, yaitu 1 persen, sehingga mendorong transaksi agar beralih ke platform yang terdaftar di dalam negeri.

Hal ini menciptakan level playing field yang lebih sehat dan memotivasi pelaku usaha untuk mematuhi ketentuan domestik.

Dari perspektif penerimaan negara, PMK 50/2025 diharapkan mampu meningkatkan kontribusi sektor kripto terhadap total penerimaan perpajakan.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, nilai transaksi kripto di Indonesia sempat mencapai ratusan triliun rupiah per tahun.

Dengan tarif PPh final 0,21 persen dan penghapusan PPN yang membuat transaksi lebih transparan, pemerintah menargetkan peningkatan kepatuhan dan perluasan basis pajak.

Misalnya, jika nilai transaksi tahunan mencapai Rp250 triliun, potensi penerimaan dari PPh final saja dapat mencapai sekitar Rp525 miliar, belum termasuk PPN jasa platform dan penambangan.

Dengan mekanisme pemungutan yang lebih jelas, penerimaan ini dapat dicatat secara real-time dan menambah kepastian dalam proyeksi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Reformasi ini juga mendorong peningkatan kepatuhan sukarela karena pelaku usaha melihat beban pajak lebih sederhana dan tidak berlapis.

Kebijakan ini berpotensi memperbaiki rasio pajak (tax ratio) Indonesia yang selama ini stagnan di sekitar 10 persen terhadap PDB.

Dalam jangka menengah, dengan semakin banyaknya transaksi kripto yang tercatat dan dipungut pajaknya, sektor ini bisa menjadi kontributor baru yang mendukung diversifikasi sumber penerimaan negara.

Perbandingan Internasional

Dalam beberapa tahun terakhir, kripto tidak lagi hanya menjadi fenomena digital, tetapi juga objek perhatian serius bagi otoritas pajak di berbagai belahan dunia.

Setiap negara memiliki pendekatan yang berbeda, bergantung pada filosofi fiskal dan strategi menarik investasi.

Beberapa negara memberikan ilustrasi yang menarik tentang bagaimana kerangka hukum dan penerapan teknis pajak kripto diterapkan di tingkat internasional.

Jerman, misalnya, memiliki aturan yang relatif jelas dan berbasis pada Undang-Undang Pajak Penghasilan atau Einkommensteuergesetz (EStG).

Otoritas pajaknya, Bundeszentralamt für Steuern (BZSt), menetapkan prinsip bahwa kripto dianggap sebagai aset pribadi yang tunduk pada ketentuan pajak penghasilan apabila dijual sebelum genap 12 bulan kepemilikan.

Artinya, jika seorang individu membeli Bitcoin dan menjualnya dalam waktu enam bulan dengan keuntungan €500.

Maka, keuntungan tersebut akan diperlakukan sebagai pendapatan biasa yang dikenai tarif progresif antara 14 hingga 45 persen, ditambah solidarity surcharge sebesar 5,5 persen dan pajak gereja jika berlaku.

Namun, ada kelonggaran berupa pembebasan pajak untuk total keuntungan tahunan hingga €600. Sebaliknya, jika aset kripto tersebut dipegang lebih dari 12 bulan, seluruh capital gains menjadi bebas pajak.

Aktivitas seperti mining, staking, dan airdrop tetap diperlakukan sebagai penghasilan dan dikenai tarif progresif sesuai kategori pendapatan lainnya.

Portugal mengambil jalan yang berbeda. Negara ini semula dikenal sebagai surga kripto karena tidak memungut pajak sama sekali atas transaksi aset digital.

Namun, sejak tahun 2023, terjadi perubahan besar melalui kebijakan anggaran yang memperkenalkan tarif pajak 28 persen untuk keuntungan yang diperoleh dari penjualan kripto dengan masa kepemilikan kurang dari 365 hari.

Sementara itu, kepemilikan di atas 12 bulan tetap bebas pajak, sehingga investor jangka panjang masih memiliki insentif yang signifikan.

Aktivitas seperti staking, lending, dan airdrops kini masuk kategori pendapatan modal dan dikenai tarif yang sama, sedangkan individu yang melakukan perdagangan kripto dalam skala besar atau profesional dapat dikenai pajak penghasilan progresif hingga 48 persen.

Dalam praktiknya, seorang investor yang menjual Ethereum setelah delapan bulan harus membayar 28 persen atas keuntungannya, sedangkan penjualan setelah tiga belas bulan sepenuhnya bebas pajak jika bukan termasuk token sekuritas.

Swiss menghadirkan contoh negara yang mengandalkan statusnya sebagai pusat keuangan dunia untuk menarik minat investor kripto.

Dalam panduan dari Federal Tax Administration (FTA), aset kripto dikategorikan sebagai private wealth atau kekayaan pribadi bagi individu yang melakukan perdagangan secara sesekali.

Keuntungan dari transaksi seperti ini sepenuhnya bebas pajak, memberikan daya tarik yang besar bagi investor ritel.

Namun, jika aktivitas tersebut dilakukan secara profesional atau komersial, maka keuntungan akan dianggap sebagai pendapatan bisnis yang dikenai pajak penghasilan sesuai tarif progresif, sekaligus menimbulkan kewajiban kontribusi sosial seperti OASI.

Seorang pekerja kantoran yang sesekali menjual Bitcoin untuk kebutuhan pribadi tidak perlu membayar pajak atas capital gains-nya.

Tetapi seorang trader yang melakukan puluhan transaksi per hari harus melaporkan keuntungannya sebagai pendapatan bisnis.

Jika ditarik benang merah, pola perpajakan kripto di berbagai negara menunjukkan bahwa insentif sering diberikan untuk investasi jangka panjang dan individu nonprofesional, sementara aktivitas komersial atau perdagangan aktif cenderung dikenai pajak penghasilan atau tarif khusus.

Memberikan Keadilan

PMK 50/2025 menandai era baru pajak kripto di Indonesia yang tidak hanya memberikan kepastian hukum dan menciptakan keadilan berusaha, tetapi juga berpotensi meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan.

Dengan penghapusan PPN atas aset kripto, penerapan PPh final yang sederhana, dan penegakan administrasi yang ketat, pemerintah mampu menyeimbangkan kepentingan penerimaan negara dan pertumbuhan industri kripto domestik.

Dibandingkan praktik global, skema Indonesia bersifat pragmatis, sederhana, dan mendukung inklusi ekonomi digital.

Keberhasilan implementasi kebijakan ini akan sangat bergantung pada sosialisasi, pengawasan, dan kepatuhan administrasi yang konsisten.

Sehingga sektor kripto dapat menjadi pilar baru dalam memperkuat basis penerimaan negara di era ekonomi digital.

Outlook penerimaan negara dari sektor perpajakan kripto di bawah PMK 50/2025 terlihat lebih menjanjikan.

Dimana dengan meningkatnya volume transaksi, kepastian tarif yang sederhana, dan mekanisme pemungutan yang jelas, kontribusi kripto terhadap APBN berpotensi tumbuh signifikan.

Pemerintah memproyeksikan bahwa dalam dua tahun implementasi, penerimaan dari pajak kripto dapat meningkat dua hingga tiga kali lipat dibanding periode sebelumnya.

Selain memperkuat kas negara, kebijakan ini juga mendukung agenda jangka panjang untuk meningkatkan tax ratio melalui diversifikasi basis pajak dari sektor ekonomi digital yang terus berkembang.

Dibandingkan dengan negara-negara yang telah mengimplementasikan kebijakan perpajakan kripto, Indonesia memilih skema yang pragmatis dan pro-penerimaan negara.

Penerapan PPh final 0,21 persen dan 1 persen memudahkan pemungutan tanpa membebani individu dengan pelaporan capital gains yang kompleks.

Di sisi lain, penghapusan PPN atas penyerahan kripto mendorong efisiensi biaya transaksi dan mengurangi insentif untuk mengalihkan transaksi ke luar negeri.

Model ini menciptakan keseimbangan antara dorongan pertumbuhan ekosistem kripto domestik dan peningkatan penerimaan negara.***

*) Dr M Lucky Akbar adalah Kepala Kantor Pengolahan Data dan Perpajakan Jambi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *