Penanganan Sampah Perkotaan, Insinerator Jadi Masa Depan Pengolahan

Insinerator

MATARAM, borneoreview.co – Di sebuah gang di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Seorang ibu rumah tangga bernama Nuraini, sering mengeluh soal sampah yang menumpuk di sudut jalan.

Setiap pagi ia harus menutup hidung, ketika melewati tumpukan plastik bekas, sisa makanan, hingga popok sekali pakai. Sampai itu menggunung di dekat bak sampah umum.

Bau menyengat itu bukan sekadar gangguan indera, tapi juga tanda bahwa persoalan sampah di perkotaan sudah menjerat kehidupan sehari-hari warganya.

Kisah Nuraini adalah cerminan persoalan yang dialami hampir semua kota besar di Indonesia.

Jakarta menghasilkan sekitar 7.000 ton sampah per hari, Surabaya 1.500 ton, dan Mataram sendiri mencapai 240 ton sampah per hari.

Jika tidak ada intervensi, volume itu akan terus bertambah seiring pertumbuhan penduduk, aktivitas ekonomi, dan gaya hidup konsumtif.

Sampah adalah wajah paling jujur dari sebuah kota. Ia menunjukkan pola konsumsi warganya, kemampuan pemerintah mengelola lingkungan, dan sejauh mana kesadaran publik terbentuk.

Selama ini, pola pengelolaan sampah di Indonesia masih bertumpu pada sistem klasik, kumpul-angkut-buang.

Sampah dikumpulkan dari rumah tangga, diangkut dengan truk, lalu dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA).

Model ini menyimpan masalah laten. TPA cepat penuh, biaya operasional membengkak, dan lingkungan sekitar terancam pencemaran.

TPA Kebon Kongok di Lombok Barat, misalnya, yang menjadi lokasi pembuangan utama Kota Mataram.

Lokasi itu beberapa kali harus membatasi volume sampah masuk karena daya tampungnya kritis. Akibatnya, tumpukan sampah di TPS Sandubaya sempat mencapai ribuan ton.

Teknologi Sampah

Banyak kota besar dunia beralih ke pendekatan teknologi. Di Jepang, insinerator menjadi tulang punggung penanganan sampah perkotaan, bahkan menghasilkan listrik untuk jaringan kota.

Di Singapura, insinerator menekan kebutuhan lahan TPA yang sangat terbatas. Indonesia mulai menapaki jalur serupa.

Kota Surabaya, Bekasi, hingga Yogyakarta sudah mengoperasikan insinerator dengan kapasitas besar.

Meski, masih menghadapi persoalan biaya dan kesiapan teknis.

Insinerator bekerja dengan membakar sampah pada suhu tinggi, sehingga volumenya menyusut drastis, dan menyisakan residu hanya 2–3 persen berupa abu.

Energi panas dari pembakaran bisa dikonversi menjadi listrik.

Meski sempat menuai kontroversi soal polusi, teknologi terbaru menjanjikan emisi lebih bersih, sesuai standar lingkungan.

Di Mataram, teknologi insinerator mulai diperkenalkan sejak pertengahan 2025.

Sebuah mesin hibah dari Korea Selatan ditempatkan di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Sandubaya.

Hasil uji coba cukup mengejutkan karena dari 3–5 ton sampah yang dibakar setiap hari, hanya tersisa 9–10 kilogram residu.

Bahkan residu itu sedang diuji coba untuk diolah menjadi batako, sehingga benar-benar minim limbah.

Pemkot Mataram menargetkan tiga unit insinerator beroperasi di Sandubaya, masing-masing berkapasitas 10 ton per hari.

Jika ketiganya berjalan penuh, 30 ton sampah bisa dikurangi per hari.

Ditambah pengolahan di TPST modern Sandubaya yang mampu menangani 50 ton, maka pembuangan ke TPA bisa ditekan signifikan, tinggal sekitar separuh dari total sampah harian kota.

Namun, jalan menuju efisiensi tidak sepenuhnya mulus. Insinerator butuh daya listrik besar, hingga 33.000 watt untuk satu unit.

Pemerintah Kota Mataram harus mengusulkan tambahan daya ke PLN dan menyiapkan anggaran sekitar Rp30 juta melalui APBD perubahan.

Selain itu, sumber daya manusia juga menjadi kendala. Dengan tiga unit insinerator, minimal enam operator harus disiagakan, sementara tenaga kebersihan lapangan sudah menipis.

Jejak Kota Lain

Jika menoleh ke kota lain, Mataram sebenarnya bisa belajar banyak. Jakarta, misalnya, tengah membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Sunter dengan kapasitas 2.200 ton per hari.

Proyek bernilai triliunan rupiah ini menjadi salah satu yang terbesar di Asia Tenggara, meski prosesnya panjang akibat persoalan regulasi, biaya, dan keberatan warga sekitar.

Di Bekasi, insinerator berkapasitas 100 ton per hari sudah dioperasikan sejak beberapa tahun lalu.

Teknologi ini terbukti mampu memangkas ketergantungan kota pada TPA Bantargebang, yang selama ini menjadi simbol krisis sampah Jabodetabek.

Meski begitu, biaya pengolahan per ton sampah di Bekasi sempat dikritik terlalu tinggi.

Sementara itu, Surabaya menjadi contoh kota dengan pengelolaan sampah relatif maju.

Selain insinerator, Surabaya memanfaatkan bank sampah, komposting, hingga pemilahan berbasis warga.

Kombinasi teknologi dan partisipasi publik membuat volume sampah yang masuk ke TPA Benowo bisa ditekan drastis.

PLTSa Benowo, bahkan menghasilkan listrik sekitar 11 megawatt yang dijual ke PLN.

Perbandingan ini menunjukkan bahwa keberhasilan pengelolaan sampah dengan insinerator tidak hanya ditentukan mesin.

Tapi juga ekosistem pendukung, kebijakan yang konsisten, anggaran, serta keterlibatan warga.

Secara teknis, insinerator di Mataram menunjukkan hasil positif. Residu sangat kecil, biaya operasional lebih hemat, dan ketergantungan pada TPA berkurang.

Wali Kota Mataram bahkan menyebutnya sebagai solusi jangka panjang yang lebih ramah lingkungan dibanding sekadar “buang ke TPA”.

Meskipun demikian, catatan kritis tetap ada. Pertama, insinerator tidak bisa bekerja sendirian.

Sampah yang dibakar tetap perlu dipilah, karena bahan berbahaya atau logam berat tidak bisa langsung masuk mesin.

Kedua, uji emisi harus dilakukan rutin untuk memastikan udara yang keluar memenuhi baku mutu.

Dinas Lingkungan Hidup Mataram sudah merencanakan laboratorium pemantau kualitas udara, sebuah langkah penting untuk menghindari risiko kesehatan.

Selain itu, biaya pengadaan insinerator tidak kecil. Satu unit bisa mencapai Rp3,5 miliar. Jika rencana satu insinerator per kecamatan diwujudkan, beban APBD tentu berat.

Di sinilah dukungan pemerintah pusat dan kerja sama swasta sangat dibutuhkan.

Ekonomi Sirkular

Insinerator hanyalah satu potongan puzzle. Konsep pengelolaan sampah modern, sejatinya adalah ekonomi sirkular.

Di mana sampah tidak sekadar dibuang, tapi diolah kembali menjadi energi, bahan bangunan, pupuk, atau produk daur ulang lainnya.

Di TPST Sandubaya, misalnya, sampah organik sudah diolah menjadi pakan maggot dan pupuk cair, sedangkan plastik diubah menjadi batako.

Jika ini dikombinasikan dengan insinerator, wajah pengelolaan sampah di Mataram bisa berubah drastis. TPA hanya menerima residu akhir, bukan lagi tumpukan gunung sampah.

Bahkan, jika proyek TPST Kebon Talo dengan teknologi insinerator pembangkit listrik benar-benar terealisasi, sampah justru bisa menjadi sumber energi bagi warga kota.

Kembali ke kisah Nuraini, suatu pagi ia mungkin tidak lagi harus menutup hidung saat melewati sudut jalan.

Sampah rumah tangga yang ia buang akan masuk ke rantai pengelolaan modern menjadi pupuk, sebagian menjadi batako, sisanya masuk insinerator.

Udara tetap bersih, jalanan bebas bau, dan listrik yang ia gunakan mungkin saja hasil dari panas sampah yang dibakar.

Sampah adalah persoalan perkotaan, tapi juga persoalan kebijakan, kesadaran, dan teknologi. Insinerator memberi secercah harapan bagi Mataram, asalkan tidak dilihat sebagai “mesin ajaib” yang menyelesaikan segalanya.

Dukungan regulasi, anggaran, dan partisipasi warga dalam memilah sampah tetap kunci utama.

Jika semua unsur bergerak bersama, bukan tidak mungkin Mataram bisa menjadi contoh.

Ada kisah sukses, bagaimana kota menaklukkan masalah sampah dengan cara modern, berkelanjutan, dan memberi manfaat kembali bagi warganya.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *