Anomali Produksi dan Harga Beras

Pekerja Bongkar Beras

JAKARTA, borneoreview.co – Beberapa minggu terakhir pemerintah disibukkan dengan pergerakan harga beras medium yang melambung melebihi batas toleransi.

Ada yang menyebut fenomena ini anomali, karena produksi 2025 naik lebih tinggi 50 persen dibandingkan 2024 dan cadangan beras Bulog mencapai 4 juta ton yang diklaim sebagai rekor tertinggi sejak Indonesia berdiri.

Untuk membahas fenomena kenaikan harga beras medium, maka harus dicatat dua hal. Pertama, perilaku (behavior) harga beras tidak hanya ditentukan produksi dan cadangan beras pemerintah. Kedua, faktor determinan penentu harga beras sangat komplek dan dinamis menurut ruang dan waktu.

Implikasinya, setiap wilayah dan setiap saat, pasokan dan harga beras medium bisa berfluktuasi tergantung kondisi setempat dan pasokan dari wilayah sekitarnya.

Sekalipun produksi nasional meningkat signifikan, tetapi jika terakumulasi pada periode singkat, dan hanya pada beberapa tempat.

Maka, saat periode paceklik (puncak tanam dan puncak musim wilayah), dipastikan harga beras terdongkrak secara alamiah.

Pemerintah menengarai peningkatan harga beras medium saat ini karena adanya peran middle man atau yang seringkali dikenal sebagai mafia beras.

Benarkah middle man sekuat itu, sehingga mampu mengguncang dan mendistorsi harga beras nasional saat panen raya dan cadangan beras nasional tertinggi sepanjang sejarah?

Jawabannya, pertama peran middle man memang kuat, karena beberapa swasta menguasai industri padi dari on farm, hilir, dan pemasaran yang dimungkinkan secara legal.

Kedua, pemerintah tidak cukup kuat perannya dalam distribusi dan kontrol cadangan beras. Padahal, undang-undang mewajibkan pemilik gudang melaporkan stok sehingga pemerintah punya data real time stok pangan terutama beras.

Jika penyebab pertama dan kedua terjadi simultan, maka fluktuasi harga beras dipastikan akan terjadi. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana dinamika kuantitatifnya di lapangan?

Dinamika Harga Heras

Mari melihat dinamika harga beras medium dan premium selama periode April hingga Juni 2025.

Data terkini menunjukkan bahwa harga beras medium di tingkat nasional mencapai Rp13.943 per kilogram, sementara beras premium berada di level Rp15.748.

Selama tiga bulan terakhir, harga beras medium berfluktuasi antara Rp13.663 hingga Rp14.066, sementara beras premium bergerak antara Rp15.533 hingga Rp15.847.

Selisih harga antara beras premium dan medium konsisten sekitar 13 persen, menunjukkan bahwa pola pergerakan kedua jenis beras ini.

Juga relatif serupa, menunjukkan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi harga beras secara umum, terlepas dari kualitasnya.

Sementara itu, dalam rentang waktu lama, berdasarkan data series harga beras BPS periode 2020-2024, menunjukkan beberapa hal.

Harga beras medium terus meningkat setiap tahun, sekalipun pemerintah menetapkan harga pokok beras medium dan premium.

Kenaikan harga berpola, periodik, berulang terutama pada periode musim kering maupun saat puncak tanam.

Kenaikan harga beras yang berulang menunjukkan bahwa bangsa Indonesia belum menyelesaikan masalah fundamental harga beras.

Berdasarkan hasil analisis data dan pengamatan lapangan fluktuasi harga beras diduga disebabkan oleh distribusi, dan pasokan di sisi pasar.

Terjadinya penurunan produktivitas lahan dan konversi lahan pertanian, serta kekeringan akibat el nino kuat tahun 2024, terbukti mampu mendestruksi kapasitas produksi.

Selain itu, siklus panen yang menciptakan fluktuasi pasokan, sehingga effek sisanya (residual effect) masih terasa terhadap peningkatan harga beras saat ini.

Aspek distribusi terutama biaya logistik yang tinggi, rantai pasok yang panjang dengan banyak perantara (middle man), dan infrastruktur penyimpanan yang terbatas, menyebabkan harga beras rentan mengalami guncangan.

Dari sisi pasar, spekulasi pedagang sering terjadi ketika pasokan terbatas, disparitas harga antar wilayah yang signifikan, dan informasi pasar yang asimetris yang menguntungkan pihak tertentu.

Penting untuk dipahami bahwa masalah harga beras bukan hanya tentang produksi, tetapi juga soal efisiensi rantai pasok dan dinamika pasar.

Midle man atau mafia beras ini berperan signifikan mengendalikan harga di sepanjang waktu, saat panen raya, sehingga harga gabah dapat jauh di bawah HPP.

Beruntung pemerintah melalui Bulog mengambil kebijakan yang luar biasa dengan membeli gabah tanpa rafaksi (pemotongan karena mutu yang lebih rendah dari standar).

Ketika puncak musim tanam dan puncak musim kemarau, dipastikan luas panen berada titik terendah, periode tersebut merupakan kondisi ideal para pemburu rente (middle man) mengeruk keuntungan dengan mendongkrak harga beras.

Surplus produksi beras nasional yang relatif tipis dan tidak merata antar wilayah dan waktu, membuka peluang para pemburu rente mengambil keuntungan.

Saat itu konsumen termasuk petani tidak berdaya menghadapi gejolak harga beras, karena net consumer dan pasokan beras hanya dikuasai middle man dan pemerintah.

Analisis deret waktu harga beras medium
Analisis deret waktu dari harga beras medium selama lima tahun terakhir (2020-2025) mengungkapkan pola siklik yang konsisten. Terdapat dua periode kenaikan harga yang berulang pada Februari-Maret dan September-Oktober.

Pola ini konsisten muncul hampir setiap tahun, dengan lonjakan harga tertinggi terjadi pada Februari 2021 dan Oktober 2024, di mana kenaikan month-on-month mencapai lebih dari 5 persen.

Fenomena ini berhubungan dengan siklus panen, Februari-Maret bertepatan dengan masa transisi antara musim paceklik ke panen raya, sedangkan September-Oktober merupakan periode ketika stok mulai menipis.

Namun, pada 2025, di luar periode di atas gejolak harga beras terjadi juga pada Juni-Juli.

Artinya kenaikan produksi padi 50 persen dibandingkan 2024 tidak cukup energinya untuk menyangga gejolak harga beras. Masih diperlukan penguatan variabel lain untuk mengamankan gejolak harga beras.

Pemahaman akan pola siklik ini sangat penting dalam merencanakan intervensi untuk stabilisasi harga. Begini ilustrasi kuantitatifnya.

Paradoks menarik dalam ekonomi beras Indonesia, meskipun produksi beras mencapai level tertinggi pada tahun 2023 (31,1 juta ton), indeks volatilitas harga justru meningkat 1,8 kali lipat dibandingkan tahun 2019.

Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan produksi saja tidak cukup untuk menstabilkan harga beras.

Fenomena ini menunjukkan kompleksitas rantai nilai beras, di mana faktor-faktor non-produksi seperti distribusi, penyimpanan, informasi pasar, dan spekulasi pedagang berperan penting dalam pembentukan harga.

Kesenjangan ini menjadi bukti bahwa kebijakan stabilisasi harga perlu mengadopsi pendekatan komprehensif yang melampaui sekedar peningkatan produksi.

Solusi Harga

Bagaimana solusinya agar masalah fluktuasi harga beras termitigasi agar rakyat miskin, tidak berdaya semakin tidak berdaya, sudah jatuh masih harus tertimpa tangga.

Solusi stabilisasi pasokan dan harga beras
Untuk mengatasi fluktuasi harga beras dalam jangka pendek, ada empat strategi utama.

Pertama, Operasi Pasar dengan penjualan beras terkendali di lebih dari 500 titik pasar tradisional dengan target 50 ribu ton per bulan.

Kedua, peningkatan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) sampai 5 juta ton dan terdistribusi terutama di daerah rentan harga beras agar intervensi strategis selama periode fluktuasi lebih cepat dan murah.

Ketiga, Program Bantuan Pangan berupa subsidi langsung senilai Rp300 ribu per bulan untuk 21,4 juta keluarga penerima manfaat.

Keempat, sistem Monitoring Harian harga beras di 188 kabupaten/kota melalui Platform Panel Harga Digital untuk deteksi dini dan respons cepat.

Pendekatan multi-instrumen ini dirancang untuk meredam gejolak harga jangka pendek sambil pemerintah menyiapkan solusi struktural jangka panjang.

Pada akhirnya dapat ditarik tiga pemahaman penting. Pertama, produksi beras yang tinggi tidak otomatis menjamin stabilitas harga karena kompleksitas faktor distribusi dan pasar.

Kedua, fluktuasi harga beras bersifat siklik dan dapat diprediksi sehingga membuka peluang untuk intervensi yang terencana.

Ketiga, diperlukan kombinasi solusi jangka pendek dan struktural untuk menciptakan ekosistem beras yang stabil dan terjangkau.

Berdasarkan matriks dampak versus kelayakan, penulis merekomendasikan prioritas pada “Quick Wins” seperti operasi pasar terjadwal, peningkatan stok CBP, dan monitoring harga harian untuk dampak segera.

Seraya secara paralel membangun fondasi jangka panjang melalui modernisasi varietas, infrastruktur penyimpanan, dan platform digital.

Untuk mengatasi masalah struktural dalam produksi dan distribusi beras, paling tidak ada empat strategi jangka panjang.

Pertama, modernisasi varietas melalui pengembangan benih padi unggul yang dapat meningkatkan produktivitas 15-20 persen dan diimplementasikan pada wilayah dengan produktivitas kurang dari 3 ton/hektar.

Kedua, pengurangan losses 5-8 persen saat panen. Ketiga, infrastruktur penyimpanan dengan pembangunan 150 silo modern berkapasitas total 1,5 juta ton dan pengembangan sistem cold-chain untuk distribusi.

Keempat, platform digital yang mencakup sistem informasi harga real-time, marketplace B2B, dan analitik big data untuk prediksi harga dan produksi. Kelima, strategi ini terintegrasi dalam roadmap transformasi pertanian 2025-2030.

*) Penulis adalah Analis Kebijakan Ahli Utama, Kementan; Peneliti/Analis Aliansi Peneliti Pertanian Indonesia (APPERTANI); dan Peneliti BRIN).

Oleh Gatot Irianto, Muhrizal Sarwani, dan Destika C.*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *