JAKARTA, borneoreview.co- Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) menyoroti gugatan perdata senilai Rp200 miliar yang diajukan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman terhadap PT Tempo Inti Media Tbk (Tempo). Gugatan tersebut didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor perkara 684/Pdt.G/2025/PN JKT SEL pada 1 Juli 2025, dan kini tengah bergulir di meja hijau.
Kasus ini berawal dari pemberitaan Tempo edisi 16 Mei 2025 berjudul “Poles-Poles Beras Busuk” yang mengulas kebijakan penyerapan gabah oleh Bulog berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional Nomor 14 Tahun 2025. Kebijakan itu memungkinkan pembelian gabah dari berbagai kualitas dengan harga tunggal Rp6.500 per kilogram, untuk memenuhi target cadangan beras nasional.
Kementerian Pertanian, melalui Biro Komunikasi, menyatakan keberatan terhadap judul poster berita Tempo yang memuat diksi “busuk” karena dianggap merugikan citra kementerian. Keberatan tersebut kemudian disampaikan secara resmi ke Dewan Pers untuk ditindaklanjuti.
Setelah memediasi kedua pihak, Dewan Pers mengeluarkan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) berisi lima poin, di antaranya agar Tempo mengganti judul poster, melakukan moderasi komentar di media sosial, dan menyampaikan permintaan maaf kepada pihak pengadu. Tempo telah menindaklanjuti seluruh rekomendasi itu, termasuk mengganti judul poster menjadi “Main Serap Gabah Rusak” pada 19 Juni 2025.
Namun, meskipun rekomendasi telah dijalankan, Menteri Pertanian tetap melanjutkan perkara ke ranah hukum dengan menggugat Tempo secara perdata senilai Rp200 miliar. Sidang pertama kasus ini digelar pada 15 September 2025 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Menanggapi hal tersebut, AMSI menyampaikan keprihatinan mendalam dan menilai langkah hukum tersebut dapat menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Indonesia. Dalam pernyataannya, AMSI menegaskan bahwa gugatan terhadap media atas pemberitaan yang berkaitan dengan kebijakan publik berpotensi menimbulkan efek jera (chilling effect) bagi jurnalis dan media.
“Langkah hukum seperti ini bisa membatasi ruang kritik terhadap kebijakan publik. Padahal, pemberitaan yang berbasis fakta dan akurasi merupakan bagian penting dari fungsi pers sebagai pilar demokrasi dan kontrol sosial,” ujar AMSI dalam pernyataannya.
AMSI juga menilai bahwa membawa sengketa pers ke jalur hukum perdata setelah mekanisme Dewan Pers ditempuh dapat melemahkan fungsi lembaga tersebut. Padahal, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan tegas menyatakan bahwa penyelesaian sengketa pers dilakukan melalui Dewan Pers, bukan melalui gugatan hukum.
Lebih lanjut, AMSI menyerukan agar seluruh pihak tetap membuka ruang dialog dan mediasi untuk menyelesaikan perbedaan pandangan. Menurut AMSI, penyelesaian melalui komunikasi dan musyawarah jauh lebih konstruktif serta menjaga iklim demokrasi yang sehat.
“Karena Tempo telah menjalankan seluruh rekomendasi Dewan Pers, kami berharap majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mempertimbangkan fakta tersebut dalam memutus perkara ini agar prinsip kebebasan pers tetap terlindungi,” tambah AMSI.
Bagi AMSI, kebebasan pers adalah salah satu pilar utama demokrasi yang harus dilindungi. Pejabat publik, kata mereka, perlu siap menerima kritik sepanjang kritik tersebut didasarkan pada fakta, akurasi, dan etika jurnalistik.
“Media pers memiliki hak untuk menginformasikan isu publik, dan negara berkewajiban melindungi ruang tersebut,” tegas AMSI.
AMSI menilai kasus ini menjadi momentum penting untuk mempertegas batas yang sehat antara kritik, pemberitaan, dan perlindungan reputasi pejabat publik. Sengketa pers, menurut AMSI, tidak semestinya dibawa ke ranah perdata bernilai besar karena hal itu justru dapat menekan kebebasan media.
Sebaliknya, mekanisme penyelesaian melalui Dewan Pers perlu terus diperkuat agar kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia tetap terjaga.***
