Jejak Sunyi Sekolah Rakyat, Ikhtiar Negara Menjaga Hak Belajar Anak Bangsa

Sekolah Rakyat

PONTIANAK, borneoreview.co – Angin pagi Kota Pontianak mengalun pelan di halaman kampus Universitas Panca Bhakti, Sabtu (15/11/2025).

Di sebuah ruang yang tak terlalu besar, para mahasiswa duduk rapat, seakan tak ingin kehilangan satu kata pun dari Wakil Menteri Hak Asasi Manusia, Mugiyanto.

Suaranya tenang, tapi tegas. “Hak asasi manusia itu mencakup banyak hal,” ucapnya membuka paparan. “Negara harus memenuhi hak dasar itu. Salah satunya, pendidikan.”

Di antara ratusan tatapan muda, kalimat itu mengendap seperti catatan penting tentang masa depan.

Wamen HAM Mugiyanto tidak sedang beretorika. Ia sedang memetakan ulang cara negara melihat pendidikan bukan sekadar fasilitas, melainkan hak dasar wajib dipenuhi.

“Saat ini mungkin saja pendidikan belum dianggap sebagai HAM,” ujarnya, menanggapi pertanyaan seorang mahasiswa ragu apakah pendidikan sungguh menjadi prioritas negara.

Lalu ia menambahkan kalimat yang seketika membuat ruangan hening. “Presiden Prabowo konsen dengan masalah pendidikan.”

Konsekuensi dari pernyataan itu terlihat jelas. Lahirnya Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggulan Garuda, dua wajah baru pendidikan nasional.

Dua model yang berdiri sebagai upaya membuka pintu bagi anak-anak paling miskin untuk meraih bangku sekolah selama puluhan tahun terasa mustahil disentuh.

Ruang Harapan Besar

Sekolah Rakyat adalah proyek yang bergerak cepat. Juli 2025, 100 sekolah rintisan mulai beroperasi di 29 provinsi.

Total 9.755 siswa dari keluarga miskin dan miskin ekstrem kini menjadi penghuni asrama-asrama baru sepenuhnya dibiayai negara, makan, buku, seragam, tempat tinggal, bahkan gadget pembelajaran.

Angkanya terinci rapi:

– 100 sekolah rintisan (Juli 2025)

– Akan bertambah 65 titik: total 165 sekolah

– 9.755 siswa tahap awal

– Jenjang SD, SMP, SMA

– Biaya pendidikan 100 persen ditanggung pemerintah

– Kurikulum formal + penguatan karakter malam hari

Sebaran sekolahnya bervariasi 48 di Pulau Jawa, 22 di Sumatera, 15 di Sulawesi, 4 di Kalimantan, sisanya tersebar hingga Papua.

Di Pulau Jawa misalnya, ada Sentra Handayani Jakarta, Sentra Phalamarta Sukabumi, dan Sentra Wyataguna Bandung.

Sekolah Rakyat
Wakil Menteri Hak Asasi Manusia, Mugiyanto dalam kegiatan kuliah umum di UPB Pontianak. (borneoreview/Istimewa)

Di luar Jawa, Sentra Tumou Tou Manado dan Sentra Darussa’adah Aceh menjadi contoh bagaimana fasilitas selama ini difungsikan untuk layanan sosial kini berubah menjadi sekolah rintisan nasional.

Konsep ini berbeda dari sekolah gratis biasa. Negara hadir bukan hanya sebagai penyedia ruang kelas, tetapi sebagai pengasuh penuh kehidupan anak-anak selama ini hidup paling rentan di piramida sosial.

Dengan gaya pembelajaran formal di siang hari dan pendidikan karakter di malam hari, Sekolah Rakyat ingin membentuk generasi yang bukan hanya cerdas, tetapi kuat menghadapi hidup.

Kalbar Menyambut

Kalimantan Barat menjadi salah satu wilayah bergerak paling cepat merespons program ini.

BLKI Pontianak, gedung yang selama bertahun-tahun digunakan untuk pelatihan tenaga kerja disulap menjadi lokasi sementara Sekolah Rakyat.

Peninjauan fasilitas dilakukan langsung oleh Sekretaris Daerah Kalbar, Harisson, pada Rabu (16/7/2025). Ia menelusuri kamar-kamar asrama, mengecek ventilasi, memeriksa ruang belajar.

“Karena tahun ajaran baru sudah berjalan, pusat minta kami siapkan satu tempat sementara,” katanya.

“BLKI dipilih karena sudah punya asrama dan ruang belajar,” ucapnya menambahkan lebih lanjut soal Sekolah Rakyat itu.

Inisiatif menghadirkan Sekolah Rakyat ini datang dari Gubernur Kalimantan Barat, Ria Norsan, dan sudah mendapat lampu hijau dari pemerintah pusat.

Selain Kota Pontianak, pusat juga menyetujui pembukaan satu sekolah rakyat di Kabupaten Ketapang.

Untuk tahun ajaran perdana, BLKI menampung 90 pelajar dari tiga jenjang:

– SD: 2 rombel, total 50 pelajar

– SMP: 1 rombel, 20 pelajar

– SMA: 1 rombel, 20 pelajar

Rekrutmen siswa dilakukan hampir seperti misi lapangan. Anak-anak yang dipilih berasal dari seluruh kabupaten/kota di Kalbar.

Kecuali Ketapang yang memiliki sekolah sendiri. Untuk SD, tiap kabupaten mengirim empat anak, kecuali Kapuas Hulu dan Kayong Utara tiga anak, sementara daerah lain mengirim satu siswa untuk jenjang SMP dan SMA.

Syaratnya sangat ketat: hanya anak dari keluarga desil 1 dan 2 berdasarkan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN).

Proses seleksi dilakukan melalui home visit oleh pendamping Program Keluarga Harapan sekitar 600 orang di Kalbar. Sebuah cara memastikan hanya anak paling rentanlah masuk daftar.

“Semua biaya sekolah ditanggung. Anak-anak menginap di sini, gurunya juga diasramakan,” ucap Harisson.

Asrama Nyaman Lengkap

Kepala Dinas Sosial Kalbar, Raminuddin, menegaskan kembali komitmen pusat. “Semua kebutuhan pelajar dipenuhi, dari seragam sampai gadget pembelajaran.”

Ia merinci fasilitas yang akan disediakan antara lain, pakaian tidur, alat olahraga, meja belajar, kasur asrama, AC, kamar mandi lengkap, pemanas air, hingga perlengkapan digital untuk pembelajaran online.

“Semua sudah ditetapkan sesuai SK Kemensos,” ujarnya menjelaskan.

Sementara itu, Kementerian PUPR Kalbar mulai menata ulang gedung BLKI sejak 14 Juli hingga 3 Agustus 2025. Targetnya, proses belajar mengajar dimulai pada awal atau pertengahan Agustus.

Meski sementara, ruang belajar itu dipersiapkan dengan standar sekolah unggulan. Negara ingin memastikan bahwa tidak ada kesan “asal jadi” dalam upaya menghadirkan pendidikan setara bagi anak-anak termiskin.

Guru, Menunggu Kepastian

Satu hal yang masih bergerak dinamis adalah tenaga pendidik. Pemprov Kalbar menunggu petunjuk teknis dari Kementerian Sosial.

Walau begitu, koordinasi telah dilakukan dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalbar untuk menyiapkan guru sementara.

“Kami siap sambil menunggu arahan resmi. Tahun depan sekolah ini akan dipindah ke lokasi tetap di Singkawang,” kata Raminuddin.

Pendaftaran pelajar dilakukan cepat 14-17 Juli 2025, melalui jalur usulan daerah dan penjaringan langsung.

Pendamping PKH terjun ke desa-desa, ke rumah-rumah panggung tepian sungai, menelusuri gang-gang kecil di perkampungan padat.

“Mereka sudah ditugaskan mencari anak-anak yang dipersiapkan ke sekolah rakyat ini,” ujar Raminuddin.

Sekolah Unggulan Garuda

Program Sekolah Rakyat berjalan beriringan dengan Sekolah Unggulan Garuda yang juga didorong pemerintah.

Sekolah Rakyat
Wakil Menteri Hak Asasi Manusia, Mugiyanto dalam kegiatan kuliah umum di UPB Pontianak. (borneoreview/Istimewa)

Jika Sekolah Rakyat menyasar anak-anak paling miskin, Sekolah Unggulan Garuda menjadi wadah talent unggul ditarik dari berbagai daerah untuk diproyeksikan sebagai pemimpin nasional masa depan.

Namun keduanya berangkat dari satu pijakan sama, negara harus bekerja untuk memastikan semua anak Indonesia dapat sekolah. Tanpa hambatan uang, wilayah, atau nasib.

Dalam kuliah umum di UPB Pontianak itu, Wamen HAM Mugiyanto menjelaskan dengan bahasa yang tidak berputar-putar.

“Pendidikan merupakan hak dasar. Dan ini menjadi perhatian Presiden Prabowo,” tegasnya.

Tujuannya sederhana tapi megah. Anak-anak yang selama ini tidak dapat mengakses pendidikan, kini punya kesempatan untuk melanjutkan sekolah, bahkan kuliah.

“Tapi untuk membuat perubahan menuju lebih baik, tentu butuh waktu dan dukungan dari seluruh rakyat,” tuturnya.

Dari Desa ke Asrama

Di tengah data dan kebijakan yang bergerak cepat, wajah paling manusiawi dari program ini adalah anak-anak yang kini tidur di asrama BLKI Pontianak.

Sebagian datang dari kampung pedalaman, sebagian dari pesisir, sebagian lagi dari gang-gang sempit perkotaan. Mereka membawa tas kecil, pakaian seadanya, dan segenggam harapan.

Bagi banyak dari mereka, ini adalah perjalanan pertama keluar dari kampung halaman.

“Sekarang saya bisa sekolah SMA,” kata seorang anak dari Melawi, matanya berbinar. “Di kampung, kami tidak mampu.”

Ada pula seorang anak perempuan dari Sambas yang tersenyum malu-malu ketika ditanya apa mimpinya. “Jadi guru,” katanya. “Supaya adik-adik kampungku bisa sekolah juga.”

Anak-anak ini adalah wajah dari angka 9.755. Mereka adalah bukti bahwa kebijakan tidak akan pernah menjadi nyata kalau tidak menyentuh kehidupan manusia secara langsung.

Narasi pendidikan sebagai hak asasi manusia membuat program ini lebih dari sekadar proyek sosial. Ia adalah upaya membangun paradigma baru.

Negara hadir bukan sebagai penyedia layanan, tetapi sebagai penjamin kehidupan yang layak.

Dalam kerangka itu, Sekolah Rakyat bukan hanya sekolah, tetapi ekspresi tanggung jawab moral negara kepada warganya yang paling rentan.

Bahwa seorang anak miskin di ujung sungai Kapuas, atau di lereng bukit Manado, memiliki nilai yang sama dengan anak siapa pun di kota besar.

Jalan Panjang Baru

Perjalanan ini masih panjang. Pembangunan sekolah permanen ditargetkan rampung tahun ajaran 2026/2027. Setiap sekolah ditargetkan menampung 1.000 siswa.

Jika tercapai, maka Indonesia akan memiliki ratusan titik sekolah berasrama gratis untuk anak-anak termiskin sebuah terobosan dalam.

Tapi untuk sekarang, kisah itu dimulai dari ruang kecil di BLKI Pontianak. Dari 90 anak tidur di kasur baru, belajar di meja baru, dan bermimpi dengan cara baru.

Dari kuliah umum di UPB Pontianak, Wamen HAM Mugiyanto yang menegaskan bahwa pendidikan adalah hak asasi manusia.

Dari komitmen negara berusaha keras memastikan tidak ada lagi anak Indonesia yang merasa asing di tanah kelahirannya sendiri.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *