BANJARMASIN, borneoreview.co – Ombudsman Republik Indonesia melalui Keasistenan Utama III telah menyelesaikan kajian sistemik tentang pencegahan maladministrasi dalam tata kelola industri kelapa sawit. Kajian yang berlangsung dari Mei hingga Oktober 2024 ini bertujuan memberikan gambaran menyeluruh terkait permasalahan dalam tata kelola sawit di Indonesia.
Dalam konferensi pers di Gedung Ombudsman RI, Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika mengungkapkan bahwa kajian ini melibatkan 51 pihak terkait. Industri kelapa sawit memiliki kontribusi signifikan terhadap perekonomian Indonesia, dengan nilai kapasitas mencapai Rp729 triliun per tahun dan kontribusi terhadap APBN sebesar Rp88 triliun. Namun, di balik kontribusi tersebut, terdapat tantangan besar, khususnya terkait tata kelola, keberlanjutan, dan keadilan sosial.
“Potensi maladministrasi terlihat dari permasalahan perizinan, lahan, niaga, hingga kelembagaan. Salah satu temuan utama adalah tumpang tindih lahan perkebunan sawit seluas 3.222.350 hektar, di mana dari 3.325 Subjek Hukum, hanya 199 yang terselesaikan. Kerugian akibat lahan tumpang tindih ini mencapai Rp74,1 triliun,” ungkap Yeka.
Selain itu, kajian menemukan adanya regulasi yang tumpang tindih dan pengawasan yang lemah, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang menciptakan ruang untuk praktik maladministrasi. Total potensi kerugian dari berbagai aspek tata kelola sawit mencapai Rp279,1 triliun per tahun.
Untuk mengatasi permasalahan ini, Ombudsman mengusulkan perbaikan sistem perizinan, administrasi, dan kebijakan tata niaga sawit. Selain itu, Yeka merekomendasikan pembentukan Badan Nasional di bawah Presiden untuk mengelola industri sawit secara terintegrasi.
“Dengan badan ini, diharapkan permasalahan izin, kebijakan, dan tata niaga sawit dari hulu ke hilir dapat diselesaikan secara efektif,” tutup Yeka. (Kal)