Haruskah Penjara Selalu Jadi Akhir, Bagi Pelaku Tindak Pidana

Tersangka Korupsi

PONTIANAK, borneoreview.co – Di banyak ruang sidang di Indonesia, terutama di daerah, pidana penjara masih menjadi pilihan paling mudah ketika seorang pelaku tindak pidana divonis bersalah.

Selama puluhan tahun, hukuman badan dianggap sebagai jalan paling efektif untuk memberi efek jera dan memulihkan ketertiban.

Namun, pendekatan itu menyimpan banyak persoalan, mulai dari kepadatan lembaga pemasyarakatan hingga minimnya pemulihan sosial bagi pelaku dan korban.

Di tengah perubahan besar dalam sistem hukum nasional, pidana kerja sosial muncul sebagai instrumen baru yang menantang cara lama memandang penghukuman.

Instrumen ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mulai berlaku penuh pada 2026.

Pidana kerja sosial memberi ruang untuk menghukum pelaku tanpa memutus hubungan mereka dengan keluarga, pekerjaan, dan komunitas.

Dalam konteks tertentu, pendekatan ini dinilai lebih rasional untuk kasus-kasus yang tidak membutuhkan pemenjaraan.

Di beberapa negara, skema ini terbukti mengurangi angka residivisme dan memberi manfaat langsung bagi masyarakat melalui pekerjaan yang dilakukan terpidana.

Di Indonesia, gagasan ini mendapat momentum ketika beberapa daerah mulai menyiapkan regulasi pendukung.

Salah satu wilayah yang bergerak cepat adalah Nusa Tenggara Barat (NTB).

Langkah antisipatif provinsi ini menempatkannya sebagai salah satu laboratorium penting penerapan pidana kerja sosial pada saat KUHP baru resmi berjalan.

Pemulihan Sosial

NTB mengambil posisi tegas dalam mendukung penerapan pidana kerja sosial.

Daerah ini memiliki alasan kuat, mengingat tingginya variasi perkara ringan yang jika seluruhnya diarahkan ke penjara justru menambah sesak lembaga pemasyarakatan.

Di sejumlah kasus, pelaku membutuhkan pendekatan yang lebih mendidik ketimbang menghukum. Kerja sosial memberi peluang bagi pelaku untuk menebus kesalahan dengan kontribusi nyata di ruang publik.

Di daerah ini, kerja sosial dipahami bukan sekadar membersihkan jalan atau fasilitas umum. Skemanya dapat disesuaikan dengan kapasitas pelaku dan kebutuhan masyarakat.

NTB memiliki banyak simpul sosial yang dapat menjadi lokasi kerja sosial, mulai dari jaringan lembaga kesejahteraan sosial hingga panti asuhan yang selama ini aktif memberdayakan kelompok rentan.

Ini membuka peluang bagi terpidana untuk menyumbang tenaga sesuai keahlian, baik dalam bentuk administrasi, pendampingan sosial, pendidikan, maupun layanan publik sederhana.

Penerapan pidana kerja sosial juga memberi ruang untuk mengintegrasikan nilai-nilai lokal.

NTB memiliki tradisi solidaritas dan kerja kolektif yang kuat dalam budaya masyarakat, seperti gotong royong yang berakar dalam kehidupan desa.

Nilai-nilai ini dapat menjadi landasan dalam merancang program yang mengutamakan pemulihan hubungan sosial antara pelaku dan lingkungannya.

Dengan pendekatan tersebut, pidana kerja sosial tidak hanya menjadi hukuman tetapi juga wahana rehabilitasi moral.

Namun, perubahan paradigma ini membutuhkan kesiapan kelembagaan. Tantangan terbesar terletak pada koordinasi antarlembaga penegak hukum, pemerintah daerah, dan institusi sosial.

Setiap perkara membutuhkan asesmen untuk memastikan bahwa pelaku layak menjalani pidana kerja sosial.

Selain itu, pelaksanaannya harus diawasi secara profesional agar tujuan penghukuman tidak bergeser menjadi formalitas administratif semata.

NTB sudah memulai langkah dasar melalui penandatanganan perjanjian kerja sama antara pemerintah daerah dan kejaksaan tinggi.

Pemerintah kabupaten dan kota turut dilibatkan melalui kesepahaman dengan masing-masing kejaksaan negeri.

Kerja sama ini menjadi pondasi awal yang penting, karena memastikan adanya payung operasional sebelum aturan turunan KUHP diterbitkan.

Dengan demikian, ketika masa implementasi tiba, NTB tidak memulai dari nol.

Meski demikian, beberapa hal perlu dicermati. Pertama, kesiapan kapasitas institusi sosial yang akan menjadi mitra pelaksanaan. Tidak semua lembaga memiliki tenaga pendamping atau fasilitas untuk menangani terpidana.

Kedua, mekanisme pelaporan dan pengawasan perlu dirancang agar akuntabel. Ketiga, pemetaan jenis tindak pidana yang layak mendapatkan kerja sosial harus disusun secara konsisten di seluruh daerah.

Pelaksanaan kerja sosial juga harus memastikan bahwa pekerjaan yang diberikan tidak bersifat eksploitatif dan tetap menjunjung martabat manusia.

Skema penghukuman ini dipandang sebagai alternatif yang lebih humanis, sehingga orientasinya perlu dijaga agar tidak berubah menjadi bentuk hukuman yang merendahkan.

Keadilan Baru

Penerapan pidana kerja sosial membawa harapan bagi sistem peradilan Indonesia yang lebih modern dan berorientasi rehabilitatif.

Untuk daerah seperti NTB, langkah awal yang ditempuh menjadi cermin bahwa perubahan bisa dimulai dari daerah, bukan hanya menunggu regulasi pusat.

Daerah ini memiliki modal sosial kuat, jaringan lembaga sosial yang beragam, serta kultur gotong royong yang dapat mendukung implementasi.

Namun, keberhasilan kerja sosial sangat bergantung pada tiga hal utama.

Pertama, kejelasan aturan teknis yang memastikan proses penghukuman berjalan adil, profesional, dan proporsional.

Kedua, kapasitas kelembagaan yang mampu menjalankan fungsi pembinaan dan pengawasan.

Ketiga, penerimaan masyarakat terhadap konsepsi penghukuman yang tidak selalu identik dengan penjara.

Jika ketiga aspek itu terpenuhi, pidana kerja sosial dapat menjadi instrumen penting untuk meringankan beban lembaga pemasyarakatan, memulihkan pelaku, dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.

Lebih jauh, skema ini bisa menjadi penanda bahwa sistem hukum Indonesia sedang bergerak menuju pendekatan yang lebih berkeadilan.

NTB kini berada pada titik strategis untuk menunjukkan bahwa perubahan itu mungkin diwujudkan. Keberanian memulai, menguji, dan memperbaiki adalah inti dari reformasi hukum yang sesungguhnya.

Ketika kerja sosial diberi ruang yang tepat, penghukuman tidak lagi berhenti pada memberi jera, tetapi juga membuka jalan bagi pemulihan sosial yang lebih luas.

Pada akhirnya, tujuan tertinggi sistem peradilan bukan hanya membalas kesalahan, tetapi memastikan bahwa masyarakat menjadi lebih aman, manusia menjadi lebih baik, dan keadilan dapat dirasakan secara nyata.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *