SAMARINDA, borneoreview.co – Aksi mahasiswa berunjuk rasa atau demonstrasi di depan kantor DPRD Kalimantan Timur (Kaltim) mendapat pengamanan ketat dari polisi. Bagaimana tidak Kepolisian Resor Kota (Polresta) Samarinda menurunkan 800 personel.
Kapolresta Samarinda Kombes Pol Ary Fadli di Samarinda, Senin (26/8/2024) malam, mengaku melakukan pengamanan demonstrasi secara humanis dan persuasif. Namun, akhirnya harus membubarkan massa di depan DPRD Kaltim karena melewati batas waktu yang ditentukan.
“Kami sudah memberikan kesempatan untuk menyampaikan orasi, namun mereka tidak mau membubarkan diri meskipun sudah melewati jam ketentuan penyampaian pendapat di depan umum,” jelas Ary.
Hal ini, menurut Ary, mengganggu aktivitas masyarakat lainnya, terutama karena jalan di depan kantor DPRD cukup padat.
Disampaikan Ary bahwa pihaknya telah beberapa kali memberikan imbauan agar massa membubarkan diri, namun imbauan tersebut dibalas dengan lemparan batu.
“Kami terpaksa mendorong mundur dan membubarkan massa. Kami menggunakan himbauan-himbauan dan water cannon untuk membubarkan mereka,” tambahnya.
Sebagai informasi, aksi demontrasi mahasiswa di depan gedung DPRD Kaltim puncaknya semakin ramai pada pukul 16.30 Wita dan berakhir sekitar pukul 19.40 Wita usai dilakukan penanganan pembubaran oleh kepolisian.
Selain anggota Polresta Samarinda, pengamanan aksi ini melibatkan personel dari Polda Kaltim, Brimob, dan Polresta Kutai Kartanegara.
“Sejauh ini belum ada laporan resmi mengenai korban, namun beberapa lemparan batu mengenai anggota kami dan beberapa pegawai DPRD Kaltim,” jelas Ary.
Ary menegaskan bahwa beberapa peserta aksi telah diamankan, namun akan dipulangkan setelah situasi kondusif.
Sementara itu, Jenderal lapangan aksi dari Aliansi Mahasiswa Kaltim Muhammad Abizar Havid menjelaskan bahwa aksi ini dilakukan sebagai respons terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Kami melaksanakan aksi ini karena adanya putusan MK yang disahkan pada 25 Agustus kemarin. Kami juga mendesak agar rancangan undang-undang perampasan aset segera disahkan dan UU masyarakat hukum adat segera diimplementasikan,” ujar Abizar.
Abizar juga menyoroti kebijakan pemerintah yang memberikan izin usaha pertambangan (IUP) kepada ormas Islam untuk mengelola lahan pertambangan.
“Seharusnya tanah kita adalah milik kita, bukan untuk kepentingan lain. Kami hadir di sini untuk memastikan kekayaan ini milik kita, bukan milik yang lain,” tegasnya.
Aksi ini diikuti oleh mahasiswa dari berbagai kampus di Samarinda serta komunitas dan lembaga seperti Aksi Kamisan Kaltim dan organisasi Aman Kaltim.
“Kami akan terus mengawal isu-isu ini karena tidak ada yang bisa memastikan kepentingan politik dalam polemik Pilkada ini,” tambah Abizar. (Ant)