Kopi Dieng: Aroma dan Kelembutan Cita Rasa Kopi Dataran Tinggi

Kopi Dieng

BANJARNEGARA, borneoreview.co – Malam di Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Malam dibalut kabut lembut, angin dingin menyusup.

Dingin mengundang langkah para pengunjung Dieng Culture Festival (DCF) XV Tahun 2025 yang digelar pada 23-24 Agustus, untuk menepi dan meraih secangkir kopi.

Uapnya mengepul lirih. Di balik aroma itu ada cerita dan harapan yang dalam. Kopi terbentuk oleh tanah vulkanik, petani gigih, dan generasi muda yang menyalakan kembali tradisi agraris.

Kopi Dieng bukan sekadar minuman penghangat. Ia adalah narasi rasa dari citrus lembut, seperti jeruk atau pomelo. Berpadu dengan nuansa teh hitam dan manis samar menyerupai gula aren, karamel, atau cokelat.

Meruda Danu, pegiat kopi dari Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Banjarnegara menjelaskan, kalau full wash, rasanya lebih ke citrus.

Ada nuansa teh, dan sweetness, seperti cokelat atau karamel.

Danu adalah roaster, penguji mutu di MPIG, dan juga bagian dari komunitas yang memperjuangkan agar kopi Banjarnegara memiliki legalitas.

Upaya serius para pegiat kopi menemukan jalannya, lewat MPIG Banjarnegara. Lembaga ini resmi terdaftar sejak 2020 di Kementerian Hukum dan HAM.

Fungsinya sebagai payung resmi yang menaungi semua pelaku kopi dari hulu hingga hilir.

Rasa kopi Dieng tak lepas dari faktor mikroiklim, cara panen, hingga teknik sangrai.

Setiap tahapan memberi peran penting dalam menciptakan sensasi yang kini menjadi kebanggaan daerah.

Dalam perjalanan pengembangan kopi Banjarnegara, Bank Indonesia (BI) menjadi salah satu mitra strategis yang merepresentasikan hadirnya negara untuk membantu para pelaku usaha kopi di wilayah Dieng.

Pada DCF 2022 dan 2024, Kantor Perwakilan (KPw) BI Purwokerto turut mendampingi para pegiat kopi melalui fasilitasi, pelatihan, hingga pembiayaan.

BI mendorong digitalisasi pemasaran, peningkatan literasi keuangan, dan penguatan kelembagaan petani kopi.

Dukungan ini sejalan dengan program pengembangan UMKM unggulan daerah yang menjadi perhatian BI di berbagai wilayah.

Meski pada 2025 fasilitasi teknis berada di bawah Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Usaha Kecil dan Menengah (Disperindagkop UKM) Kabupaten Banjarnegara, jejak dukungan BI tetap terasa.

Banyak barista, roaster, dan kelompok petani kopi yang sebelumnya mendapat pelatihan, kini tampil percaya diri di arena DCF.

Kalau dulu mereka hanya komunitas, sekarang lebih siap karena pernah mendapat pendampingan.

Jadi DCF bukan hanya untuk jualan, melainkan juga untuk menunjukkan bahwa kopi Banjarnegara punya kualitas.

Jumlah stan memang lebih sedikit dibanding tahun-tahun sebelumnya. Dari 30 stan pada 2022 dan 20 stan pada 2024, tahun ini hanya ada 8 stan kopi.

Namun, penyajiannya lebih terorganisasi melalui Dieng Coffee Showcase yang menyuguhkan proses penuh, -dari kebun, sangrai, hingga seduh.

Sementara pengunjung menikmati seduhan, terdapat ruang untuk memahami kisah di balik setiap cangkir.

Tahun 2025, BI memfasilitasi 32 UMKM pada DCF XV, 14 lokal dan 18 binaan BI, termasuk delapan UMKM kopi.

Mereka menyediakan booth, mendukung digitalisasi pembayaran lewat QRIS, dan memberikan edukasi keuangan serta kampanye “Cinta Bangga Paham Rupiah”.

Selain itu, BI juga mendukung pembangunan Coffee Learning Center (pusat pembelajaran kopi) di Desa Babadan, hasil kolaborasi dengan Universitas Gajah Mada (UGM) dan Pemerintah Kabupaten Banjarnegara.

Di lokasi itu, petani mendapatkan pelatihan agronomi, pascapanen, cupping, dan pemasaran, membangun kompetensi berbasis aktivitas nyata dan data.

Hortikultura Bertemu Kopi

Banjarnegara telah lama dikenal sebagai pusat sayuran dataran tinggi, yakni kentang, wortel, kubis yang tumbuh tanpa jeda. Lahan intensif seperti ini memberi hasil cepat, namun mendorong degradasi tanah.

Kini, batang kopi arabika tumbuh selaras, di sela-sela kebun hortikultura, menjadi alternatif yang menjanjikan berkelanjutan.

Di Batur, generasi muda menanam kopi, bukan hanya untuk ekonomi, tapi juga untuk tujuan konservasi.

Akar kopi kuat, mencegah erosi lebih baik ketimbang sayur musiman.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, luas tanam kopi di Kabupaten Banjarnegara mencapai sekitar 3.103,83 hektare, hanya sekitar 4,3 persen dari total lahan non-sawah seluas 72.140 hektare.

Sementara itu, produksi kopi pada periode itu mencapai sekitar 2.110,86 ton.

Pendataan akademik lain menyebut bahwa kopi robusta ditanam di lahan 1.890 hektare, dengan produksi 865 ton (produktivitas 755 kg/ha). Aementara kopi arabika di lahan 553 hektare menghasilkan 201 ton (produktivitas sekitar 805 kg/ha).

Ini menunjukkan ada ruang besar untuk ekspansi pertanian kopi dalam rangka meningkatkan volume, sekaligus distribusi ke pasar yang lebih luas.

Permintaan kopi Dieng terus meningkat, namun produksi justru turun drastis tahun ini. Perubahan iklim menjadi penyebab utama.

Bulan Agustus yang biasanya kering, justru masih diguyur hujan. Saat bunga kopi sedang mekar, hujan deras membuatnya rontok.

Akibatnya, hasil panen anjlok. Jika pada 2024 mitra petani bisa memproses hingga 50 ton arabika dalam satu musim, tahun ini hanya sekitar 10–15 ton.

Penurunan hampir 70 persen itu tentu membuat pelaku kopi bekerja lebih keras.

Untuk saat ini, orientasi kopi Banjarnegara masih pasar domestik. Pasar terbesar ada di Purwokerto, yang menyerap banyak kopi untuk kebutuhan kafe-kafe.

Di Purwokerto, pasar lebih heterogen karena ada kampus dan komunitas. Kalau di Banjarnegara masih homogen.

Meski beberapa pelaku sudah mencoba menjual ke Jakarta atau kota besar lain, skala masif belum bisa dilakukan.

Produksi terbatas membuat suplai tidak stabil, sementara untuk menembus pasar ekspor dibutuhkan konsistensi volume.

DCF bukan hanya pentas seni dan budaya. Festival ini juga panggung ekonomi kreatif.

Pada DCF 2025, kehadiran BI mendorong UMKM lokal untuk menjangkau pasar internasional, bahkan di era digital ini melalui QRIS.

Pada gelaran sebelumnya, festival mencatat ekonomi bergerak sekitar Rp50 miliar dalam tiga hari.

Bagi pelaku kopi, DCF menjadi momentum memperlihatkan bahwa kopi Dieng lebih dari sekadar minuman, melainkan identitas dan harapan yang dituangkan dalam satu cangkir.

Cerita Penikmat

Bagi Lilik, seorang penikmat kopi asal Purwokerto, setiap festival adalah kesempatan menemukan rasa baru.

Ia mengaku sudah sering membeli kopi Kailasa, salah satu daerah di Dataran Tinggi Dieng, tapi malam ini ada seduhan yang terasa berbeda. Ada rasa cokelat yang lembut sekali.

Penikmat kopi lainnya, Raka, mengatakan kopi bukan sekadar minuman pada malam hari. “Kalau malam-malam begini, kopi itu bukan sekadar minuman.

Dia menjadi teman ngobrol, penghangat, dan menjadi alasan untuk berhenti sejenak, menikmati suasana,” ujar pengunjung asal Jakarta itu.

Testimoni semacam itu yang membuat para pegiat kopi semakin yakin, bahwa kopi Dieng bukan sekadar tren sesaat.

Ada kualitas yang benar-benar bisa dibanggakan, meskipun tantangan tetap besar.

Di tengah kabut yang semakin tebal, secangkir kopi Dieng menjadi oase hangat.

Ia merepresentasikan upaya menjaga tanah, membangun solidaritas lintas generasi, dan merajut budaya serta ekonomi lokal yang berkelanjutan.

Kopi ini bukan sekadar rasa dan aroma. Ia adalah wujud tekad petani menjaga warisan tanah, anak muda yang menghidupkan harapan lewat kebun, serta simbol identitas masyarakat Banjarnegara.

Setiap tegukan bukan hanya tentang cita rasa, tetapi tentang usaha kuat mempertahankan rumah budaya di ketinggian Dieng.

DCF mungkin akan usai, lampu lampu padam, kabut berlalu. Namun kisah kopi, aromanya yang hangat, kelembutannya yang menenangkan, dan maknanya yang dalam, akan tetap hidup di hati setiap penikmat.

Di pegunungan Dieng, secangkir kopi adalah secangkir harapan.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *