Usulan Amnesti Akil Mochtar, Ujian Nurani Negara Antara Hukum dan Keadilan Hidup (Bagian Dua)

Akil Mochtar

PONTIANAK, borneoreview.co – Usulan amnesti mantan Ketua Hakim Konstitusi Akil Mochtar, menjadi ujian bagi negara.

Bagaimana negara menerapkan hukuman yang adil, sekaligus mengembalikan kemanusiaan yang terampas, setelah jalani masa hukuman.

Dalam sistem tata hukum Indonesia, mengenal istilah amnesti, remisi dan abolisi. Ketiganya merupakan bentuk pengampunan, atau keringanan hukuman yang diberikan negara.

Amnesti bentuk pengampunan yang diberikan kepada perseorangan maupun kelompok. Yang telah menerima putusan hukuman, khususnya perkara pidana yang mengandung dimensi politik atau sosial.

Pengampunan ini bersifat menyeluruh, dan memiliki efek menghapus seluruh konsekuensi hukum, dari tindak pidana yang dilakukan. Amnesti menghapus seluruh akibat pidana.

Abolisi bersifat lebih spesifik dan individual. Abolisi ditujukan untuk menghentikan proses penegakan hukum, terhadap seseorang.

Abolisi tidak meniadakan kenyataan. Tindakan yang bersangkutan, tetap tergolong sebagai pelanggaran hukum. Abolisi menghentikan proses hukum sebelum vonis (individual).

Remisi adalah pengurangan masa pidana, bagi narapidana yang berkelakuan baik. Biasanya saat hari besar atau perayaan kenegaraan.

Ketiganya merupakan hak prerogatif Presiden, dengan pertimbangan DPR. Tapi berbeda pada tahap dan cakupan hukumnya.

Amnesti di Indonesia
Dalam sejarah berbangsa dan bernegara, pemerintah Indonesia mulai dari era Presiden Soekarno hingga Prabowo Subianto, pernah memberikan amnesti kepada perorangan atau kelompok.

Bahkan, amnesti juga pernah diberikan kepada mereka yang dianggap sebagai “musuh” negara.

Presiden Soekarno Berikan Amnesti ke PRRI
Presiden Soekarno memberikan amnesti kepada para tokoh pemberontak PRRI dari Sumatera Barat, tahun 1961.(Wikimedia Commons)

Presiden Soekarno melalui Keppres 303 Tahun 1959, memberikan amnesti kepada anggota pemberontakan Darul Islam (DI)/Tentara Islam Indonesia (TII) Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan.

Melalui Keppres 449 Tahun 1961, Bung Karno juga memberikan amnesti kepada anggota pemberontakan Daud Bereueh di Aceh, PRRI/Permesta di Sumatera dan Sulawesi. Serta, pemberontakan lain di Maluku dan Papua.

Presiden Soeharto melalui Keppres 63 Tahun 1977, memberikan amnesti kepada pengikut Gerakan Fretilin di Timor Timur (sekarang bernama Timor Leste).

Presiden Bj Habibie memberikan amnesti melalui Keppres 123 Tahun 1998, kepada 18 tahanan politik kasus demo di Timor Timur.

Habibie juga memberikan amnesti kepada dua aktivis pro-demokrasi. Yakni, Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan.

Presiden Megawati tidak pernah memberikan amnesti.

Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, melalui Keppres (1999)kepada aktivis pro‑demokrasi Partai Rakyat Demokratik (PRD), dan tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, melalui Keppres 22 Tahun 2005, memberikan amnesti kepada anggota GAM. Sekitar 2.000 orang diberikan amnesti.

Akil Mochtar menjadi anggota delegasi ke penandatanganan Perjanjian Helsinki, antara pemerintah Indonesia dan GAM. Selanjutnya, Akil menjadi Ketua Tim DPR RI, dalam memberikan pertimbangan pemberian amnesti kepada anggota GAM.

Presiden Joko Widodo melalui Keppres 24 Tahun 2019, memberikan amnesti kepada Baiq Nuril Maknun.

Presiden Prabowo Subianto melalui Keppres 17 Tahun 2025 tentang pemberian amnesti, memberikan amnesti kepada 1.178 terpidana/narapidana, termasuk kepada Hasto Kristiyanto (Sekjen PDIP).

Melalui Keppres 18 Tahun 2025 tentang pemberian abolisi, Presiden Prabowo memberikan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong). Yang diduga melakukan tindak pidana korupsi gula.

Presiden Prabowo juga memberikan rehabilitasi terhadap mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry, Ira Puspadewi, dalam kasus dugaan korupsi di ASDP.

Budiman Sudjatmiko
Budiman Sudjatmiko aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) diberikan amnesti oleh Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.(VOI)

Dukungan untuk Akil Mochtar
Melihat sejarah panjang tentang amnesti dari Presiden Soekarno hingga Prabowo Subianto, membuat warga di Kalimantan Barat dan di berbagai wilayah lain di Indonesia, mengusulkan surat amnesti untuk Akil Mochtar.

Surat permohonan amnesti bagi Akil Mochtar, bukan sekadar dokumen hukum. Melainkan cermin perdebatan panjang, mengenai wajah keadilan di Indonesia.

Di dalamnya tercatat satu fakta utama. Selama 12 tahun, hukuman telah dijalani. Tidak ada uang pengganti. Tidak ada denda. Tidak tercatat kerugian keuangan negara.

Di titik inilah kritik hukum mulai mengeras. Bila pidana korupsi dijatuhkan tanpa beban finansial negara, lalu dihukum seumur hidup, pertanyaan proporsionalitas tidak bisa dihindari.

Hukum pidana modern menuntut keseimbangan antara kesalahan, dampak, serta tujuan pemidanaan. Dokumen ini mengajak negara meninjau ulang keseimbangan tersebut.

Dukungan Sosial Luas
Daftar dukungan memanjang melintasi kabupaten, etnis, profesi, hingga generasi. Majelis adat, keraton, organisasi keagamaan, pemuda, akademisi, petani, hingga tokoh pers berdiri dalam satu barisan.

Mereka minta tidak menghapus kesalahan. Namun, menolak penghukuman tanpa akhir.

Dalam kacamata sosiologi hukum, dukungan massif ini mencerminkan legitimasi sosial.

Negara boleh menghukum, tetapi masyarakat berhak menilai, kapan hukuman berhenti relevan. Amnesti diposisikan sebagai koreksi, bukan pembatalan hukum.

Di banyak negara, keadilan restoratif menjadi jawaban atas hukum retributif berlebihan.

Dokumen permohonan ini berdiri pada pijakan serupa. Hukuman panjang telah memberi efek jera.

Martabat publik telah runtuh. Kekuasaan telah lenyap. Yang tersisa manusia menua, dalam sistem pemasyarakatan.

Kritik tajam mengarah pada pertanyaan fundamental. Apakah hukum hadir sekadar menghukum, atau memulihkan keseimbangan sosial?

Amnesti Hasto Kristiyanto
Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto.(VOI)

Bila tujuan pemidanaan telah tercapai, negara dituntut berani menghentikan penderitaan berlebih.

Suara Daerah Bicara

Surat dari Kalimantan Barat berbicara dengan bahasa halus, namun tegas. Wilayah ini pernah menyumbang tokoh nasional.

Kini di wilayah yang sama, minta negara bersikap bijak terhadap putra daerahnya. Ini bukan soal primordialisme, melainkan relasi negara dan daerah.

Ketika pemerintah pusat menutup telinga, jurang kepercayaan membesar. Ketika pusat mendengar, keadilan terasa hidup.

Amnesti dalam konteks ini, menjadi simbol pengakuan negara terhadap suara pinggiran.

Keputusan kini berada di tangan Presiden Prabowo Subianto dan DPR RI. Bukan semata keputusan hukum. Melainkan keputusan etik kenegaraan.

Sejarah mencatat. Negara besar bukan hanya tegas menghukum. Tapi, berani memaafkan, saat keadilan telah terpenuhi.

Usulan amnesti Akil Mochtar, berdiri sebagai ujian. Ujian, apakah hukum Indonesia, sanggup bersikap lentur tanpa kehilangan wibawa.

Ujian, apakah kekuasaan berani memilih kemanusiaan, tanpa terlihat lemah. Jawaban negara akan dikenang lebih lama, dari vonis mana pun.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *