Amnesti Akil Mochtar, Keadilan Negara hingga Nurani Publik (Bagian Ketiga)

Akil Mochtar Disambut

PONTIANAK, borneoreview.co – Di negara Republik berdasarkan hukum, amnesti bukan sekadar belas kasih. Amnesti ialah keputusan politik konstitusional.

Amnesti dipakai negara, saat hukum positif berhenti memberi makna pemulihan.

Dari Kalimantan Barat, suara kolektif menggema menuju Istana. Bukan satu organisasi. Bukan satu tokoh.

Puluhan lembaga keagamaan, adat, pemuda, akademisi hingga praktisi media massa, menyuarakan satu kehendak.

Negara diminta menimbang ulang, makna hukuman panjang bagi Akil Mochtar.

Hukuman seumur hidup. Dua belas tahun masa pidana telah dilalui. Fakta hukum tertulis terang. Putusan tidak memuat uang pengganti.

Putusan tidak memuat denda. Tidak tercatat kerugian keuangan negara. Dalam sistem hukum pidana modern, fakta tersebut bukan detail kecil.

Fakta tersebut menentukan, tujuan pemidanaan tercapai atau justru melampaui batas kemanusiaan.

Hukuman Dijalani Lama

Hukum pidana bertujuan tiga hal utama, pembalasan pencegahan perbaikan. Saat hukuman dijalani lama tanpa sisa kewajiban finansial, pertanyaan mendasar muncul.

Apakah negara masih menghukum demi keadilan publik atau sekadar mempertahankan simbol kekuasaan hukum.

Akil Potong Kayu
Akil Mochtar menggunakan mandau untuk memotong kayu sebelum menuju perkampungan Dayak di Kapuas Hulu.(Ist

Masalah Akil Mochtar menjadi cermin keras. Vonis berat telah menutup karier publik. Hukuman panjang telah memutus akses kekuasaan.

Risiko pengulangan tindak pidana praktis nihil. Dalam konteks ini, pidana berkelanjutan berpotensi berubah, dari keadilan menjadi penderitaan administratif.

Kritik hukum muncul bukan demi membela figur. Kritik diarahkan pada sistem pemidanaan, tanpa mekanisme evaluasi kemanusiaan.

Negara hukum kuat justru berani menilai ulang efek hukuman. Bukan sekadar menjalankan teks putusan, sampai titik biologis terakhir.

Individu Berkontribusi Sosial

Restorative justice bukan pengampunan membabi buta. Konsep ini menimbang kerusakan sosial, lalu mencari pemulihan proporsional.

Dalam dokumen usulan amnesti, narasi pemulihan terasa dominan. Akil Mochtar diposisikan sebagai individu, pernah berkontribusi sosial. Lalu jatuh, dan menanggung konsekuensi panjang.

Organisasi adat Melayu, menyuarakan pandangan kultural. Kesalahan diakui. Hukuman dijalani. Martabat manusia tetap dijaga.

Nilai ini hidup kuat dalam tradisi lokal. Negara modern sering lupa tradisi semacam ini. Nilai ini menyimpan kebijaksanaan panjang, sebelum kodifikasi hukum kolonial hadir.

Amnesti dalam kerangka ini, bukan penghapusan dosa hukum. Amnesti menjadi jembatan pemulihan relasi sosial. Sekaligus penegasan negara, mampu berbelas kasih tanpa kehilangan wibawa.

Daftar dukungan memanjang lintas kabupaten lintas generasi. Keraton berdiri sejajar dengan mahasiswa. Ulama bersanding bersama petani.

Fenomena ini jarang muncul pada kasus korupsi kelas berat. Fakta ini menandakan sesuatu lebih dalam, daripada sekadar simpati personal.

Masyarakat sipil membaca perkara ini, melalui kacamata dampak sosial. Hukuman panjang tanpa kerugian negara, dipersepsi sebagai ketidakseimbangan keadilan.

Sticker Akil Mochtar
Warga menempel sticker Akil Mochtar dimotor yang mereka gunakan.(Ist)

Persepsi publik semacam ini berbahaya bila diabaikan. Ketika rasa keadilan publik tergerus, legitimasi hukum ikut terancam.

Negara sering kalah bukan karena putusan salah. Melainkan karena gagal menjelaskan, proporsionalitas hukuman.

Amnesti justru dapat berfungsi sebagai koreksi lembut, tanpa membatalkan kesalahan masa lalu.

Negara Konstitusional Bijak
Konstitusi memberi Presiden hak amnesti bersama DPR RI. Hak ini bukan hadiah politik. Hak ini mekanisme darurat moral. Digunakan saat hukum positif, berhenti menjawab rasa keadilan hidup.

Masalah Akil Mochtar, menempatkan Presiden serta DPR RI pada persimpangan sulit. Menolak amnesti, berarti konsistensi formal hukum.

Mengabulkan amnesti, berarti keberanian moral menafsirkan ulang keadilan. Dua pilihan sama-sama berisiko.

Namun, sejarah hukum nasional mencatat. Negara besar bukan negara tanpa ampun. Negara besar adalah, negara sanggup mengakui hukuman cukup. Lalu, berhenti sebelum keadilan berubah menjadi dendam institusional.

Dari Kota Pontianak, berkas telah berangkat. Dari Jakarta, keputusan menunggu lahir. Publik menunggu. Bukan demi satu nama. Publik menunggu arah moral negara hukum.

Apabila amnesti diberikan, negara mengirim pesan keadilan berwajah manusia. Apabila ditolak, negara wajib menjelaskan alasan proporsional secara jujur. Diam justru pilihan paling berbahaya.

Di titik ini, amnesti Akil Mochtar bukan perkara personal. Ia telah menjelma, sebagai ujian kematangan hukum Indonesia.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *