JAKARTA, borneoreview.co – Sejumlah kalangan meminta industri sawit, termasuk di Indonesia untuk menjadikan European Union Deforestation Regulation (EUDR) sebagai peluang untuk menembus pasar global.
“Tantangan terbesar sawit saat ini bukanlah produktivitas, melainkan masalah persepsi dan kepercayaan,” kata Adjunct Professor dari John Cabot University, Roma, Pietro Paganini.
“Kelapa sawit adalah komoditas yang paling produktif dan paling inklusif, tetapi justru memiliki reputasi paling buruk,” tambahnya.
Paganini mengatakan ini dalam paparanya di hari kedua forum 21st Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2025 di Nusa Dua, Bali, Jumat (14/11/2025).
Menurut dia, kesenjangan antara fakta dan persepsi telah membuat sawit kerap dijadikan kambing hitam, padahal komoditas ini berperan besar dalam pengentasan kemiskinan, pemenuhan kebutuhan gizi dunia, serta efisiensi penggunaan lahan.
Oleh karena itu terkait implementasi EU Deforestation Regulation (EUDR), Paganini menyebut regulasi tersebut sebagai awal dari gelombang baru standar pasar global.
Menurutnya, daripada melihat EUDR semata-mata sebagai hambatan, industri justru perlu menjadikannya arena kompetisi baru dalam membangun kepercayaan dan nilai tambah.
“Nol deforestasi dan keterlacakan penuh akan menjadi standar baru pasar global. EUDR membuka perlombaan global untuk membangun kepercayaan dan inovasi,” katanya.
Pada kesempatan itu Paganini menyerukan agar negara produsen dan industri sawit tidak lagi bersikap reaktif, tetapi mengambil peran pemimpin dalam diplomasi keberlanjutan global.
Sementara itu Managing Editor dan Analis Fastmarkets Palm Oil Analytics, Sathia Varqa, menyatakan dinamika perdagangan global yang kian kompleks menuntut negara eksportir, termasuk Indonesia, untuk lebih strategis dan adaptif dalam menjaga posisi di pasar minyak nabati dunia.
Menurut dia kompetisi global minyak nabati kini semakin ketat, terutama dengan meningkatnya produksi dan ekspansi minyak kedelai.
“Minyak sawit masih menjadi minyak nabati paling banyak dikonsumsi di dunia, diikuti oleh minyak kedelai, kanola, dan bunga matahari,” katanya.
Namun, tambahnya, dalam beberapa tahun terakhir, minyak kedelai menunjukkan pertumbuhan pesat dan mulai menjadi kompetitor utama bagi minyak sawit.
Hal itu terutama didorong oleh ekspansi besar-besaran perkebunan kedelai di Amerika Serikat dan Brasil yang kini menyuplai sekitar 70 persen kebutuhan kedelai global.
Sementara itu, luas area tanam kelapa sawit Indonesia cenderung stagnan, yang berpotensi mengurangi daya saing jangka panjang di pasar internasional.
Sathia menjelaskan, ada tiga dinamika utama yang akan memengaruhi perdagangan komoditas Indonesia pada 2026, yakni rezim perdagangan internasional, transisi energi global, dan arah kebijakan domestik Indonesia sendiri.
Dikatakannya, Indonesia kini menghadapi tekanan ganda yakni tuntutan keberlanjutan dari pasar Eropa serta hambatan tarif dari Amerika Serikat, yang menyebabkan penurunan volume ekspor minyak sawit ke kedua kawasan tersebut.
Selain itu, regulasi global seperti Global Biofuel Mandates dan Renewable Energy Directive (RED) Uni Eropa juga akan menentukan arah permintaan biodiesel berbasis sawit dan menuntut Indonesia menyesuaikan standar produksinya.
Di tengah tekanan eksternal, kebijakan domestik Indonesia juga menjadi faktor penting yang akan menentukan masa depan industri sawit.
“Meski produksi sawit Indonesia pada Januari-Agustus 2025 tumbuh 4,21 persen dibanding tahun sebelumnya, keberlanjutan tren positif ini sangat bergantung pada kebijakan domestik, terutama terkait tata kelola lahan dan dukungan pemerintah terhadap sektor hulu-hilir,” ujar Sathia.
Menurut data Fastmarkets Palm Oil Analytics, produksi sawit global pada 2025-2026 diperkirakan mencapai 83,22 juta ton, meningkat 2,83 juta ton dibanding tahun sebelumnya.
Hal ini membuka peluang besar bagi Indonesia untuk memperkuat posisinya sebagai kontributor utama pasokan minyak nabati dunia.
Namun, menurut dia, pengambilan keputusan yang bijaksana akan menjadi faktor penentu keberhasilan Indonesia dalam mengoptimalkan momentum pasar global.
“Indonesia harus menyeimbangkan antara kepentingan perdagangan, keberlanjutan, dan produktivitas agar tetap kompetitif di tengah perubahan arah pasar dunia,” katanya.(Ant)
