PONTIANAK, borneoreview.co – Di masa kecilku dulu di kampong halaman, Pontianak, seperti halnya kebanyakan anak-anak lain di Nusantara.
Lebaran bagiku dan teman sebaya, merupakan momentum yang ditunggu-tunggu. Pakaian baru dan angpau (uang salam tempel) menjadi daya tarik penting dari lebaran.
Terkadang keduanya seakan menjadi ajang perlombaan di antara teman sebaya.
Ajang perlombaan memperoleh pakaian yang paling trendy pada masa itu. Juga ajang mengumpulkan angpau yang terbanyak.
Walaupun kami kerap pula menjadikan ajang ketahanan berpuasa sebagai adu gengsi diantara teman sepermainan.
Dimana yang banyak batal puasanya, akan selalu dipandang remeh oleh lainnya.
Ketidaktahanan berpuasa ini dapat saja dijadikan senjata untuk mencela seorang kawan selama setahun penuh.
Sehabis shalat Ied, acara silaturahmi dan saling berkunjung merupakan sebuah tradisi yang melekat di hari yang suci ini.
Tradisi berkunjung ini harus saling berbalasan dan dapat berlangsung hingga satu minggu penuh.
Di hari pertama, kunjungan lebih diutamakan pada pihak keluarga, selain menyambangi makam para generasi pendahulu.
Selepas keluarga dikunjungi, barulah teman sejawat ataupun tetangga. Kunjungan resmi yang demikian biasanya diikuti oleh seluruh anggota keluarga.
Nah, selain kunjungan resmi ini, biasanya aku dan teman-teman sebaya juga punya kebiasaan melakukan kunjungan secara berkelompok.
Satu kelompok bisa terdiri dari 5 orang anak, bahkan tak jarang bisa pula mencapai lebih dari sepuluh orang anak.
Kunjungan dengan sesama teman sebaya ini, biasanya dilakukan pada malam hari.
Tidak hanya tetangga dekat dan dikenal saja yang akan kami kunjungi, yang tak dikenalpun tak jarang kami sambangi.
Biasanya, sasaran rumah yang akan dikunjungi adalah rumah yang orangnya tidak pelit dan ramah.
Rumah itu akan menjadi prioritas jika sang tuan rumah menyediakan angpau bagi tamunya.
Atau, kuenya berlimpah dan menyajikan minuman, berupa aek kaleng atau aek begas atau minuman bersoda di dalam kemasan kaleng.
Waktu itu, keluarga yang menyediakan aek kaleng masih sangat terbatas, tidak seperti sekarang, yang harganya sudah dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat.
Ngocek atau menyembunyikan aek kaleng atau makanan di kocek (kantong) celana atau baju merupakan perilaku yang tak jarang kami lakukan sewaktu kecil.
Tak heran, sewaktu kecil, baju dan celana yang memiliki banyak kantong merupakan baju favorit di waktu lebaran.
Saat ini mungkin aek kaleng tak lagi berkesan dan menjadi minuman khas sewaktu lebaran saja. Sebab minuman bersoda telah menjadi minuman sehari-hari anak di kotaku tercinta.
Minuman ini kini telah menjadi minuman komplemen bagi beberapa restoran cepat saji yang telah menjamur dan digemari oleh anak-anak.***
Penulis: Dr Pahrian Siregar (Alm)