JAKARTA, borneoreview.co – Kapal klotok merayap pelan di atas permukaan Sungai Sekonyer yang hening. Haluannya yang melawan arus sungai membuat perjalanan terasa panjang.
Air sungai yang berwarna coklat kehitaman—menyerupai teh pekat hasil dari ekosistem unik hutan rawa gambut—mengalir tenang membelah hutan, yang diapit oleh hutan bakau dan pohon nipah yang tumbuh rapat di tepiannya.
Angin lembut menyapu wajah, sementara deru mesin kapal berpadu dengan kicau burung dan bisik gemerisik hutan yang menenangkan.
“Kalau datang Oktober—November, suasana lebih tenang. Tidak seramai Juli—Agustus saat turis asing ramai berdatangan,” ujar Ade, pemandu yang menemani perjalanan.
Sungai Sekonyer menjadi jalur utama menuju habitat orang utan liar di kawasan konservasi Taman Nasional Tanjung Puting, Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.
Ada tiga camp utama untuk menyaksikan orang utan liar: Tanjung Harapan, Pondok Tanggui, dan Camp Leaky yang letaknya paling jauh. Perjalanan kali ini menuju Tanjung Harapan, dengan waktu tempuh hampir tiga jam menyusuri sungai. Di sana, wisatawan dapat menyaksikan aktivitas pemberian pakan orang utan—momen yang selalu menjadi daya tarik utama.
Tanjung Harapan, Pondok Tanggui, dan Camp Leakey adalah tempat rehabilitasi dan pelepasliaran orang utan yang sebelumnya menjadi peliharaan. Meskipun sudah dilepasliarkan, pemberian pakan tetap dilakukan sebagai nutrisi tambahan.
Pemberian pakan dilakukan sehari sekali, hanya pada pukul 15.00 WIB.
Meski perjalanan terasa panjang, beruntung klotok menyediakan makan siang yang dimasak langsung di dapur kecil di kapal. Aroma masakan yang mengepul bercampur dengan semilir udara sungai menambah hangat suasana perjalanan.
Setelah dua jam lebih menyusuri sungai, dermaga Tanjung Harapan akhirnya tampak di kejauhan. Meski orang utan belum terlihat, seekor bekantan tampak bergelayut di dahan pohon yang menjulang tinggi, sementara bangau sandang lawe sesekali melintas.
Taman Nasional Tanjung Puting memang bukan hanya rumah bagi orang utan, melainkan juga bagi hewan lain, seperti owa-owa (gibbon), kangkareng hitam (black hornbill), hingga buaya senyulong (false gharial).
Dari dermaga Tanjung Harapan, pengunjung masih harus berjalan kaki sejauh 1,5 kilometer menuju feeding station.
Jalur setapak itu dikelilingi pepohonan menjulang, tanah basah karena hujan, dan tanaman berlabel yang menjelaskan khasiatnya bagi kesehatan maupun kecantikan.
Separuh perjalanan, seekor orang utan besar tiba-tiba muncul. Inilah sensasi bertamu ke habitat alami: orang utan bisa saja melintas di depan, bergelantungan di pohon, atau sekadar mengawasi dari kejauhan.
Terlihat ada induk orang utan dengan anaknya yang bergelayut di ranting, ada jantan yang sedang bersantai di pohon. Mereka sebenarnya sadar dengan kehadiran manusia, tetapi selama tidak diganggu, mereka tetap tenang.
Di feeding station, bangku kayu sudah dipenuhi pengunjung, baik lokal maupun asing, yang sudah tiba lebih dulu.
Tepat pukul 15.00 WIB, dua orang ranger—para penjaga hutan—datang memikul sebuah keranjang berisi pakan orang utan seperti pisang, ubi, dan jagung.
Dengan lihai, mereka menirukan suara khas orangutan sebagai tanda bahwa santapan sudah siap. Dari pepohonan, beberapa orang utan yang tengah bergelantungan perlahan turun, mengintip dengan rasa ingin tahu apakah makanan benar-benar siap.
Menariknya, tak seekor pun berani menyentuh makanan sebelum jantan dewasa yang dominan mengambil bagian pertama. Di panggung feeding itu, hanya ada satu jantan dominan ditemani sejumlah betina.
Jika muncul jantan lain yang lebih kuat, maka jantan sebelumnya harus rela menghentikan makannya, demi menghindari perkelahian dan serangan.
Orangutan dan Ilmu Pengetahuan
Orangutan adalah satu-satunya kera besar Asia, dan hanya ditemukan di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Sebagian populasi juga terdapat di Sabah dan Sarawak, Malaysia.
Indonesia merupakan habitat dari tiga spesies orangutan, yakni orangutan Sumatera (Pongo abelii), orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus), dan orang utan Tapanuli (Pongo tapanuliensis).
Ketiga spesies ini kini masuk dalam daftar terancam kritis (critically endangered) menurut Badan Konservasi Dunia (IUCN). Artinya, mereka berada di ambang kepunahan di alam liar.
Di sisi lain, pertumbuhan populasi orangutan berlangsung sangat lambat. Di alam liar, seekor betina hanya melahirkan satu bayi setiap delapan tahun.
Jarak kelahiran ini adalah yang terpanjang di antara mamalia, termasuk manusia, sehingga membuat pemulihan populasi orangutan sangat sulit.
Orangutan menyimpan potensi luar biasa. Dengan 97 persen kesamaan DNA dengan manusia, kedekatan genetik ini membuka peluang besar bagi riset kesehatan dan ilmu pengetahuan.
Naluri mereka dalam memilih pakan, misalnya, ternyata menyimpan petunjuk berharga tentang tanaman obat alami yang bermanfaat bagi manusia.
Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) bekerja sama dengan Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur telah melakukan kajian berjudul “Potensi Nutrisi dan Medisinal dari Tumbuhan Pakan Orangutan”.
Penelitian ini berlangsung di Bentang Alam Wehea-Kelay, Berau, Kalimantan Timur pada November 2021 hingga Mei 2023.
Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa bentang alam seluas 530 hektare ini merupakan habitat bagi sekitar 1.200 individu orang utan kalimantan (Pongo pygmaeus morio) serta lebih dari 1.500 jenis flora dan fauna.
Dari total 1.666 jenis tumbuhan yang dikonsumsi orangutan, tim peneliti mengkaji 59 jenis pakan. Hasilnya, lebih dari 50 persen tumbuhan tersebut digunakan secara tradisional oleh manusia sebagai obat luka, antiinfeksi, dan antiperadangan.
Salah satu temuan yang menjanjikan adalah Macaranga conifera. Tanaman ini bisa digunakan untuk obat demam dan batuk, antiperadangan, obat diare, dan sariawan. Di China, tanaman ini telah dibudidayakan sebagai bahan baku minuman kesehatan.
Macaranga juga memiliki kandungan antioksidan tinggi yang berpotensi menjadi terapi penyakit degeneratif seperti kanker dan diabetes.
Dari sini dapat dibayangkan, bagaimana orangutan dengan naluri alaminya dalam memilih pakan, seakan berperan sebagai “peneliti hutan” yang menyingkap tanaman berharga—bukan hanya bermanfaat bagi kelangsungan hidup mereka, tetapi juga berpotensi menjadi sumber obat bagi manusia.
Selain memiliki potensi medisinal, orangutan berperan besar dalam menjaga regenerasi hutan. Melalui kotorannya dan dengan daerah jelajah yang sangat luas, mereka menjadi penyebar biji paling efektif di hutan. Mereka membantu menjaga keberlanjutan ekosistem dengan memastikan tanaman hutan terus tumbuh dan menyebar.
Penelitian menunjukkan bahwa biji dari buah yang dimakan orangutan memiliki masa dorman lebih singkat. Setelah melewati proses alami di tubuh orangutan, biji tersebut justru lebih cepat berkecambah dan tumbuh secara alami dibandingkan biji yang ditanam manusia melalui persemaian.
Orangutan dan Deforestasi
Meski orang utan menyimpan potensi luar biasa untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan keberlangsungan ekosistem hutan, ancaman terhadap satwa karismatik ini masih terus mengintai.
Khususnya di Kalimantan, mereka menghadapi tekanan serius berupa alih fungsi hutan untuk perkebunan sawit dan industri lainnya, deforestasi, perburuan, dan perdagangan ilegal. Kombinasi faktor ini membuat keberlangsungan hidup orang utan semakin rapuh.
Menurut berbagai sumber, jumlah orang utan kalimantan diperkirakan hanya sekitar 57.000 individu yang tersebar di 16 juta hektare areal hutan.
Statistik Kehutanan 2024 yang dirilis Kementerian Kehutanan mencatat luas lahan berhutan di Indonesia pada 2024 mencapai 95,5 juta hektare, atau 51,1 persen dari total daratan. Dari angka tersebut, sekitar 91,9 persen (87,8 juta hektare) berada di dalam kawasan hutan.
Adapun deforestasi di Kalimantan Tengah pada 2024 mencapai 16.054 hektare, Kalimantan Selatan 4.100 hektare, Kalimantan Timur 19.206 hektare, dan Kalimantan Utara 5.256 hektare.
Untuk menekan angka deforestasi, Kementerian Kehutanan melaksanakan upaya reforestasi melalui Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) seluas 217,9 ribu hektare pada 2024, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan.
Selain itu, berbagai langkah strategis dilakukan, mulai dari pengendalian kebakaran hutan dan lahan, penerapan Inpres penghentian izin baru di hutan alam primer dan lahan gambut, hingga penegakan hukum kehutanan.
Melindungi orang utan bukanlah pilihan, melainkan sebuah keharusan.
Upaya ini tidak hanya menyelamatkan mereka dari ancaman kepunahan, tetapi juga menjaga keanekaragaman hayati, memastikan kelangsungan ekosistem hutan, serta menjamin masa depan manusia yang bergantung pada keseimbangan alam. (Ant)
