Biku, Suban dan Tungau: Penyakit Anak Bermain di Luar Rumah Era 80-an

Kolong Rumah Pinggir Sungai

PONTIANAK, borneoreview.co – Saat duduk di kelas empat hingga masa akhir sekolah dasar, tak ada waktu yang paling kunanti, selain saat sepulang sekolah hingga menjelang petang hari.

Hampir setiap hari, pada waktu-waktu tersebut selalu kuhabiskan bermain bersama teman sebaya. Sekolah bukan sesuatu yang terlalu membebani kami pada kala itu.

Hal ini kulihat sangat berbeda dengan anak-anak yang hidup pada masa ini, yang hampir tiap hari selalu disibukkan dengan pekerjaan rumah, kursus atau pelajaran tambahan.

Mungkin ini diakibatkan persaingan yang semakin hari semakin ketat atau ambisi para orang tua untuk menjadikan anaknya menjadi manusia super.

Kala itu, seingatku seakan tak ada hari yang membosankan. Tak peduli hari sedang hujan badai atau panas bedengkang (terik yang amat sangat atau panas yang membakar).

Ruang bermain kami selalu di luar rumah.

Kondisi pemukiman di Pontianak kala itu, masih sangat mendukung. Lapangan kosong masih banyak dijumpai.

Ada kolong-kolong gertak atau jalan perumahan berbentuk jembatan yang bersambungan. Badan parit dan tepi tembok atau jalan raya beraspal yang belum ramai dilalui kendaraan.

Semua itu merupakan ruang yang seakan disediakan bagi kami untuk bermain.

Anak-anak sekarang yang dibesarkan di Pontianak, mungkin tak lagi memiliki keramahan demikian.

Makin banyak lokasi perumahan yang ada telah bermetamorfosa menjadi kompleks elit yang dipisahkan pagar-pagar tinggi.

Sebaliknya diperkampungan padat, lalu lalang kendaraan mengakibatkan banyak orang tua takut membiarkan anaknya bermain keluar rumah.

Wajar saja, jika permainan video game atau ragam permainan di game zone menjadi hari-hari mereka saat ini.

Bermain di luar rumah bukannya tak beresiko. Namun, banyak sekali pelajaran dan kenangan indah, khususnya menyangkut pertemanan dan solidaritas yang kuperoleh.

Ada beberapa ’penyakit’ yang kerap kami alami akibat bermain di luar rumah, yang mungkin anak-anak sekarang tak lagi mengenalnya.

Biku, suban dan tungau adalah beberapa contoh penyebab penyakit tersebut.

Biku adalah pembengkakan di ujung jari jempol kaki. Pembengkakan ini diakibatkan masuknya lumpur ke sela-sela kuku di jempol kaki.

Terkadang pembengkakan yang terjadi dapat berlangsung berhari-hari dan mengakibatkan kaki sulit diinjakkan.

Nah, jika sedang terkena penyakit ini, tawaran teman-teman bermain bal (sepak bola) akan kutolak mentah-mentah.

Sementara itu, terkena suban merupakan derita yang sering kualami akibat main di kebun-kebun atau bermain di parit.

Suban merupakan istilah bagi potongan kayu ataupun onak (duri) yang menusuk bagian tubuh kita.

Nah, jika tidak segera dikeluarkan dapat berakibat pembengkakan. Suban yang paling ditakuti adalah suban kayu belian atau kayu ulin (Eusideroxylon zwageri).

Kayu belian sering digunakan sebagai titian (jembatan), gertak atau barau (dinding parit untuk menghindari longsor.

Suban kayu belian biasanya sangat tajam dan sulit dikeluarkan. Selain memperbesar lubang masuk suban dengan menggunakan jarum atau semit (peniti).

Ada cara lain mengeluarkannya. Yakni, menempelkan bawang putih pada lubang masuk suban selama 2-3 menit.

Suban tersebut tidak akan keluar secara langsung. Namun, dalam beberapa jam ke depan, suban tersebut dengan sendirinya akan keluar.

Tungau adalah binatang kecil yang hidup di air. Berbentuk sangat kecil (ukurannya hanyalah sebuah titik, dan berwarna merah muda.

Bila tungau menempel pada beberapa bagian tubuh, ia akan menempel dengan lekat dan mengakibatkan gatal pada daerah yang bersangkutan. Bagian tubuh yang menjadi tempat favoritnya menempel adalah pusar (pusat), ketiak dan kemaluan.

Biasanya kalau terkena tungau, kami sering bergantian membuangnya dari bagian tubuh kami, khususnya pada bagian ketiak dan pusar.

Caranya cukup mudah. Yakni, dengan mencari di mana tungau itu melekat. Selanjutnya, mencongkel dengan menggunakan jarum.

Namun, jika tungau tersebut menyerang kemaluan (khususnya bagian scrotum) kami, yang kala itu sebagian besar belum lagi disunat, agak malu juga minta tolong pada teman.

Akhirnya, terpaksalah harus mengeluarkan sendiri dengan bantuan kaca, untuk mencari lokasi serangan binatang kecil ini.

Walau seingatku berkali-kali aku terkena “penyakit-penyakit” ini, tak pernah jera aku untuk tetap bermain ke luar rumah.

Karena kalaupun aku bertahan di rumah saja, tak banyak juga permainan dan hiburan yang bisa kunikmati.

Tidak seperti anak sekarang, yang dininabobokkan beragam siaran televisi, film video, video game dan beragam mainan lainnya.

Yang menurut pengamatanku, lebih mendorong mereka menjadi lebih soliter dan kurang solider.

Mudah-mudahan saja pengamatanku ini salah.***

Penulis: Dr Pahrian Siregar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *