Museum dan Memori Kolektif, Menjaga Ingatan Warga terhadap Bencana di Indonesia

Museum

JAKARTA, borneoreview.co – Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia tidak hanya memiliki keanekaragaman hayati namun juga risiko bencana yang tinggi.

Indonesia memiliki sabuk gunung berapi dari Aceh hingga Papua. Sementara itu dengan posisi yang terletak di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, wilayah Indonesia.

Indonesia juga berada di titik pertemuan empat lempeng tektonik utama, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng Laut Filipina.

Hal tersebut menyebabkan Indonesia menjadi salah satu wilayah paling aktif secara seismik dan vulkanik di dunia.

Pertemuan lempeng-lempeng ini menyebabkan aktivitas geologis, seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, dan tsunami di berbagai wilayah kepulauan.

Jakarta sebagai ibu kota negara juga memiliki potensi bencana yang tinggi, tidak hanya banjir, namun juga dampak dari gempa raksasa atau sering disebut megathrust.

Hasil kajian dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa Jakarta berpotensi mengalami dampak besar gempa megathrust.

Yang diprediksi terjadi di bagian barat dan selatan Indonesia yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia dan menunjukkan pergerakan subduksi lempeng-lempeng tektonik aktif.

Jakarta tentu akan mengalami dampak dari pergerakan subduksi lempeng tersebut.

Belajar dari kejadian bencana di Myanmar pada 28 Maret 2025, Jakarta berpotensi mengalami dampak gempa sebagaimana yang terjadi di Bangkok, Thailand.

Meskipun lokasi Bangkok berjarak cukup jauh sekitar 1.000 km dari episentrum gempa di Myanmar, dampak yang dirasakan, seperti kerusakan bangunan dan timbulnya korban jiwa, dirasakan di Bangkok.

Kondisi serupa dapat juga terjadi di Jakarta yang memiliki struktur tanah yang serupa, yaitu tanah lunak.

Di sinilah perlunya kesiapsiagaan dari seluruh pihak untuk menyikapi potensi gempa megathrust yang dapat berdampak serius berupa kerusakan besar bangunan dan infrastruktur di Jakarta.

Hal yang harus diperhatikan adalah minimnya budaya tanggap bencana pada masyarakat. Beberapa faktor berpengaruh terhadap kondisi tersebut.

Antara lain, ketiadaan memori terhadap bencana, minimnya literasi kebencanaan, menurunnya budaya literasi pada masyarakat, hingga prioritas pembangunan mulai dari pusat maupun daerah.

Meskipun program penanggulangan bencana selalu dimasukkan sebagai bagian dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan juga disesuaikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

Di dalam praktiknya penanggulangan bencana belum mendapatkan perhatian khusus secara menyeluruh dari seluruh pihak.

Pembangunan nasional maupun daerah masih diprioritaskan pada pendekatan sektoral.

Masalah, seperti pelanggaran tata ruang, ketiadaan standar ketahanan bangunan tahan gempa maupun kesadaran seluruh pemangku kepentingan menjadi tantangan nyata yang dihadapi saat ini.

Peran Museum

Di sisi lain, memori masyarakat terhadap kebencanaan di wilayah tempat tinggal masing-masing ternyata juga sangat minim.

Memori pendek masyarakat, saat ini menjadi tantangan serius dalam mendorong penguatan budaya tanggap bencana di seluruh Indonesia.

Salah satu contohnya adalah bagaimana masyarakat di Kabupaten Cianjur yang tidak memiliki memori yang kuat terhadap siklus gempa 20 tahun di daerah tersebut.

Yang menyebabkan banyaknya gedung perkantoran, tempat bisnis dan tempat tinggal yang rusak, saat bencana gempa tektonik melanda kabupaten tersebut pada tahun 2022.

Budaya tanggap bencana harus dimiliki oleh masyarakat, sejak saat mendirikan rumah, struktur, dan bahan bangunan serta wilayah tempat tinggal yang rawan bencana.

Pemerintah daerah harus memiliki pemahaman terkait kebencanaan yang menyeluruh di wilayah masing-masing. Standar pelayanan minimal (SPM) sub-urusan bencana harus mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah daerah.

Seluruh pimpinan daerah tidak lagi bisa hanya fokus pada investasi dan pendapatan asli daerah dan melupakan potensi bencana di daerahnya.

Tanpa antisipasi yang tepat terhadap risiko bencana, justru akan berpengaruh terhadap investasi dan iklim usaha di daerah masing-masing.

Masyarakat Indonesia perlu diperkuat kesiapsiagaannya terhadap bencana di wilayah tempat tinggal masing-masing. Upaya diseminasi informasi telah banyak dilakukan, namun belum optimal dapat membangun kesadaran masyarakat tersebut.

Memori pendek masyarakat menjadi tantangan yang harus dihadapi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperkuat memori masyarakat Indonesia terhadap bencana adalah, dengan menyiapkan sarana informasi dan edukasi kebencanaan terhadap masyarakat.

Museum dapat digunakan sebagai sarana informasi dan edukasi tersebut. Indonesia perlu belajar dari berbagai negara yang gencar mendorong museum, salah satunya adalah Jepang.

Pemerintah Jepang, baik pusat maupun daerah atau prefektur, bisa menjadi referensi tentang betapa aktifnya mereka dalam memperkuat peran museum, sebagai sarana edukasi dan informasi bagi masyarakat terkait penanggulangan bencana.

Berbagai wilayah yang pernah mengalami bencana, pasca-pemulihan kemudian mendirikan museum atau monumen bersejarah untuk mempertahankan memori publik terhadap bencana yang pernah terjadi di wilayah tersebut.

Salah satunya adalah Prefektur Kumamoto. Bencana gempa bumi yang melanda prefektur tersebut pada tahun 2016 menyebabkan Pemerintah Prefektur menginisiasi pendirian Kumamoto Earthquake Memorial Museum KIOKU.

Museum tersebut didirikan untuk menjaga memori masyarakat di daerah tersebut terhadap bencana gempa yang dashyat dan menimbulkan kerugian materiil dan nonmateriil yang sangat besar.

Museum juga dibangun dengan arsitektur yang sangat bagus, artistik, dan kokoh untuk menunjukkan kewaspadaan tingkat tinggi dari Pemerintah Prefektur Kumamoto.

Pengurangan Risiko

Di sisi lain, beberapa bangunan yang menjadi saksi bisu dahsyatnya gempa bumi di kawasan tersebut masih dipertahankan untuk menjadi pembelajaran bagi masyarakat.

Berbagai program dan kegiatan diseminasi pengurangan risiko bencana juga secara rutin digelar di museum tersebut.

Indonesia telah melakukan hal serupa, seperti Museum Tsunami dan gedung memorial PLTD Apung di Banda Aceh, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Musium itu mempertahankan memori masyarakat terhadap bencana gempa bumi dan tsunami yang melanda provinsi tersebut pada 26 Desember 2004.

Pemerintah Indonesia, baik pusat maupun daerah, khususnya di daerah rawan bencana, perlu membangun dan memperkuat sarana informasi dan edukasi kebencanaan terhadap masyarakat melalui museum atau memorabilia bencana.

Beberapa wilayah, seperti Daerah Khusus Jakarta, Cianjur, Yogyakarta, Padang, Lumajang, dan daerah lain, harus aktif membangun sarana tersebut.

Keterbatasan anggaran tidak dapat dijadikan alasan yang menghalangi upaya pembangunan sarana tersebut.

Ini dikarenakan banyaknya bangunan bersejarah di berbagai wilayah yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana edukasi.

Sebagai contoh Museum Bahari di Jalan Pasar Ikan, Jakarta Utara. Arsitektur bangunan eks gudang rempah VOC tersebut, menunjukkan bagaimana adaptasi terhadap banjir rob dan penurunan muka tanah di kawasan tersebut.

Pintu kayu gudang yang sangat tebal juga menunjukkan bagaimana upaya mengantisipasi banjir rob.

Selain sebagai pengamanan terhadap tanaman rempah yang bernilai ekonomi tinggi di masa kekuasaan VOC.

Pemerintah pusat dan daerah harus secara aktif memperkuat peran museum sebagai sarana edukasi, diseminasi dan informasi kebencanaan bagi masyarakat.

Upaya pengurangan risiko bencana harus terus dilakukan secara berkesinambungan.

Sebagai negara kepulauan dengan risiko bencana yang tinggi, kesadaran seluruh pihak perlu terus diperkuat.

*) Andre Notohamijoyo adalah Asisten Deputi Pengurangan Risiko Bencana, Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *