Akhmad Munir, Ketua Umum PWI Harus Laksanakan Amanat Cikarang

Akhmad Munir Ketua Umum PWI

SURABAYA, borneoreview.co – Kongres Persatuan di Gedung BPPTIK Kementerian Komdigi Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat (30/8/2025).

Akhirnya, memilih Direktur Utama Perum LKBN ANTARA Akhmad Munir menjadi Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) periode 2025-2030.

Hasil pemungutan suara dari total 87 suara peserta memosisikan Akhmad Munir dengan perolehan 52 suara atau unggul 17 suara dari kandidat pesaing Hendry CH Bangun yang memperoleh total 35 suara.

Sementara itu, Atal S. Depari dipercaya kembali memimpin Dewan Kehormatan PWI dengan 44 suara, mengungguli Sihono HT yang mendapat 42 suara.

“Ini pemilihan yang demokratis, sportif, kemudian juga dengan semangat luar biasa dari kedua belah pihak untuk menyatukan lagi PWI. ,” kata Ketua PWI Provinsi Jawa Barat Hilman Hidayat di Cikarang tak lama setelah pemilihan selesai.

Siapapun yang menang, kita tidak ada lagi kubu-kubuan. Yang jelas hanya ada satu PWI.

Bagi jurnalis senior LKBN ANTARA, Boyke Soekapdjo, Akhmad Munir adalah orang ketujuh ANTARA menjadi ketua PWI dan yang pertama sejak pasca-Orde Baru, sehingga kepemimpinan ANTARA di PWI itu sangat historis.

“Sejak berdiri hingga awal Orde Baru, PWI selalu dipimpin insan ANTARA. Kongres pertama pada 1946, yang menghasilkan PWI, memilih Soemanang (pendiri ANTARA) sebagai ketua,” katanya.

Kongres kedua (1947) PWI pun memilih Oesmar Ismail, kemudian dikenal sebagai tokoh perfilman. Kongres ketiga (1949), Djawoto (pemimpin redaksi ANTARA terlama), bahkan terpilih kembali dalam kongres IV (1950) dan V (1951).

Kongres VI (1952), Tengkoe Sjahril (pernah menjadi pemeran), yang terpilih kembali dalam kongres VII (1953), VIII (1955) dan IX (1959). Ia menjadi ketua PWI terlama.

Kongres X (1961), Djawoto (kemudian menjadi dutabesar). Ia menjadi ketua PWI terlama kedua. Kongres XI (1963), Abdoel Karim Daeng Patombong, kemudian dicopot sebagai dampak peristiwa 1965.

Kongres XII (1965), Mahbub Djunaidi (kemudian dikenal sebagai kolumnis), yang terpilih kembali dalam kongres XIII (1968). Ia menjadi ketua PWI terlama ketiga.

Amanat Cikarang

Sebagai nakhoda baru, Akhmad Munir, dengan suaranya yang halus dan sikapnya yang santun, datang dengan misi menyatukan PWI yang terbelah itu.

Kemenangannya menjadi sinyal yang jelas dari akar rumput. Mereka butuh ketenangan, bukan lagi pertikaian. Mereka lelah dengan konflik.

Sejak awal, Munir memang mengusung semangat rekonsiliasi. Ia tahu, tugasnya tidak akan mudah.

Dualisme kepengurusan yang terjadi selama setahun terakhir bukan luka kecil, melainkan luka menganga. Perlu waktu, tenaga, dan kesabaran ekstra untuk menyembuhkannya.

Ya, Munir tidak bisa bersantai. Dia punya pekerjaan rumah yang diamanatkan dari Cikarang. Pertama, menyatukan kembali semua faksi. Berupaya merangkul yang kalah.

Membangun komunikasi dengan mereka yang sempat berbeda pandangan. Ini salah satu kunci. Tanpa persatuan, PWI tidak akan bisa bergerak maju.

Kedua, menguatkan eksistensi PWI di tengah disrupsi media. Munir sadar betul, industri media sedang berada di persimpangan jalan.

Teknologi yang makin masif membuat model bisnis konvensional goyah. PWI harus berinovasi, beradaptasi, dan memberi nilai tambah bagi para anggotanya.

“Kita harus membangun ekosistem media yang kuat dan sehat. Baik dari sisi konten, ruh jurnalisme, maupun dari sisi bisnis,” kata Munir dalam sambutan kemenangannya.

Tentu, amanat yang tidak ringan dalam kualitas SDM jurnalis (pelatihan, uji kompetensi), dan kerja sama dengan para pemangku kepentingan, yang semua itu bermuara pada kepentingan publik.

Kongres Cikarang adalah awal dari era baru PWI. Era dimana persatuan di atas segalanya.

Era dimana jurnalisme berkualitas menjadi prioritas. Era untuk mengembalikan marwah PWI.

Seusai terpilih memimpin organisasi profesi pers tersebut, Akhmad Munir menegaskan komitmen untuk mensolidkan PWI dengan lebih profesional dan modern.

“Kita akan bersama-sama memperkuat peran PWI dalam melindungi kebebasan pers sekaligus meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan wartawan,” kata Munir.

Di tempat yang sama, Atal S. Depari menambahkan kolaborasi erat antara organisasi pers (PWI), Dewan Pers, dan pemerintah (Komdigi) adalah kunci menjaga kualitas demokrasi, marwah pers, dan integritas wartawan.

Disrupsi Media

Saat ini, jurnalis tidak hanya dituntut menghasilkan konten/informasi yang menarik, namun juga tetap berpegang pada objektivitas/akurasi, kode etik, serta tanggung jawab publik.

Tantangan di era digital bukan hanya soal algoritma media sosial dan perkembangan Artificial Intelligence (AI) atau Akal Imitasi.

AI membuat masyarakat malas membaca media/media online, karena bisa langsung bertanya dan mendapatkan jawaban secara instan.

Era disrupsi media juga tantangan dalam persaingan konten, bahkan ada juga konten digital yang bisa berdampak munculnya polarisasi informasi yang dapat memicu perpecahan di masyarakat.

Contoh dari dampak polarisasi informasi yang memicu perpecahan adalah adanya aksi solidaritas untuk insiden 28-8-2025 yang menewaskan Affan Kurniawan.

Affan pemuda berusia 21 tahun, akibat dilindas oleh kendaraan taktis (rantis) Barracuda Brimob Polri di Jakarta, di tengah bentrok antara polisi dan massa demonstran.

Sebenarnya, Affan bukan bagian dari massa aksi yang memprotes lembaga legislatif (DPR) itu, namun takdir menjemput sang pengemudi ojek online (ojol) itu saat terjebak kemacetan di tengah aksi itu ketika mengantarkan order makanan.

Meski Affan sendiri bukanlah sosok yang selama ini terkenal, baik di dunia nyata maupun maya, namun kepergiannya begitu mengundang solidaritas dari kalangan ojol.

Para ojol yang melakukan doa bersama di sejumlah kantor kepolisian dan gedung pemerintahan, serta masjid.

Tidak ada perencanaan atau pengaturan dari keluarga dan teman-teman Affan, kecuali rekayasa Tuhan yang menggerakkan “koorlap” (koodinator lapangan) digital yang me-masif-kan aksi solidaritas dari akun ke akun digital lainnya secara “live” dengan sajian bukan hoaks/framing, atau deepfake/setting/editing/dubbing.

Namun, aksi solidaritas untuk Affan Kurniawan itu agaknya tidak bertahan seminggu, karena selang 2-3 hari sudah ada “penumpang gelap” yang memanfaatkan situasi.

Sehingga “koorlap” digital yang semula mendorong solidaritas digital pun berganti menjadi anarkisme digital yang sangat jahat karena dikendalikan “penumpang gelap” itu.

Aksi solidaritas yang bergeser menjadi anarkisme itu menyebabkan eskalasi situasi menjadi tidak terkendali dengan jahat.

Korban jiwa seperti dialami Affan juga bertambah hingga empat orang di Makassar yakni tiga staf DPRD Makassar dan satu orang dari massa.

Tentu, eskalasi situasi itu harus disikapi secara cepat dan hal itu sudah dilakukan Presiden Prabowo melalui pertemuan dengan tokoh 16 ormas, pimpinan TNI-Polri, pimpinan parpol. Kalau tidak cepat, apa yang terjadi di Marokko, Libya, Iraq, Syiria, dan kawasan Timur Tengah lainnya.

Eskalasi itu bisa meruntuhkan bangsa dan negara ini akibat anarkisme digital yang melihat perbedaan sebagai permusuhan.

Selain persatuan, disrupsi media inilah yang juga menjadi Amanat Cikarang bagi PWI 2025-2030 era Akhmad Munir.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *