SIDOARJO, borneoreview.co – Musibah runtuhnya mushalla santri putra di Pondok Pesantren (PP) Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (29/9/2025) sore
Mushalla yang roboh saat Shalat Asar berjamaah tersebut, menuai sorotan dalam persimpangan “dua dunia”.
“Dua dunia” yang menyoroti dalam persimpangan itu adalah dunia pesantren dan dunia digital.
Pesantren Al Khoziny ada dalam “dunia pesantren” yang memiliki tradisi yang sangat tradisional atau mengakar lama/kuno dan sederhana.
Sebaliknya, dunia digital memiliki basis teknologi yang menonjolkan pemikiran, logika/rasional dan modernitas di dunia maya.
Sehingga “dua dunia” itu memiliki pandangan yang terkadang saling berseberangan untuk topik/isu yang sama, atau ada persimpangan.
Misalnya, tradisi Ro’an (kerja bakti bergotong royong) di lingkungan pesantren yang dinilai masyarakat pesantren sebagai salah satu pendidikan karakter.
Yang mengajarkan gotong-royong, persatuan, kebersamaan, kemandirian, dan jiwa sosial-kemanusiaan.
Tidak hanya menumbuhkan karakter mulia, tapi tradisi Ro’an juga seringkali justru ditunggu-tunggu para santri atau wali santri serta alumni santri.
Untuk membantu pesantren guna “tabarrukan” (meraih keberkahan dalam hidup melalui pengabdian/khidmat kepada pesantren).
Tradisi tabarrukan yang hampir ada di semua pesantren itu mengajarkan bahwa mengaji saja tidak cukup, sekolah saja tidak cukup, pandai saja pun tidak cukup.
Semua kemampuan dan kecakapan yang dimiliki para santri, harus disempurnakan dengan keberkahan yang dilimpahkan dan melingkupi kehidupan mereka.
Masalahnya, makna positif dari tradisi pesantren tradisional itu bisa dianggap sebagai eksploitasi santri dari sudut pandang dunia digital.
Sehingga diviralkan ke seantero jagat sebagai kritik terkait pelibatan anak-anak dalam pembangunan.
Dalam hal ini, ada persimpangan sudut pandang yang sangat jauh berbeda.
Contoh lain adalah ketika mencari siapa yang bertanggung jawab dalam musibah meninggalnya puluhan santri/anak muda.
Dunia pesantren mengenal istilah takdir/musibah, ikhlas/menerima, dan tawadhu/hormat.
Sikap itu ditunjukkan para wali santri yang anaknya meninggal dengan menolak santunan dari pengasuh, agar santunan itu bisa digunakan untuk membangun mushalla kembali.
Pada Selasa (30/9/2025), keluarga almarhum Muhammad Sholeh bin Abdurrahman (22 tahun), salah satu korban wafat akibat musibah runtuhnya mushala pesantren putra Al-Khoziny, asal Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka.
Dia menerima santunan dari Dewan Pengasuh Pesantren Al-Khoziny, KHR Muhammad Ubaidillah Mujib (Kiai Mamad).
Namun, santunan duka serta biaya kargo pemulangan jenazah tersebut dikembalikan lagi oleh Abdul Fattah, kakak kandung korban.
Hal yang sama juga terjadi pada Jumat (3/10/2025), saat Kiai Mamad memberikan santunan berupa sejumlah uang tunai kepada Ustadz Achmad Faiq.
Faiq, ayah dari almarhum Moch Agus Ubaidillah. Yang berasal dari Gadukan, Kalianak, Krembangan, Surabaya.
Namun, santunan yang diterima itu langsung dikembalikan, agar digunakan untuk kepentingan pembangunan mushalla pesantren dan lainnya.
Akan tetapi, ada juga keluarga korban yang “marah”, seperti seorang paman yang mengaku kehilangan keponakan, meski bukan wali santri atau orang tua korban wafat itu sendiri.
Sikap “marah” di dunia digital inilah yang mengorek siapa yang bersalah/lalai, atau kelalaian yang merujuk pada sosok penanggung jawab dalam pembangunan.
Sebab, secara logika memang tidak mungkin ada kejadian yang terjadi begitu saja.
Sikap “marah” (menyalahkan) inilah yang mendorong Kapolda Jawa Timur, Irjen Pol Nanang Avianto memberi respons dengan memerintahkan seluruh jajaran kepolisian di wilayahnya.
Polda Jatim melakukan pendataan dan pengecekan menyeluruh, terhadap bangunan pondok pesantren (ponpes) untuk mencegah terulangnya musibah di Pesantren Al Khoziny.
Selain respons teknis, Kapolda Jatim juga menegaskan komitmen penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang lalai dalam proses pembangunan hingga mengakibatkan puluhan korban jiwa itu.
Setiap orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum, karena Indonesia adalah Negara Hukum, kata Kapolda Jatim (8/10/2025).
Jajaran Polda Jatim melalui Tim DVI Rumah Sakit Bhayangkara Polda Jatim dengan dukungan Dinas Kesehatan Jatim dan Tim NU Peduli Al-Khoziny (Lazisnu, LPBI, LKNU, RMI, CBP IPNU, PCNU Sidoarjo/Surabaya).
Juga melakukan pemulasaran jenazah (menyucikan, mengkafani, shalat jenazah, dan ambulans Lazisnu mengantar jenazah ke rumah duka), hingga tahlil dan doa bersama setiap malam di Posko RSB-Dinkes-Tim NU Peduli Al-Khoziny.
Jadi, dunia pesantren menilai ada unsur ketidaktahuan hingga terjadi musibah/takdir, tapi dunia digital menilai ada kelalaian, lalu mana yang harus dipilih?
Dunia memang menyediakan dua pilihan seperti siang-malam, gelap-terang, laki-perempuan, baik-jelek, anugerah-musibah, dunia-akhirat, dan seterusnya.
Dunia digital memilih aspek kuantitas, sebaliknya dunia pesantren memilih aspek kualitas.
Pilihan kuantitas itu merujuk pada angka, jumlah, trend, viral, algoritma, teknologi/teknis, dan kuantitas lainnya yang mengandaikan perlunya mencari pihak lain (orang lain) yang bertanggungjawab/bersalah.
Sedangkan pilihan kualitas itu mengembalikan pada diri sendiri (introspeksi/muhasabah).
Bedanya, dunia digital yang mengedepankan kuantitas akan selalu menggunakan “peluru digital” untuk “menembak” personal (pihak yang bertanggung jawab) sebagai bukti formalitas.
Sedangkan dunia pesantren yang mengedepankan kualitas, akan selalu mencari solusi atau hikmah untuk pelajaran menjadi lebih baik/kualitas, bukan mencari siapa yang salah.
Walhasil, kedua pilihan itu bisa sama-sama dipilih dalam persimpangan “dua dunia” dengan risiko kuantitas dan risiko kualitas ada di tangan pemilih.
Apakah tidak ada “jalan tengah” dari pilihan yang kontradiktif itu? Jalan tengahnya adalah kepentingan publik/umum ada dimana?
Pilihan ini (kepentingan publik/umum) akan menuntun pada kesalehan digital.
Kepentingan publik akan meminimalkan korban secara fisik agar tidak bertambah dengan korban digital pula.
Seperti kata peneliti kontraterorisme dan keamanan internasional, Ulta Levenia Nababan:
“Peluru mungkin hanya membunuh satu jiwa, tapi peluru digital bisa membunuh jutaan jiwa, dalam waktu yang relatif singkat.”