PONTIANAK, borneoreview.co – Kita sering merasa sudah cukup “hijau”, hanya karena menanam beberapa pohon di halaman rumah, mengganti lampu dengan LED, atau sesekali naik kereta listrik.
Namun, pernahkah kita benar-benar menghitung, berapa banyak karbon yang kita keluarkan setiap hari dari mobil, listrik, atau bahkan satu tiket pesawat?
Saya baru tersadar, ketika dalam sebuah rapat di Kementerian Perhubungan, seorang peserta menyebut bahwa emisi sektor transportasi nasional mencapai jutaan ton CO2 per tahun.
Seketika saya terperanjat, bagaimana mungkin gas yang begitu ringan bisa mencapai jutaan ton?
Setelah mencari tahu, saya menemukan fakta yang mencengangkan. Setiap liter bahan bakar minyak (BBM) yang kita bakar, menghasilkan sekitar 2,36 kilogram CO2.
Artinya, jika setiap hari kita menghabiskan enam liter BBM untuk berangkat dan pulang kerja, ada sekitar 14 kilogram CO2 yang dilepaskan ke udara.
Dalam setahun, dengan asumsi 300 hari kerja, angka itu mencapai lebih dari 4 ton CO2 hanya dari satu mobil pribadi.
Bila dikalikan dengan konsumsi BBM nasional yang mencapai 68 juta kiloliter pada 2019, total emisi sektor transportasi Indonesia bisa mencapai 160 juta ton CO2.
Angka itu membuat saya berpikir ulang: betapa besar “dosa karbon” yang saya hasilkan, hanya untuk beraktivitas sehari-hari.
Pohon Tak Menandingi
Sebagian besar dari kita percaya bahwa menanam pohon adalah cara terbaik untuk “menebus” emisi karbon. Tetapi seberapa besar peran satu pohon sebenarnya?
Faktanya, sebatang pohon berdiameter 50 sentimeter hanya mampu menyerap sekitar 25 kilogram CO2 per tahun, serta menghasilkan 92 liter oksigen per hari.
Padahal satu manusia membutuhkan sekitar 650 liter oksigen per hari.
Dengan kata lain, setiap orang membutuhkan tujuh pohon hanya untuk memenuhi kebutuhan napasnya sendiri.
Jika emisi satu mobil mencapai empat ton CO2 per tahun, maka si pemilik mobil harus menanam 160 pohon hanya untuk menetralkannya.
Jumlah yang jelas tak sebanding dengan satu-dua pohon di halaman rumah.
Listrik Tak Selalu Bersih
Banyak yang mengira bahwa beralih ke listrik berarti lebih ramah lingkungan. Sayangnya, itu belum sepenuhnya benar.
Karena sebagian besar pembangkit listrik kita masih berbasis bahan bakar fosil, terutama batubara, maka setiap kilowatt-hour (kWh) listrik rata-rata menghasilkan 0,8 kilogram CO2.
Di rumah, dengan pemakaian sekitar 1.500 kWh per bulan, saya “menghasilkan” 1,2 ton CO2 per bulan, atau 14,4 ton CO2 per tahun, tiga kali lipat dari emisi mobil pribadi.
Ironisnya, bahkan penggunaan mobil listrik pun belum sepenuhnya bebas karbon karena sumber listriknya masih tinggi emisi.
Tanpa transisi energi bersih, emisi tetap besar, hanya berpindah dari tangki ke stopkontak.
Lalu bagaimana dengan pesawat terbang? Saya tahu, pesawat boros bahan bakar, tetapi tidak menyangka sejauh ini.
Untuk penerbangan Jakarta–Surabaya (600 km), satu pesawat rata-rata menghabiskan 4.151 kilogram avtur dan menghasilkan 13,1 ton CO2.
Dengan asumsi 180 penumpang, setiap orang menyumbang sekitar 72 kilogram CO2 hanya untuk satu kali penerbangan satu arah.
Padahal satu pohon hanya mampu menyerap 25 kilogram CO₂ per tahun. Artinya, butuh waktu tiga tahun bagi satu pohon, untuk menetralkan emisi satu penumpang dari satu penerbangan singkat itu.
KRL Pilihan Bijak
Untungnya, ada moda transportasi yang jauh lebih efisien: Kereta Rel Listrik (KRL).
Setiap hari, sekitar satu juta orang menggunakan KRL di wilayah Jabodetabek. Perjalanan satu penumpang dari Jakarta ke Bogor (54,8 km), hanya menghasilkan 1,43 kilogram CO2. Jauh lebih rendah dibanding kendaraan pribadi.
Seorang mahasiswa yang naik KRL dari Cikini ke Universitas Indonesia (18,3 km), menghasilkan sekitar 0,48 kilogram CO2 sekali jalan.
Atau, 240 kilogram per tahun untuk perjalanan pergi-pulang selama 250 hari kuliah.
Jika harga carbon unit sekitar 10 dolar AS per ton, maka untuk “menebus” emisi perjalanan KRL setahun melalui mekanisme carbon offset hanya butuh Rp35.000.
Jumlah kecil untuk dampak besar, terutama apabila dilakukan oleh banyak pelaku.
Kota yang Bernapas
Sudah saatnya kita jujur. Polusi udara dan kemacetan di kota-kota besar Indonesia bukan sekadar masalah teknis.
Tapi juga cerminan dari pola pikir kita yang masih terlalu “egois” terhadap ruang publik.
Setiap hari, jutaan kendaraan pribadi menyumbang emisi karbon dan partikel polutan, sementara transportasi publik masih dianggap pilihan kelas dua.
Paradigma ini harus diubah jika kita sungguh ingin melihat kota yang lebih bersih, sehat, dan manusiawi.
Penggunaan transportasi publik seperti kereta dan bus bukan lagi sekadar alternatif, melainkan keniscayaan.
Di banyak negara, transisi menuju sistem mobilitas hijau sudah menjadi kebijakan nasional yang tak bisa ditawar.
Mengapa kita masih tertinggal? Pemerintah memang memegang peran besar dalam menyediakan sarana transportasi publik yang layak, modern, dan terintegrasi.
Tapi tanpa kesadaran masyarakat untuk beralih dari kendaraan pribadi, semua rencana hanya akan berhenti di atas kertas.
Lebih dari itu, transportasi publik juga harus berevolusi. Bukan sekadar ada, tapi juga ramah lingkungan.
Kereta dan bus listrik dengan sumber energi rendah emisi, atau bus berbahan bakar biofuel, bisa menjadi langkah konkret.
Namun, kebijakan energi bersih ini harus dibangun dengan keberanian politik dan konsistensi jangka panjang. Transisi hijau tidak mungkin terjadi jika kita masih setengah hati.
Ada satu hal yang sering terlupakan: masyarakat perlu tahu seberapa besar jejak karbon yang mereka hasilkan. Tanpa kesadaran itu, sulit berharap perubahan perilaku.
Di sinilah pentingnya inisiatif seperti Transport Carbon Calculator Indonesia yang dikembangkan Kementerian Perhubungan bersama komunitas masyarakat.
Alat ini memungkinkan kita menghitung emisi dari aktivitas transportasi dan, yang lebih penting, memberikan cara untuk menebus emisi itu melalui partisipasi dalam proyek penurunan karbon di dalam negeri.
Langkah ini sederhana, tapi revolusioner. Karena perubahan besar justru dimulai dari kesadaran kecil, dari keputusan seseorang meninggalkan mobilnya di garasi dan memilih naik kereta.
Dari kemauan warga kota, untuk melihat udara bersih sebagai hak bersama, bukan kemewahan.
Kalau kita terus menunda transformasi transportasi publik, maka kita sedang membiarkan kota-kota kita perlahan kehilangan napasnya.
Ketika udara bersih menjadi barang langka, tidak ada lagi kenyamanan yang bisa kita beli.
Ayo gunakan transportasi publik, hemat energi, tanam pohon, atau ikut program carbon offset.
Karbon memang tak terlihat, tapi jejaknya nyata. Dan tanggung jawab untuk menguranginya sebesar apa pun, dimulai dari diri kita sendiri.
*) Wendy Aritenang PhD, Ketua Centre for Technology and Innovation Studies