PONTIANAK, borneoreview.co – Industri kelapa sawit telah menjadi salah satu pilar utama perekonomian Indonesia.
Jumlah tenaga kerja di sektor sawit meningkat dari 12,5 juta orang pada 2015, menjadi sekitar 16,5 juta orang pada 2024.
Tenaga kerja itu mencakup jutaan petani swadaya, pekerja perkebunan perusahaan, serta tenaga kerja tidak langsung dalam rantai pasok.
Tanpa kontribusi sawit, neraca perdagangan nonmigas Indonesia berpotensi mengalami defisit, mengingat peran ekspornya yang konsisten menutup jurang impor.
Selain itu, sawit juga berperan strategis dalam ketahanan energi dan pangan.
Pemerintah mengandalkan biodiesel berbasis sawit untuk mengurangi impor BBM.
Sementara di sektor pangan, sekitar 10,8 juta ton minyak sawit digunakan untuk kebutuhan domestik pada 2023, setara 20 persen dari total produksi nasional.
Sawit pun menjadi penopang utama ketersediaan minyak goreng terjangkau penduduk Indonesia.
Di balik pencapaian gemilang itu, industri sawit juga menghadapi isu berat dalam aspek keberlanjutan.
Regulasi Anti-Deforestasi Uni Eropa (EUDR) yang mewajibkan produksi komoditas, termasuk sawit, bebas deforestasi setelah 31 Desember 2020.
Hal itu menimbulkan kekhawatiran bagi petani kecil yang sulit memenuhi standar ketat tersebut.
Meskipun dinilai diskriminatif, tekanan eksternal justru menjadi momentum bagi Indonesia untuk memperkuat praktik sawit berkelanjutan.
Juga memperbaiki sistem sertifikasi ISPO, meningkatkan transparansi rantai pasok, serta menegaskan komitmen terhadap perlindungan lingkungan.
Standar Keberlanjutan
Untuk menjawab tuntutan keberlanjutan di sektor sawit, Indonesia mengembangkan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai standar nasional.
ISPO, pertama kali diluncurkan pada 2011, melalui Peraturan Menteri Pertanian No.19/2011, yang mewajibkan sertifikasi bagi perusahaan perkebunan.
Kebijakan ini hadir sebagai respons atas desakan konsumen global agar minyak sawit bersertifikat lestari.
Regulasi ISPO, kemudian diperbarui pada 2015 untuk memperbaiki tata kelola, hingga akhirnya Presiden menerbitkan Peraturan Presiden No.44/2020 sebagai payung hukum yang lebih kuat.
Perpres mengai sawit berkelanjutan ini menandai penguatan ISPO, termasuk penambahan prinsip-prinsip baru, pembentukan kelembagaan lebih inklusif.
Termasuk, kewajiban sertifikasi bagi pekebun rakyat dengan masa transisi, serta skema pendanaan sertifikasi.
Secara prinsip, ISPO bertujuan memastikan usaha kelapa sawit memenuhi aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan, sesuai regulasi Indonesia.
Berbeda dengan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang bersifat sukarela dan berlaku global, fokus ISPO terletak pada kepatuhan hukum nasional.
Seperti legalitas lahan, praktik perkebunan yang baik, pengelolaan lingkungan, serta tanggung jawab sosial.
Sementara itu, RSPO yang lahir tahun 2004 atas inisiatif NGO internasional menetapkan prinsip yang lebih luas, termasuk perlindungan hutan primer, Free Prior Informed Consent (FPIC), dan komitmen peningkatan berkelanjutan.
Karena sifatnya sukarela, RSPO lebih dianggap sebagai “paspor reputasi” di pasar global, sementara ISPO berfungsi sebagai baseline minimum yang wajib dipatuhi semua pelaku industri di Indonesia.
Kedua skema ini sebenarnya saling melengkapi. RSPO menetapkan standar terbaik bagi pasar global, sedangkan ISPO menegaskan kedaulatan Indonesia, dengan menyesuaikan pada hukum dan realitas lokal.
Meski sempat dikritik kurang ketat dalam aspek lingkungan, ISPO telah diperkuat melalui Perpres 44/2020.
Ada penegasan larangan deforestasi, peningkatan transparansi, serta pembentukan mekanisme monitoring independen. Meskipun demikian, tantangan besar masih membayangi.
Hingga pertengahan 2020, baru sekitar 27 persen dari kebun sawit Indonesia yang tersertifikasi ISPO, dengan proporsi kebun rakyat sangat kecil (hanya 0,21 persen).
Hal ini menandakan masih banyak pekebun swadaya yang belum terjangkau oleh sertifikasi. Padahal mereka menguasai sekitar 41 persen dari total luas kebun sawit nasional.
Inilah yang menjadikan ISPO sangat penting, bukan hanya untuk menjaga kredibilitas sawit Indonesia di pasar global, tetapi juga sebagai sarana inklusif merangkul petani kecil.
Skema ini dirancang agar lebih terjangkau dibanding RSPO, sekaligus memberikan dasar hukum yang kuat melalui sanksi administratif bagi perusahaan yang abai.
Dengan begitu, ISPO dapat mendorong peningkatan kinerja keberlanjutan secara menyeluruh, termasuk target penurunan emisi gas rumah kaca.
Meskipun demikian, pengakuan internasional terhadap ISPO masih menjadi pekerjaan rumah besar.
Malaysia, misalnya, berhasil membuat Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) diakui oleh Uni Eropa sebagai standar yang memenuhi aturan anti-deforestasi EUDR berkat sistem digital yang transparan.
Jika Indonesia ingin menjaga daya saing, ISPO juga harus terus diperkuat agar setara standar global, baik dari segi transparansi, akuntabilitas, maupun sistem pelacakan rantai pasok.
Dengan begitu, setiap ton minyak sawit Indonesia yang tersertifikasi ISPO dapat diterima tanpa diskriminasi, sejajar dengan minyak sawit lain yang diakui dunia.
Implementasi Kebijakan
Tantangan terbesar Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) terletak pada implementasi di tingkat tapak, terutama di kalangan petani kecil.
Hingga awal 2025, tingkat kepesertaan petani swadaya belum mencapai 1 persen dari total luas kebun sawit rakyat di Indonesia. Artinya, 99 persen lebih kebun rakyat belum bersertifikat.
Rendahnya adopsi ini disebabkan oleh sejumlah hambatan, mulai dari keterbatasan pendanaan, kerumitan birokrasi, lemahnya kelembagaan petani, hingga minimnya sosialisasi.
Biaya sertifikasi yang dianggap terlalu mahal, sementara belum ada perbedaan harga jual tandan buah segar (TBS) antara yang bersertifikat dan tidak.
Akibatnya, petani tidak memiliki insentif finansial untuk bersusah payah mengurus sertifikat.
Selain biaya, faktor legalitas lahan menjadi masalah besar. Banyak kebun rakyat belum memiliki dokumen hak tanah yang jelas atau justru tumpang tindih dengan kawasan hutan.
Padahal, legalitas merupakan syarat mutlak sertifikasi ISPO. Proses administrasi serta keterbatasan pemahaman petani membuat mereka kesulitan memenuhi standar.
Di sisi lain, kelembagaan petani juga masih lemah. Banyak pekebun belum tergabung dalam koperasi atau kelompok tani yang dapat menekan biaya, melalui skema sertifikasi kelompok.
Bagi perusahaan, tantangan bersifat berbeda. Sebagian besar perusahaan besar cenderung lebih mengutamakan sertifikasi internasional, seperti RSPO atau ISCC, karena tuntutan langsung dari pembeli di pasar global.
ISPO kerap dianggap sekadar formalitas, bukan instrumen utama untuk menjaga keberlanjutan.
Setelah diterbitkannya Perpres No.16 Tahun 2025 yang mewajibkan seluruh pekebun sawit, termasuk petani swadaya, tersertifikasi ISPO mulai Maret 2029, situasi berubah.
Tidak ada lagi pengecualian, semua pelaku industri harus patuh.
Demi mempercepat implementasi, diperlukan strategi penguatan ISPO yang mencakup insentif, pendampingan, harmonisasi standar, dan penegakan hukum.
Pemerintah dapat memanfaatkan dana Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) untuk membiayai penuh sertifikasi petani, mengingat dana yang terkumpul setiap tahun mencapai puluhan triliun rupiah dari pungutan ekspor sawit.
Selain pendanaan, insentif nyata berupa akses pupuk bersubsidi, alat produksi, program peremajaan, dan kredit usaha harus diberikan kepada petani bersertifikat.
Pendampingan teknis dan penguatan kelembagaan petani mutlak dilakukan agar mereka mampu memenuhi persyaratan.
Di sisi lain, harmonisasi ISPO dengan standar global perlu terus diperkuat, misalnya dengan digitalisasi sistem pelacakan rantai pasok, seperti yang dilakukan Malaysia dengan MSPO.
Jika ISPO mampu sejajar dengan standar global, sertifikat ini dapat lebih mudah diakui pasar internasional.
*) Kuntoro Boga Andri PhD, Direktur hilirisasi Hasil Perkebunan, Kementerian Pertanian