JAKARTA, borneoreview.co – Komite Perlawanan Rakyat (Kompera) hari ini menggelar peringatan “61 Tahun Wiji Thukul: Aku Masih Utuh dan Kata-Kata Belum Binasa” di kantor pusat Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Acara ini sekaligus memperingati Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional, yang semakin memperkuat pesan dan semangat perlawanan terhadap ketidakadilan.
Peringatan dimulai dengan pembacaan puisi karya Wiji Thukul, diskusi mendalam tentang warisan perjuangannya, dan pemutaran film Istirahatlah Kata-Kata yang menggambarkan perjalanan terakhir sang penyair sebelum menghilang tanpa jejak.
Wiji Thukul, yang bernama asli Wiji Widodo, lahir pada 26 Agustus 1963 di Solo, Jawa Tengah. Ia dikenal sebagai penyair dan pejuang demokrasi yang puisinya menjadi simbol perlawanan terhadap rezim Orde Baru. Salah satu puisinya yang terkenal, “Peringatan”, dengan lantang menyuarakan: Hanya ada satu kata, lawan!
Dalam perjalanan hidupnya, Wiji Thukul bersama seniman dan intelektual lainnya membentuk Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jaker) pada 1994, sebagai upaya memperkuat perlawanan terhadap kediktatoran. Namun, setelah peristiwa 27 Juli 1996 dan penyerbuan kantor PDI pro-Megawati, Wiji Thukul menjadi buronan politik dan akhirnya hilang tanpa jejak pada Januari 1998.
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyatakan bahwa hilangnya Wiji Thukul terkait dengan penghilangan paksa aktivis reformasi menjelang kejatuhan Presiden Soeharto pada 1998. Hingga saat ini, Wiji Thukul termasuk dalam daftar 13 aktivis yang masih hilang selama periode 1997-1998.
Meski Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah membentuk Panitia Khusus (Pansus) Penanganan Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa pada 2007 dan mengesahkan empat rekomendasi, termasuk pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc dan pencarian aktivis yang hilang, hingga kini janji-janji tersebut belum terpenuhi.
Peringatan kali ini juga diwarnai dengan kritik keras terhadap perkembangan politik terkini. Setelah Pemilu 2024, yang dimenangkan oleh Prabowo Subianto, tokoh yang disebut terlibat dalam penghilangan paksa, keluarga korban dan aktivis menyatakan kekhawatiran akan semakin sulitnya penyelesaian kasus-kasus ini. Selain itu, pertemuan antara perwakilan keluarga korban dan Ketua Harian DPP Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, di Hotel Fairmont Jakarta yang diduga disertai pemberian uang tali kasih senilai Rp 1 miliar, memicu kontroversi dan tuduhan gratifikasi.
Tuntutan Penyelidikan
Wilson, Dewan Penasehat Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyelidiki kasus ini.
“Kehadiran Mugiyanto sebagai pejabat publik dari KSP yang diduga juga menerima uang tali kasih Rp 1 miliar dapat diduga sebagai gratifikasi. Komisi Pemberantasan Korupsi harus memanggil Mugiyanto untuk dimintai keterangan. Pimpinan KSP juga harus memnggilnya karena patut diduga telah melanggar kode etik KSP,” ungkap Wilson
Sementara itu, Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, menegaskan bahwa penghilangan paksa adalah kejahatan terhadap kemanusiaan yang tidak bisa diampuni.
“Penghilangan paksa bukanlah kejahatan biasa, ini adalah kejahatan terhadap kemanusiaan yang tidak bisa diampuni karena alasan daluwarsa. Kejahatan ini juga tidak bisa dianulir hanya karena pelakunya pernah melalui proses pengadilan di masa lalu, di mana ia sudah divonis, dibebaskan, atau tidak termasuk dalam tuntutan pada saat itu,” kata Usman
Dalam pernyataannya, Petrus Hariyanto, Koordinator Kompera, menilai bahwa tindakan beberapa orang yang pernah diculik namun justru berdamai dengan pihak yang paling bertanggung jawab atas tragedi pengilangan paksa sebagai ironi.
“Sungguh ironis, beberapa orang yang pernah diculik bersama kawan-kawannya yang belum kembali sampai sekarang, justru berdamai dengan pihak yang bertanggung jawab atas penghilangan paksa agar proses penculikan diakhiri dengan cara barter politik,” ungkap Petrus
Hariyanto.
Tentang Kompera
Komite Perlawanan Rakyat (Kompera) adalah wadah penjaga demokrasi yang berkomitmen untuk mencapai tujuan bernegara sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945. Mereka bertekad untuk melindungi bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.