NABIRE, borneoreview.co – Di satuan pemukiman 2 Kampung Kalisemen, Nabire, Papua, setiap kali jam mengajar selesai, seorang guru perempuan bernama Hermus tidak langsung pulang ke rumah.
Ia melangkah menuju sebuah bangunan kecil bernama Rumah Baca Lilin Kecil (RBLK). Tempat sederhana yang setiap sore, berubah menjadi ruang belajar tambahan, bagi anak-anak di sekitarnya.
Di sana, ia menyambut murid-murid yang datang dalam kondisi beragam. Sebagian harus mandi terlebih dahulu, sebagian perlu diberi makan, sebelum mereka siap mulai belajar.
“Dari tangan kecil Hermus, lahirlah sebuah ikhtiar yang tampak sederhana, tapi sangat berarti,” tulis A. Roni Kurniawan, Praktisi Pendidikan.
Roni juga Trainer/Educator di Yamjaya, dan Pengembang Metode Edukasi Praktis berbasis Psikologi pada Rumah Belajar Bersama (Rbebe).
Selanjutnya, Hermus memberi kesempatan belajar tambahan bagi anak-anak Papua. Yang akses pendidikannya terhambat oleh kondisi geografis, minimnya infrastruktur, serta keterbatasan tenaga pengajar.
Papua adalah tanah yang kaya sumber daya, tetapi tertinggal dalam layanan dasar, termasuk pendidikan.
Ketimpangan fasilitas sekolah, kurangnya guru tetap, dan sulitnya akses sanitasi menjadi tantangan yang terus membayangi.
Banyak anak memulai sekolah pada usia terlambat, dan tidak sedikit yang berhenti belajar, karena tuntutan ekonomi keluarga.
Hermus memahami betul kenyataan itu. Ia datang dari Konbaki, sebuah desa di Nusa Tenggara Timur (NTT), dua puluh tahun lalu setelah menerima tawaran mengajar dari Yayasan Pesat.
Sejak itu ia menetap, mencintai Nabire, dan menjadi guru kelas 1 SDN Inpres 01.
Di kelasnya sering ditemukan anak-anak berusia 12 hingga 15 tahun karena terlambat masuk sekolah.
Tantangannya bukan hanya mengajar membaca dan berhitung. Tapi membantu mereka mengejar ketertinggalan, sebelum usia dewasa yang menuntut mereka bekerja membantu keluarga.
Kerinduan Hermus untuk melihat anak-anak lebih cepat maju, membuatnya merintis RBLK bersama suaminya, Henry, yang juga seorang guru.
Dengan segala keterbatasan, keduanya menyediakan waktu, tenaga, dan perhatian.
Berbagai bantuan kecil datang perlahan, hingga berdirilah bangunan RBLK yang kini memasuki tahun ketiga, meski fasilitasnya masih jauh dari ideal.
Kisah Hermus, sesungguhnya menggambarkan potret besar persoalan pendidikan Indonesia.
Negeri ini sedang menjemput bonus demografi yang bisa menjadi mesin kemajuan bangsa. Namun, kualitas pendidikan masih harus dikejar.
Hasil PISA 2022 menempatkan Indonesia di peringkat ke-66 untuk literasi membaca, ke-70 untuk matematika, dan ke-67 untuk sains dari 79 negara.
Sementara Human Capital Index Bank Dunia 2022 menempatkan Indonesia di posisi 96 dari 173 negara.
Data tersebut bukan menunjukkan kurangnya potensi, melainkan pekerjaan besar yang harus dilakukan bersama.
Berkolaborasi
Upaya gotong royong Hermus dan kawan-kawan semakin menemukan bentuknya ketika Rumah Baca Lilin Kecil bertemu dengan Rumah Belajar Bersama (RBeBe).
Sebuah program pendidikan mandiri yang dirintis penulis di Depok, Jawa Barat, pada 2019.
RBeBe dikembangkan dengan gagasan sederhana: bagaimana pendidikan bisa hadir di desa dan daerah terpencil, tanpa harus mendatangkan guru ahli.

“Yang biayanya mahal, dan sulit dilaksanakan secara berkelanjutan,” tulis A. Roni Kurniawan.
RBeBe menyediakan kurikulum, sistem pembelajaran mandiri, materi edukasi digital yang dapat diakses melalui gawai dan jaringan internet satelit, buku pembelajaran, hingga modul evaluasi.
Di setiap lokasi, fasilitator lokal menjadi tulang punggung proses belajar, menjaga disiplin dan menemani anak-anak sepanjang kegiatan.
Model ini dicoba ditawarkan di berbagai desa dekat kota, tetapi kurang diminati karena masyarakat masih berharap kehadiran guru langsung.
Kendala biaya menjadi penghalang pendirian kelas, tatap muka berkelanjutan.
Hingga akhirnya, perjalanan RBeBe menemukan titik takdirnya ketika berlabuh di Nabire, Papua, di tempat Hermus mengajar.
Di wilayah yang sangat membutuhkan akses belajar tambahan, tapi kekurangan tenaga pendidik dan pendekatan mandiri berbasis teknologi, justru menemukan kecocokannya.
RBLK dan RBeBe saling melengkapi dimana satu menyediakan ruang dan sentuhan manusia yang hangat.
Yang lain menyediakan materi pendidikan luas mulai dari literasi dasar, hingga keterampilan musik, menggambar, bahasa Inggris, literasi digital, literasi keuangan, hingga pengetahuan kesehatan.
Kini, setiap sore, di belakang bangunan sederhana itu, dua kekuatan bertemu.
Keikhlasan seorang guru yang tak mengenal lelah, dan teknologi yang memungkinkan ilmu menyebar melampaui batas ruang.
Kolaborasi antara RBLK dan RBeBe menjadi gambaran nyata, bahwa gotong royong pendidikan dapat terwujud, meski jarak membentang jauh dari Jawa Barat ke Papua.
Keduanya menunjukkan bahwa dengan pendampingan lokal dan akses pendidikan digital.
Anak-anak di wilayah terpencil dapat memiliki harapan, kesempatan, dan mimpi yang sama seperti anak-anak di kota besar.
Perubahan besar memang sering dimulai dari sesuatu yang kecil: sebuah rumah baca sederhana, seorang guru yang setia, dan sebuah program belajar yang mencoba membuka pintu akses seluas-luasnya.
Lilin Kecil, nama yang diambil dari rumah baca Hermus, tidak lagi menyala sendirian.
Ia kini ditemani oleh RBeBe dengan visi Merdeka Maju Berdaya, membangun generasi yang merdeka dari keterbatasan, maju dalam kualitas, dan berdaya untuk memberi manfaat bagi lingkungannya.
Dari sebuah pemukiman di Nabire, cahaya itu mulai menguat.
Lilin kecil itu perlahan menjelma menjadi sinar yang berpotensi menyinari banyak penjuru Nusantara.
Dari tempat yang selama ini dianggap paling jauh, tapi justru menyimpan cahaya harapan paling kuat.(Ant)***
