PONTIANAK, borneoreview.co – Tembok, paret dan anen adalah tiga tempat yang paling diwantiwanti orangtua kami.
Terutama pada anak-anak, saat masih berada di kelas satu hingga tiga di sekolah dasar di kampong halamanku dulu, di Pontianak.
Tembok, paret dan anen merupakan tiga tempat, yang dipandang dapat berbahaya dan beresiko untuk dijadikan tempat bermain.
Tak hanya orangtua saja, tetapi tetangga dan orang dewasa sekitar lainnya pun akan memperingatkan kami, jika diindikasikan sedang mendekatinya.
Tembok atau jalan raya merupakan tempat yang dikhawatirkan dapat mengakibatkan kami menjadi korban kecelakaan lalu lintas.
Walaupun saat itu jalan raya belum sepadat saat ini, namun kecelakaan fatal telah sering terjadi.
Maklum saja, teknologi keselamatan kendaraan bermotor belumlah secanggih saat ini. Tak heran, saat kami berjalan mengarah ke jalan raya, pasti ada saja yang meneriakkan kami, melarang menuju ke sana.
Bahkan, dengan ancaman akan melaporkannya ke orangtua kami.
Paret pada masa itu masih cukup lebar dan dalam. Meskipun sudah tak terawat seperti di era 1950 hingga 1960-an, beberapa paret bahkan masih dapat dilalui sampan.
Kabarnya, pada era 1950-an, paret-paret yang ada sangat jernih dan rutin diberi desinfektan.
Sebab, sebagian besar penduduk menggunakannya sebagai tempat mandi dan cuci.
Pada masa kolonial hingga 1950-an, saluran pembuang terpisah dengan sistem paret yang ada.
Sistem pembuangan disalurkan melalui saluran khusus yang dinamai longkang, yang dialirkan langsung ke Sungai Kapuas.
Paret di masaku kecil menjadi tempat yang menarik bagi kami, apalagi di saat air pasang.
Ingin rasanya sekedar berenang atau bermain-main di paret. Tapi jangan coba-coba. Baru saja terlihat menyelupkan kaki ke paret, sudah pasti banyak yang mencegahnya.
Anen atau fasilitas kelistrikan, seperti: tiang dan gardu, jangan coba-coba pula untuk kami dekati. Saat tak ada kelayang yang sangkut saja, kami tak diperkenankan mendekatinya.
Wajar saja, saat itu sistem insulasi penghambat aliran listrik belum sebaik sekarang.
Apalagi, kabel listrik yang digunakan masih menggunakan kabel terbuka.
Ada saja kabar dan cerita di masa itu orang yang tersengat listrik. Pun, gardunya sering terjadi ledakan akibat hubungan pendek.
Saat sudah beranjak semakin besar, meskipun larangan masih diberlakukan, namun tidak seketat sebelumnya.
Masa itu, rasanya penjagaan dan pengawasan pada anak-anak yang masih kecil bukan hanya kewajiban keluarga.
Namun juga diemban oleh segenap komunitas yang ada. Kemanapun anak-anak bergerak, ada saja mata yang mengikuti menjaganya.
Rasanya, hal inilah yang kuamati mulai luntur. Apakah ini penanda beranjaknya kampong halamanku, Pontianak menjadi kota metropolitan?***
Penulis: Dr Pahrian Siregar