PONTIANAK, borneoreview.co – Pontianak tidak sekadar kota sungai. Dari ruang sekretariat Rumah Betang, selembar surat bertanggal 8 November 2025 berangkat menuju pusat kekuasaan republik.
Dewan Adat Dayak Provinsi Kalimantan Barat menyampaikan permohonan amnesti bagi Akil Mochtar, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Dokumen berkop resmi, cap lembaga adat, tanda tangan tokoh adat, serta bahasa formal negara menjadi medium dialog antara nilai hukum positif dan nurani kultural.
Surat ini bukan selebaran opini. Isinya rapi, argumentatif, serta mengikat tradisi dengan konstitusi. Alamat surat jelas Presiden Republik Indonesia serta Ketua DPR RI. Lokasi tujuan Jakarta.
Kalimat pembuka menyapa kekuasaan dengan petuah adat Dayak; Adil Ka Talino, Bacuramin Ka Saruga, Basengat Ka Jubata. Keadilan diposisikan sebagai jalan manusia menuju surga dan kehidupan bermartabat.
Permohonan Amnesti Dalam Bingkai Negara
Dokumen menyebut nomor resmi U.099 DAD KB XI 2025. Perihal tercantum terang Permohonan Pemberian Amnesti.
Tidak ada metafora berlebihan. Bahasa administratif mendominasi. Nada hormat terasa konsisten.
Dewan Adat Dayak Kalimantan Barat menegaskan posisi sebagai organisasi masyarakat adat menaungi seluruh komunitas Dayak di wilayah provinsi.
Otoritas moral dilekatkan secara eksplisit. Permohonan tidak bersifat personal. Surat mewakili suara kolektif.
Substansi inti menyorot putusan Pengadilan Tipikor terhadap Akil Mochtar. Hukuman penjara seumur hidup telah dijalani selama dua belas tahun.
Kalimat disusun tenang, tanpa emosi, tanpa pembelaan agresif. Permintaan diarahkan langsung pada kewenangan konstitusional Presiden bersama DPR.
Bagian argumentasi terbagi rapi dalam empat poin. Setiap poin berdiri sendiri, saling menguatkan.
Poin pertama menempatkan Akil Mochtar sebagai tokoh masyarakat Dayak serta Melayu Kalimantan Barat.

Peran sosial, budaya, serta kontribusi menjaga kerukunan antar etnis ditegaskan. Kalimat tidak memutihkan kesalahan hukum. Fokus diarahkan pada rekam jejak sosial sebelum perkara pidana.
Poin kedua menyinggung vonis tanpa kewajiban pembayaran uang pengganti. Negara tidak mengalami kerugian finansial. Pernyataan ini menjadi fondasi rasional dalam logika amnesti.
Poin ketiga memperkuat narasi tanpa beban denda serta tanpa kerugian publik. Dimensi sosial diangkat kembali. Kepentingan umum menjadi barometer utama.
Poin keempat menegaskan masa hukuman dua belas tahun telah dijalani dengan perilaku baik. Kalimat singkat. Pesan tegas. Aspek pembinaan narapidana masuk ruang wacana.
Surat ini membuka kembali diskursus lama soal amnesti. Konstitusi memberi ruang lewat Pasal 14 UUD 1945.
Presiden berhak memberi amnesti dengan pertimbangan DPR. Kewenangan politik berlapis legitimasi hukum.
Namun praktik amnesti selalu mengandung dimensi sensitif. Publik memori masih menyimpan luka korupsi.
Akil Mochtar pernah berada puncak lembaga konstitusi. Kejatuhan figur tersebut meninggalkan trauma kolektif.
Di titik inilah surat Dewan Adat Dayak bekerja. Bukan menyangkal kesalahan. Bukan menghapus dosa hukum. Surat mengajak negara melihat manusia setelah hukuman berjalan panjang.
Dua Belas Tahun Sunyi
Dua belas tahun bukan angka kecil. Dalam sistem pemasyarakatan, masa tersebut mencerminkan fase pembinaan panjang. Surat menyebut perilaku baik. Kalimat ini sederhana namun politis.
Negara memiliki tujuan pemidanaan. Bukan semata pembalasan. Ada rehabilitasi, reintegrasi, rekonsiliasi sosial. Surat ini menekan aspek itu tanpa retorika berlebihan.
Dalam konteks masyarakat adat, waktu bermakna penebusan. Hukuman dijalani. Kesalahan diakui. Komunitas bersedia membuka pintu dialog kembali.
Rumah Betang bukan sekadar bangunan. Ia simbol hidup kolektif. Konflik diselesaikan lewat musyawarah. Hukuman adat selalu diakhiri pemulihan relasi.
Surat ini lahir dari filosofi tersebut. Negara modern diajak berdialog dengan kebijaksanaan lokal. Tidak ada tuntutan. Tidak ada ultimatum. Hanya permohonan berbasis nilai.
Bahasa surat mencerminkan itu. Kata terima kasih menutup dokumen. Harapan disampaikan dengan santun. Tidak ada tekanan politik terbuka.
Negara Mendengar Adat
Pertanyaan besar muncul. Apakah negara akan mendengar. Presiden memegang kunci. DPR memberi pertimbangan. Publik menilai dari kejauhan.
Dalam sejarah Indonesia, amnesti kerap hadir saat negara ingin membuka bab baru.
Dari era konflik bersenjata hingga kasus politik. Namun amnesti korupsi jarang terjadi. Risiko politik tinggi.

Surat Dewan Adat Dayak memasukkan variabel kultural. Masyarakat adat tampil sebagai subjek politik moral. Ini bukan lobi elite. Ini suara komunitas.
Tanda Tangan dan Simbol Legitimasi
Dokumen ditutup tanda tangan Ketua Umum Cornelius Kimha MSi serta Sekretaris Umum Thadeus Yus SH MPA. Cap Dewan Adat Dayak Kalimantan Barat tercetak jelas.
Simbol ini penting. Surat bukan pernyataan personal. Ia produk lembaga resmi adat. Legitimasi kultural disatukan dengan formalitas negara.
Surat ini akan tercatat sebagai artefak demokrasi. Entah dikabulkan atau tidak. Ia menunjukkan ruang dialog antara hukum positif dan nilai kemanusiaan tetap terbuka.
Amnesti bukan pembenaran. Ia pilihan politik bermuatan moral. Surat Dewan Adat Dayak menempatkan pilihan itu dalam bingkai kebudayaan Nusantara.
Di tengah kebisingan opini, dokumen ini berbicara pelan namun dalam. Dari Pontianak menuju Jakarta. Dari Rumah Betang menuju Istana Negara.***
