MATARAM, borneoreview.co – Libur akhir tahun selalu meninggalkan jejak yang khas di bandara. Pada pagi yang lembap di Lombok Tengah, antrean penumpang mengular sejak subuh.
Koper berwarna-warni bergerak pelan di atas troli, petugas bekerja dengan ritme cepat, dan pengumuman keberangkatan terdengar nyaris tanpa jeda.
Inilah potret paling nyata dari satu fenomena yang berulang setiap Desember. Tapi, kini hadir dengan skala dan kompleksitas yang semakin besar, yakni arus penerbangan yang melonjak tinggi.
Di Nusa Tenggara Barat (NTB), libur Natal 2025 dan Tahun Baru 2026 menegaskan bahwa bandara bukan lagi sekadar pintu masuk wisata. Melainkan simpul pelayanan publik yang menentukan kualitas pengalaman masyarakat.
Data resmi menunjukkan, arus penerbangan meningkat 35 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, dengan total 712 penerbangan dan lebih dari 60 ribu penumpang.
Angka ini bukan sekadar statistik musiman. Ia mencerminkan perubahan pola mobilitas, pergeseran fungsi bandara, serta tantangan baru pengelolaan transportasi udara di daerah kepulauan.
Lonjakan ini terjadi di tengah ekspansi konektivitas. Rute baru dibuka, frekuensi ditambah, dan bandara semakin diposisikan sebagai penggerak ekonomi.
Pertanyaan kuncinya bukan hanya seberapa banyak pesawat yang datang dan pergi, melainkan seberapa siap sistem pelayanan publik mengelola kepadatan, tanpa mengorbankan kenyamanan, keselamatan, dan keadilan akses bagi semua penumpang.
Lonjakan Penumpang
Kenaikan arus penerbangan sebesar 35 persen memperlihatkan dinamika yang menarik. Jumlah penerbangan tumbuh pesat, tetapi pertumbuhan penumpang berada pada kisaran tujuh hingga delapan persen.
Ini menandakan dua hal. Pertama, maskapai dan pengelola bandara lebih agresif menambah slot penerbangan untuk mengantisipasi lonjakan permintaan.
Kedua, tingkat keterisian kursi yang berada di rentang 63 hingga 70 persen menunjukkan strategi kehati-hatian agar layanan tetap berjalan stabil di tengah risiko cuaca dan kepadatan.
Puncak pergerakan terjadi pada rentang waktu yang hampir seragam setiap hari, yakni pagi dan sore.
Jam-jam ini menjadi periode kritis, bukan hanya bagi bandara, tetapi juga bagi ekosistem transportasi di sekitarnya.
Jalan akses menuju bandara padat, layanan transportasi lanjutan diuji, dan koordinasi antarinstansi harus berjalan presisi. Sedikit saja gangguan, antrean bisa memanjang dan ketegangan mudah muncul.

Fenomena ini menunjukkan bahwa arus penerbangan bukan peristiwa terpisah. Ia berkaitan erat dengan sistem transportasi darat, manajemen waktu, hingga kesiapan sumber daya manusia.
Dalam konteks NTB sebagai daerah tujuan wisata, sekaligus wilayah kepulauan, bandara memikul peran ganda, yakni melayani wisatawan dan memastikan mobilitas warga lokal tetap terjamin.
Di sinilah tantangan kekinian muncul. Mobilitas udara tidak lagi didominasi wisatawan, tetapi juga pelajar, pekerja, dan pelaku usaha.
Libur akhir tahun menjadi momentum pertemuan berbagai kepentingan.
Bandara harus melayani semuanya dengan standar yang sama, tanpa diskriminasi, tanpa kekacauan.
Risiko Kepadatan
Pembukaan rute-rute baru menuju Malang, Banyuwangi, Bali, hingga penguatan koneksi ke kawasan timur Indonesia mempertegas arah kebijakan konektivitas udara NTB.
Bandara Lombok kian diposisikan sebagai hub regional yang menghubungkan objek wisata, pusat pendidikan, dan jalur distribusi ekonomi.
Secara strategis, langkah ini patut diapresiasi. Konektivitas langsung memangkas waktu tempuh, menurunkan biaya perjalanan, dan memperluas pilihan masyarakat.
Hanya saja, di balik narasi positif itu, tersimpan risiko kepadatan yang perlu dikelola dengan cermat.
Lonjakan penerbangan tanpa diimbangi penguatan layanan darat, sistem antrean, dan manajemen bagasi berpotensi menurunkan kualitas pelayanan.
Kargo udara yang justru mengalami penurunan sekitar 14 persen memberi sinyal lain. Bandara semakin berat ke arah layanan penumpang, sementara fungsi logistik belum sepenuhnya pulih.
Ini penting dicermati karena keseimbangan antara penumpang dan kargo menentukan keberlanjutan ekonomi bandara. Terlalu bertumpu pada penumpang musiman membuat sistem rentan terhadap fluktuasi.
Kondisi ini juga menguji kesiapan manajemen krisis. Cuaca ekstrem, keterlambatan penerbangan, atau gangguan teknis bisa berdampak berantai pada jadwal dan emosi penumpang.
Di sinilah bandara diuji, bukan hanya sebagai infrastruktur fisik, tetapi sebagai institusi pelayanan publik yang harus mampu berkomunikasi dengan jelas, cepat, dan empatik.
Pengamanan yang melibatkan ribuan personel selama Operasi Lilin memperlihatkan keseriusan negara menjaga simpul transportasi. Meskipun demikian, pengamanan saja tidak cukup.
Pengalaman penumpang lebih banyak ditentukan oleh hal-hal kecil, seperti kejelasan informasi, kelancaran bagasi, ketersediaan transportasi lanjutan, dan keramahan layanan.
Menata Langit
Arus penerbangan akhir tahun seharusnya dibaca sebagai sinyal jangka panjang, bukan sekadar peristiwa tahunan.
Mobilitas udara di NTB akan terus meningkat seiring promosi pariwisata, pertumbuhan ekonomi, dan integrasi wilayah.
Karena itu, kebijakan tidak boleh berhenti pada penambahan rute dan frekuensi.
Hal yang dibutuhkan adalah penataan berkelanjutan.
Pertama, penguatan manajemen jam sibuk melalui pengaturan slot, distribusi jadwal, dan optimalisasi layanan digital agar antrean fisik berkurang.
Kedua, integrasi transportasi darat yang lebih rapi, sehingga bandara tidak menjadi titik kemacetan baru.
Ketiga, peningkatan literasi publik tentang waktu perjalanan dan kesiapan menghadapi lonjakan musim liburan.
Bandara juga perlu diposisikan sebagai ruang publik yang manusiawi. Di tengah kepadatan, rasa aman dan nyaman menjadi nilai utama.
Investasi pada sumber daya manusia, sistem informasi real-time, dan desain layanan ramah keluarga akan menentukan citra jangka panjang.
Libur akhir tahun akan selalu berlalu, namun kesan yang tertinggal di benak penumpang jauh lebih lama. Apakah bandara terasa tertib atau semrawut, bersahabat atau melelahkan.
Dari situlah reputasi daerah dibentuk, bukan hanya sebagai tujuan wisata, tetapi sebagai wilayah yang mampu mengelola mobilitas warganya dengan bermartabat.
Langit yang padat tidak harus identik dengan kekacauan. Dengan perencanaan matang, koordinasi kuat, dan orientasi pelayanan publik.
Arus penerbangan yang meningkat justru bisa menjadi bukti bahwa NTB sedang belajar menata pertumbuhan, bukan sekadar mengejarnya.
Pertanyaannya kini, apakah lonjakan ini akan diikuti pembenahan sistemik, atau kembali dibiarkan menjadi cerita musiman yang terulang setiap Desember.***
