Alasan Sampah Pakaian Berisiko Memunculkan Mikroplastik

Mikroplastik

JAKARTA, borneoreview.co – Pendiri dan Direktur Kreatif Sejauh Mata Memandang Chitra Subyakto membeberkan alasan sampah plastik dapat berisiko memunculkan mikroplastik yang berbahaya bagi keberlangsungan alam, iklim maupun kesehatan manusia.

“Sampah pakaian itu kan salah satu penyumbang polusi terbesar di dunia dan salah satunya bahannya mengandung mikroplastik,” kata Chitra saat ditemui ANTARA di Jakarta, Selasa (28/10/2025).

Menanggapi adanya hujan mikroplastik di Jakarta, Chitra mengatakan bahwa sampah pakaian banyak menggunakan bahan polyster. Bahan itu banyak dijadikan seperti pakaian olahraga atau piyama karena memiliki sifat tidak mudah lecak dan awet untuk digunakan.

Saat ini, sampah itu telah berserakan di beberapa titik seperti Tempat Pembuangan Akhir (TPA), sungai hingga laut. Mikroplastik yang keluar kemudian mencemari air dan biota laut yang hidup.

Menurutnya, situasi ini sangat mengkhawatirkan mengingat para ahli telah menyatakan bahwa mikroplastik berkaitan dengan penurunan imunitas tubuh hingga kanker.

“Banyak sekali efek atau dampak dari pakaian polyester ini dan kita sebagai masyarakat harus peduli dan paham akan dampak dari benda-benda yang kita konsumsi dan kita pakai,” katanya.

Maka dari itu, ia mengajak agar masyarakat lebih peduli terhadap bahan pakaian atau kain yang digunakan dalam aktivitas sehari-hari. Salah satu caranya yakni dengan membaca dan mencari informasi lebih lanjut terkait dengan jenis kain yang akan dipakai.

Masyarakat juga diminta agar tidak terburu-buru dalam membuang pakaian. Ia menilai akan jauh lebih baik jika barang-barang itu dirawat dengan baik atau diolah menjadi produk yang menarik untuk dipakai kembali, misalnya dijadikan tas ataupun sarung bantal.

Industri fesyen, katanya, saat ini juga tengah berfokus pada keberlanjutan lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari proses pengolahan limbah pakaian yang melalui proses cukup panjang.

Sejauh Mata Memandang telah menjalin kerja sama dengan Ecotouch di Bandung, Jawa Barat, untuk melakukan proses pemotongan kain, pencopotan kancing, ritsleting sampai dengan menjadikan sampah itu sebagai benang yang siap pakai.

“Kita berusaha bagaimana prosesnya panjang, bukan daur ulang, bukan proses yang terbaik, tapi harus dilakukan karena sampah pakaian itu terlalu banyak menumpuk di TPA, TPS, sungai, dan laut,” katanya.

Chitra mengingatkan bahwa masalah mikroplastik dapat memengaruhi kehidupan 8 miliar manusia yang hidup di bumi. Dengan demikian, setiap pihak diminta agar tidak abai dan mulai meningkatkan kepedulian pada lingkungan sekitar.

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Muhammad Reza Cordova sebelumnya menyampaikan bahwa penelitian yang dilakukan sejak 2022 menunjukkan adanya mikroplastik dalam setiap sampel air hujan di Jakarta.

“Mikroplastik ini berasal dari serat sintetis pakaian, debu kendaraan dan ban, sisa pembakaran sampah plastik, serta degradasi plastik di ruang terbuka. Yang beracun bukan air hujannya, tetapi partikel mikroplastik di dalamnya karena mengandung bahan kimia aditif atau menyerap polutan lain,” ia menjelaskan.

Peneliti menemukan rata-rata 15 partikel mikroplastik per meter persegi area per hari pada sampel air hujan di kawasan pesisir Jakarta.

Menurut Reza, ini ini terjadi karena siklus plastik kini telah menjangkau atmosfer.​​​​​​ Mikroplastik yang terbawa angin turun kembali bersama air hujan. Guna menekan polusi mikroplastik dan risiko paparannya, penggunaan produk plastik harus diminimalkan. (Ant)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *