JAKARTA, borneoreview.co – Media sosial kini menjadi panggung utama dalam penyebaran informasi, menggeser peran media massa konvensional yang lebih dahulu mendominasi.
Di era digital yang serba cepat, cara masyarakat mengakses dan mengonsumsi informasi telah berubah drastis.
Namun demikian, Ibarat pisau bermata dua: ada sisi positif dan negatif dari aspek penggunaannya.
Di Indonesia, data terbaru menunjukkan jumlah pengguna media sosial mencapai 191 juta dari total populasi, 54 persen di antaranya berada pada rentang usia 18–34 tahun.
“Dengan rata-rata waktu yang dihabiskan untuk berselancar di media sosial berkisar 3 jam 14 menit per hari,” tulis Helmi Fajar Andrianto, Pranata Humas Ahli Madya di Biro Humas Kementerian Komdigi, Kepala Bidang Advokasi Ikatan Pranata Humas Indonesia.
Fenomena ini tidak hanya melahirkan jutaan konten kreator, tetapi juga menciptakan ceruk konsumen baru yang lebih selektif dan aktif dalam memilih informasi.
Fitur-fitur personalisasi di media sosial memungkinkan pengguna untuk menyaring jenis konten sesuai minat dan kebutuhan mereka.
Akibatnya, media sosial bukan lagi sekadar tempat berbagi status, foto, dan video, melainkan telah menjelma menjadi alat utama diseminasi informasi.
Menariknya, tren ini juga merambah ke sektor pemerintahan. Kementerian dan lembaga negara kini aktif di berbagai platform media sosial seperti Instagram, Facebook hingga X.
Mereka tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga berinteraksi langsung dengan warganet dan menyediakan layanan publik secara digital.
Pandemi Covid-19 mempercepat transformasi ini, hingga media sosial kini tetap menjadi kanal utama komunikasi publik pemerintah.
Namun, di balik semangat digitalisasi, muncul tantangan baru. Data dari Kementerian Komunikasi dan Digital menunjukkan adanya penurunan tajam, dalam jangkauan pesan di media sosial mereka sejak tahun 2021.
Sebagai contoh, akun Instagram kementerian tersebut sempat mencatat impression lebih dari 200 juta pengguna pada tahun 2021.
Angka tersebut merosot drastis menjadi di bawah 50 juta pada tahun 2024, tren penurunannya pun terus berlanjut di tahun 2025.
Penurunan serupa juga terjadi di platform lain seperti Facebook dan X. Metrik ini menjadi alarm penting bahwa ada yang perlu dibenahi dalam strategi komunikasi publik pemerintah.
“Salah satu solusinya dengan kolaborasi antarorganisasi,” tulis Helmi Fajar Andrianto.
Kolaborasi Jadi Solusi
Konsep Collaborative Governance yang dikembangkan oleh Chris Ansell dan Alison Gash menawarkan pendekatan yang relevan untuk menjawab tantangan di atas.
Mereka mendefinisikan kolaborasi sebagai proses tata kelola formal yang bertujuan untuk melaksanakan kebijakan bersama.
Dalam konteks komunikasi publik, ini berarti setiap unit organisasi bekerja bersama secara terorkestrasi untuk menyampaikan pesan yang telah disepakati.
Kolaborasi bukan hanya soal berbagi tugas, tetapi juga menyatukan visi dan strategi komunikasi.
Ketika kementerian dan lembaga negara menyampaikan pesan yang sama secara serempak dan terkoordinasi, kekuatan penyebaran informasi akan meningkat berkali lipat.
Ini penting, terutama dalam menghadapi derasnya arus informasi yang bersaing di media sosial.
Birokrasi di Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh model Max Weber yang hierarkis dan sektoral.
Karenanya, membangun komitmen pimpinan lembaga menjadi langkah awal yang krusial.
Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan memasukkan indikator komunikasi publik dalam perjanjian kinerja pimpinan lembaga.
Indikator ini akan menjadi tolok ukur seberapa aktif lembaga berkontribusi dalam penyebaran konten bersama.
Setelah komitmen terbentuk, langkah berikutnya adalah operasional: menyusun agenda bersama, memperkuat pesan, dan melakukan evaluasi berkala.
Inilah kolaborasi yang tidak hanya memperluas jangkauan pesan, tetapi juga meningkatkan kepercayaan publik terhadap program dan kebijakan pemerintah.
Tantangan Kolaborasi
Tentu saja, kolaborasi bukan tanpa hambatan. Pertama, perbedaan kompetensi sumber daya manusia di tiap lembaga bisa menimbulkan bias dalam penyampaian pesan.
Tidak semua lembaga memiliki tim komunikasi yang terlatih dalam strategi digital, storytelling, atau manajemen media sosial.
Hal ini bisa menyebabkan ketidaksinkronan dalam penyampaian pesan.
Kedua, budaya kerja yang masih silo dan sektoral membuat kolaborasi terasa berat. Banyak lembaga yang masih bekerja secara terpisah, tanpa koordinasi yang erat dengan instansi lain.
Padahal, isu-isu publik sering kali bersifat lintas sektor dan membutuhkan pendekatan terpadu.
Ketiga, minimnya sistem monitoring dan evaluasi membuat efektivitas kolaborasi sulit diukur.
Tanpa data yang jelas, sulit untuk mengetahui apakah pesan yang disampaikan benar-benar sampai dan dipahami oleh masyarakat.
Namun, dengan mengidentifikasi hambatan sejak awal, solusi bisa dirancang lebih cepat.
Misalnya, pelatihan bersama, integrasi sistem komunikasi dan pembentukan tim lintas lembaga bisa menjadi langkah awal yang konkret.
Selain itu, penggunaan teknologi analitik untuk memantau performa konten juga bisa membantu dalam pengambilan keputusan berbasis data.
Lebih Kuat
Kolaborasi bukan hanya soal kerja sama, tetapi tentang membangun masa depan komunikasi publik yang lebih kuat, lebih luas juga lebih lebih berdampak.
Di tengah derasnya arus informasi digital, pemerintah perlu hadir dengan strategi yang adaptif dan kolaboratif.
“Komunikasi publik bukan lagi tugas satu unit, melainkan tanggung jawab bersama,” tulis Helmi Fajar Andrianto.
Dengan kolaborasi, kementerian dan lembaga bisa saling mengisi kekurangan, memperkuat pesan, dan menjangkau audiens yang lebih luas.
Bayangkan jika seluruh institusi pemerintah menyuarakan pesan yang sama secara serempak dengan gaya komunikasi yang relevan dan menarik.
Dampaknya? tentu akan jauh lebih besar dibanding jika dilakukan sendiri-sendiri.
Sebagai penutup, mari kita ingat pepatah bijak:
“Jika kamu ingin pergi cepat, pergilah sendirian. Tapi jika kamu ingin pergi jauh, lakukanlah bersama-sama.”
Kolaborasi bukan hanya soal efisiensi, tetapi tentang keberlanjutan.
Dengan bekerja bersama, institusi publik bisa menjangkau lebih jauh, melampaui batas-batas yang selama ini ditentukan oleh struktur birokrasi. To infinity and beyond.(Ant)***
