Merti Golong Gilig Kampung Dipowinatan Yogyakarta: Menikmati Kue Basah dan Jajanan Gratis, Serasa Mudik Kedua

Kampung Dinotan

YOGYAKARTA, borneoreview.co – Di tengah deretan hotel dan lalu lintas padat di kota gudeg, suasana terasa berbeda begitu memasuki sebuah gang Kampung Dipowinatan, Kecamatan Mergangsan, Kota Yogyakarta.

Memasuki kampung itu, aroma gorengan dan jajanan pasar segera menyeruak. Ibu-ibu menata kue basah, nasi gurih, hingga wedang jahe hangat di meja sederhana yang berjajar di kanan-kiri jalan.

Tidak ada label harga yang tertera. Semua yang datang disambut hangat oleh warga setempat. Mereka dipersilakan mencicipi, bahkan wisatawan asing yang kebetulan melintas ikut disodori piring.

“Ambil saja, gratis. Ini suguhan warga,” ucap seorang ibu sambil tersenyum ramah.

Sore itu, Kampung Dipowinatan memang sedang menggelar Merti Golong Gilig, pesta rakyat yang selalu dihelat saban 18 Agustus.

Rangkaian Merti Golong Gilig dimulai dengan kirab pasukan Bregodo dan gunungan berisi berbagai camilan.

Prosesi kemudian dilanjutkan dengan simbolisasi mengikat sapu lidi, penancapan bendera, doa bersama, hingga perebutan gunungan oleh masyarakat yang berlangsung meriah.

Ketua Panitia Merti Golong Gilig Dipowinatan Mahadeva Wahyu Sugianto menjelaskan kegiatan yang telah menjadi tradisi tahunan ini adalah simbol pemersatu masyarakat sekaligus pesta rakyat.

Prosesi pengikatan sapu lidi menggambarkan banyaknya warga yang diibaratkan seperti lidi.

Ketika diikat menjadi satu, lidi akan lebih kuat, sebagaimana persatuan warga kampung, dilanjutkan dengan penancapan bendera Merah Putih sebagai simbol kesepakatan bersama.

“Merti Golong Gilig ini kami gelar sebagai wujud persatuan sekaligus ajang promosi potensi kampung,” ujarnya.

Tradisi itu berakar dari sejarah penyatuan dua kampung, yakni Kintelan dan Numbal Anyer, yang kemudian dikenal dengan Kampung Dipowinatan.

Nama Dipowinatan sendiri merujuk pada keberadaan Ndalem Dipowinoto, salah satu pangeran dari Kraton Yogyakarta.

Adapun insiatif warga yang secara sukarela menyajikan aneka jajanan atau makanan secara gratis merupakan simbol kerukunan sekaligus promosi produk usaha mereka.

“Gratis bukan berarti tidak butuh uang. Ini bagian dari promosi supaya masakan warga kami dikenal luas. Harapannya, setelah mencoba, orang akan memesan kembali,” tuturnya.

Mudik Kedua

Tanpa ada komando atau undangan, para warga setempat yang berada di perantauan pada umumnya secara mandiri menyempatkan pulang untuk merayakan momen itu.

Ada yang datang dari kota tetangga, ada pula yang menempuh perjalanan jauh demi bisa larut dalam suasana. Bagi mereka, tanggal 18 Agustus sudah menjadi penanda pasti untuk pulang.

Karsono (75) salah satu warga kampung menyebut momen tahunan itu, dikenal warga sebagai agenda mudik kedua.

Bagi warga kampung mudik pertama adalah saat merayakan Hari Raya Idul Fitri atau Natal, sedangkan mudik kedua adalah 18 Agustus atau sehari setelah perayaan HUT Kemerdekaan RI.

“Biasanya perantau tahu sendiri, tanggal 18 Agustus pasti ada acara ini. Jadi pulang, meski tanpa diundang,” tutur Karsono.

Ia mengenang sejak masih muda tradisi itu selalu digelar, dan sampai kini tetap dipertahankan sebagai ajang silaturahmi.

Baginya, Merti Golong Gilig lebih dari sekadar pesta rakyat. Momen itu menjadi ruang temu antargenerasi dimana anak-anak dapat mengenal budaya leluhur.

Orang tua bertemu sahabat lama, dan warga perantauan pun melepas rindu dengan kerabat.

“Dulu waktu muda saya ikut jadi panitia, sekarang sudah jadi pembina. Senang rasanya masih bisa menyaksikan suasana ini berjalan terus,” ucap sesepuh Kampung Dipowinatan ini.

Suasana kampung pun mendadak penuh. Gang-gang yang sehari-hari tenang kini ramai oleh sapa, tawa, dan hilir mudik wisatawan di lorong gang-gang kampung.

Kampung Ceko

Sebelum resmi ditetapkan sebagai kampung wisata pada 2006, Dipowinatan sudah lebih dulu dikenal oleh wisatawan asing, khususnya dari Republik Ceko.

Kedatangan mereka meninggalkan jejak yang kemudian membuat kampung ini dijuluki “Kampung Ceko”.

Menurut Agra Yusfanudin, Ketua Kampung Wisata Dipowinatan, rombongan wisatawan dari Ceko hampir selalu singgah ke kampung ini.

Mereka tidak hanya berkunjung sebentar, tetapi juga tinggal bersama warga, meski saat itu istilah “homestay” belum dikenal di kampung itu.

“Bule-bule waktu itu tidur di rumah warga, makan bersama, bahkan ikut kegiatan kampung. Dari situ baru kita sadar, oh, ternyata namanya homestay,” ujarnya.

Kedekatan itu membuat para wisatawan merasa bebas berbaur. Mereka mengenakan pakaian Jawa, ikut kirab dalam perayaan Merti Golong Gilig, hingga menyaksikan langsung pertunjukan tari dan jajanan kampung.

Pengalaman itu menjadi keunikan Dipowinatan di mata mereka, sebuah kampung yang menawarkan keramahan dan keseharian warga tanpa dibuat-buat.

Sejak itu, Dipowinatan kerap menjadi rujukan bagi wisatawan yang ingin merasakan suasana kampung Jogja secara otentik.

Pengalaman menerima tamu Ceko juga menjadi cikal bakal munculnya “homestay” di kampung-kampung wisata lain di Yogyakarta.

Wakil Wali Kota Yogyakarta Wawan Harmawan, yang kali pertama hadir dalam perayaan Merti Golong Gilig, mengaku kagum dengan suasana kebersamaan warga.

Menurutnya, acara tersebut menghadirkan semangat gotong royong yang nyata sekaligus memperlihatkan kekompakan dan kebersamaan warga.

“Sejak masuk ke kampung, kanan kiri warga sudah menawarkan makanan dan jajanan secara gratis. Ini benar-benar gotong royong sesuai program Segoro Amarto, Semangat Gotong Royong Agawe Majune Ngayogyokarto,” ujarnya.

Tradisi Merti Golong Gilig di Dipowinatan menjadi bukti bahwa gotong royong dan budaya masih terjaga di tengah kota.

Dari jajanan gratis hingga pertunjukan seni, warga mampu menjaga kebersamaan sekaligus merawat warisan leluhur mereka secara turun temurun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *