JAKARTA, borneoreview.co – Di banyak sekolah dan kampus di Indonesia hari ini, kita sedang menghadapi paradoks baru dalam dunia pendidikan. Siswa dapat mengumpulkan tugas yang sempurna, menulis esai yang rapi, menjawab soal sulit dengan akurat, dan menyelesaikan laporan penelitian yang tampak profesional semua dengan bantuan kecerdasan buatan (AI) seperti ChatGPT.
Namun di balik performa gemilang itu, muncul pertanyaan penting: apakah mereka benar-benar belajar? Atau apakah yang terlihat sebagai “kepintaran” hanyalah hasil polesan mesin?
Penelitian dari UCLA oleh Robert Bjork dan Nicholas Soderstrom menunjukkan sesuatu yang tidak nyaman yaitu performa tinggi pada momen tertentu sering tidak sejalan dengan pembelajaran jangka panjang. Siswa bisa mendapat nilai 90 persen ketika dites di hari yang sama, tetapi ketika dites ulang seminggu kemudian tanpa pengulangan, nilai bisa jatuh ke 60 persen. Fenomena ini disebut illusion of competence yaitu mereka terlihat paham, tetapi tidak benar-benar memahami.
Neurosaintis pendidikan Barbara Oakley menjelaskan bahwa otak hanya belajar ketika melalui proses berjuang, berpikir keras, dan membuat kesalahan. Proses inilah yang memindahkan informasi dari memori deklaratif ke memori prosedural yang membuat seseorang benar-benar ahli.
Ketika AI mengambil alih proses itu, seperti menulis esai, membuat rangkuman, atau menyelesaikan soal, otak tidak membangun jalur pengetahuan tersebut. Akibatnya, AI dapat menciptakan ilusi pembelajaran: siswa terlihat pintar, tetapi tidak lebih pintar daripada sebelumnya. Fenomena ini semakin relevan di Indonesia.
Survei Kemendikbud tahun 2024 mencatat bahwa 64 persen siswa SMA di kota besar menggunakan AI untuk mengerjakan tugas, namun hanya 18 persen yang mengatakan mereka memahami materi lebih baik setelahnya.
Studi internal di beberapa universitas menunjukkan tren serupa: tugas semakin rapi, tetapi kemampuan berpikir kritis menurun. Ketika dosen memberikan ujian lisan tanpa alat bantu, banyak mahasiswa tidak dapat menjelaskan argumen yang mereka tulis sendiri.
Bukan AI yang bermasalah, melainkan cara kita menggunakannya. Sebuah studi di Turki pada 2024 menunjukkan bahwa ketika siswa diberi akses AI tanpa panduan, performa akademik mereka justru turun 17 persen. Mereka menghasilkan pekerjaan yang lebih baik, tetapi kehilangan proses berpikir yang membangun pemahaman.
Namun penelitian lain menunjukkan sebaliknya. Studi Harvard pada 2024 terhadap 2.500 siswa menemukan bahwa AI tutor yang dirancang dengan prinsip pedagogis dapat meningkatkan pembelajaran dua kali lipat lebih cepat. Di Nigeria, program AI berbasis instruksi yang dipandu guru membuat siswa mencapai kemajuan setara 1,5 tahun pembelajaran hanya dalam 6 minggu.
Artinya, teknologi yang sama dapat menghasilkan dua dunia pendidikan yang sangat berbeda: Satu dunia di mana siswa tampak pintar tapi kosong; satu dunia di mana AI benar-benar membuat mereka lebih pintar.
Di Indonesia, kita berada di persimpangan jalan itu. Mengapa Indonesia rentan terjebak “kepintaran palsu”? Ada tiga alasan mengapa risiko fake learning lebih besar di Indonesia.
Pertama, fondasi literasi dan numerasi masih lemah. PISA 2022 menunjukkan bahwa 71 persen siswa Indonesia tidak mencapai tingkat kecakapan minimum dalam matematika, dan 50 persen tidak mencapai standar minimum membaca. Siswa dengan fondasi pengetahuan lemah paling rentan hanya menyalin output AI tanpa memahami isinya.
Kedua, guru belum siap menghadapi disrupsi AI. Survei Balitbangdikbud 2023 menunjukkan 72 persen guru belum mendapatkan pelatihan formal tentang penggunaan AI dalam pendidikan. Sebagian besar hanya mengenal AI sebagai alat membuat soal atau ringkasan, bukan sebagai alat pedagogis.
Ketiga, evaluasi pendidikan masih menilai output, bukan proses. Selama yang dinilai adalah tugas tertulis, ringkasan, esai, dan laporan, maka AI akan selalu menjadi jalan pintas sempurna untuk menghasilkan output cepat tanpa pembelajaran.
Di banyak sekolah dan kampus Indonesia, gejala berikut mulai sering ditemukan bahwa esai siswa lebih rapi, tetapi ketika ditanya, mereka tidak bisa menjelaskan logikanya. Jawaban yang dihasilkan AI terlihat benar, tetapi siswa tidak tahu mana yang salah atau mengapa. Siswa semakin cepat mengumpulkan tugas, tetapi nilai ujian tatap muka justru turun.
Proses berpikir kritis, evaluasi diri, dan analisis melemah. Dalam istilah Daniel Willingham, memori adalah “residu dari pemikiran”. Jika siswa tidak berpikir, mereka tidak mengingat. Jika AI berpikir untuk mereka, mereka tidak belajar.
Apa yang harus dilakukan agar AI membuat kita lebih pintar? Agar AI menjadi alat untuk meningkatkan kecerdasan, bukan sekadar kosmetika kepintaran, Indonesia perlu melakukan empat langkah penting.
Pertama, mendesain pembelajaran yang mempertahankan usaha kognitif AI tidak boleh mengerjakan tugas siswa, tetapi digunakan untuk: memberi contoh, bukan membuat seluruh jawabannya, memberikan petunjuk langkah demi langkah, menantang siswa untuk menjelaskan kembali konsep dan meminta siswa membandingkan dua jawaban dan menentukan mana yang benar. Model ini disebut productive struggle with guidance yaitu AI memandu, siswa tetap berpikir keras.
Contoh ideal alih-alih meminta AI membuat esai, guru meminta siswa membuat draf sendiri, lalu menggunakan AI untuk memberikan kritik, menemukan celah logika, dan memperbaiki argumen.
Kedua, melatih guru dalam “pedagogi era AI” selama 40 jam per tahun. Pelatihan harus mencakup cara membuat prompt yang mendorong pemikiran, cara menggunakan AI sebagai tutor, bukan mesin penjawab, cara mendesain tugas yang tidak dapat diselesaikan AI tanpa pemahaman siswa (misal: pertanyaan reflektif, analisis kasus lokal, tugas berbasis data kelas) dan cara mendeteksi AI dependency. Tanpa guru terlatih, sekolah hanya berdiri di atas ilusi pendidikan.
Ketiga, mengubah cara evaluasi dengan menilai pembelajaran tanpa AI. Agar siswa tidak hanya pintar “di atas kertas”, evaluasi harus mencakup ujian lisan, penilaian berbasis proyek nyata, diskusi kelas, penjelasan konseptual, tes yang mengharuskan siswa menjelaskan proses. Kita harus menilai apa yang ada di kepala siswa bukan apa yang keluar dari mesin.
Keempat, mengedukasi siswa tentang bagaimana AI dapat meningkatkan otak mereka. Siswa perlu memahami bahwa AI harus digunakan untuk belajar, bukan untuk menghindari belajar, menyalin jawaban AI adalah cara tercepat untuk tampak pintar dan menjadi bodoh karena otak hanya belajar ketika melakukan pekerjaan sulit.
Pendidikan teknologi tanpa pendidikan kognitif akan menghasilkan generasi dengan smart output tetapi shallow thinking.
Indonesia memiliki peluang besar. Dengan 58 juta siswa dan 3,3 juta guru, penggunaan AI secara tepat dapat menjadi akselerator terbesar dalam sejarah pendidikan nasional. AI dapat menyediakan tutor personal untuk setiap siswa, membantu guru membuat materi berbeda untuk tiap tingkat kemampuan, mempercepat remedial, memberikan penjelasan alternatif bagi siswa yang tertinggal dan memperkaya pembelajaran tanpa menambah beban guru.
Tapi semua itu hanya terjadi jika AI digunakan untuk memperkuat pemikiran, bukan menggantikan pemikiran.
Kita berada pada titik kritis. Jika kita tidak berhati-hati, AI dapat menciptakan generasi yang tampak pintar tetapi tidak mampu berpikir mandiri, memecahkan masalah, atau menilai kebenaran. Di era misinformasi dan manipulasi digital, itu adalah risiko yang sangat berbahaya.
Tetapi jika kita berinvestasi pada pelatihan guru, mendesain tugas dengan benar, mengubah sistem evaluasi, dan membangun budaya berpikir, Indonesia dapat menjadi negara yang memanfaatkan AI untuk membangun generasi yang benar-benar cerdas yaitu generasi yang tidak hanya menghasilkan jawaban bagus, tetapi mampu menjelaskan, memikirkan ulang, dan menciptakan ide baru.
Pilihan itu ada di tangan kita. AI dapat membuat kita terlihat pintar dalam hitungan detik, tetapi membuat kita benar-benar pintar membutuhkan keputusan yang tepat, desain pembelajaran yang kuat, dan investasi serius pada manusia di balik teknologi. (Ant)
*Dr Aswin Rivai, Dosen FEB-UPN Veteran, Jakarta
