Apa Itu Koperasi Desa Merah Putih, Sintang Kabut Usaha: HUB Merah Putih di Tengah Tekanan Pasar

Koperasi Desa

SINTANG, borneoreview.co – Kabut turun lebih awal di Kelam Permai. Seperti peringatan. Seperti masa depan datang terlalu cepat. Jalan setapak menuju Resto Café Jembatan Merah terasa sunyi, meski suara kendaraan hilir-mudik di kejauhan. Sunyi itu menempel pada dinding, pada meja, pada setiap wajah pengurus Koperasi Desa Merah Putih.

Di ruangan kecil, Asisten Deputi Akselerasi Jaringan Usaha Kemenkop, Cecep Setyawan, berdiri. Tubuhnya tegap. Ucapannya pelan. Nada suaranya datar, seolah membaca firasat masa depan ekonomi desa.

“Perubahan tidak bisa ditunda,” ucapanya sebagaiman ditulis Jumat, 28 November 2015. Kalimat itu terdengar seperti musim hujan pertama setelah kemarau panjang. Tidak keras. Namun memukul dada.

Di luar jendela, cahaya pagi terhalang awan. Negara mendorong percepatan. Dua instruksi presiden Inpres 9/2025 serta Inpres 17/2025 menjadi tanda. Koperasi diminta bergerak, masuk ke ekosistem modern, memutus batas desa-kota, keluar dari pola lama.

Cecep Setyawan menyebut HUB Sekunder KDKMP sebagai pusat kolaborasi, pusat agregasi, pusat percepatan.

Tiga istilah seperti tiga batu pijakan di tengah sungai deras. Ia menjelaskan fungsi HUB  menyatukan koperasi primer, memotong rantai pasok, menghubungkan petani ke pasar kota, dan  mempertemukan UMKM dengan modal.

Tapi di balik kalimat itu, ada kegelisahan. Kegelisahan lama. Kegelisahan desa-desa di Sintang, tempat lebih dari 62% penduduk hidup dari pertanian.

Pertanian di Kabupaten Sintang Kalimantan Barat tak pernah benar-benar stabil. Harga gabah naik dua kali setahun, turun tiga kali sebulan.

Kebun kelapa sawit rakyat tergantung kebijakan pabrik. Lada jatuh karena pasar luar negeri sepi pembeli. Madu hutan terkena musim panjang tanpa bunga.

Data BPS 2025 mencatat kontribusi koperasi terhadap PDRB Sintang masih 2,8 persen. Angka kecil. Seperti lilin di tengah angin.

Sebagian besar koperasi masih memakai buku tulis. Sebagian tidak punya akses internet. Sebagian tidak punya listrik stabil.

Riset Pusat Kajian Koperasi Indonesia, 2024, 66 persen koperasi desa belum masuk digitalisasi.

Pada saat sama, perdagangan digital nasional melonjak 12,9 triliun rupiah per hari sepanjang 2025. Ada dua dunia berjalan. Satu sangat cepat. Satu terseret napas harian.

Beban Lebih Besar

Staf Ahli Bupati Sintang Bidang Perekonomian, Helmi, berdiri di kursi belakang. Ia membuka buku kecil, mencatat sesuatu, lalu menatap seluruh peserta.

“Koperasi harus berani berubah,” kata Helmi. Nada suaranya tegas, namun matanya seperti menyimpan beban jauh lebih besar.

Dia menyebut HUB sebagai simpul baru. Sebuah pusat distribusi, pusat pelatihan, pusat pemasaran, pusat produksi, pusat inovasi. Empat kata besar. Empat beban besar.

Koperasi Merah Putih

Kegiatan Sosialisasi Pengembangan Jaringan Usaha KDKMP Sekunder, Jumat (28/11/2025) di Cafe Jembatan Merah. (borneoreview/Istimewa)

“Koperasi kuat berarti ekonomi rakyat kuat,” ucapnya. Kalimat sederhana.
Kalimat rapuh. Kalimat penuh harap.

Sintang bukan kota besar. Jarak desa terpencil ke pusat kabupaten bisa memakan empat jam, lima jam, bahkan lebih.

Jalan tanah bisa berubah menjadi lumpur dalam hujan lima menit. Distribusi bisa terhenti tanpa pemberitahuan. Barang rusak sebelum tiba.

Dalam kondisi itu, konsep HUB terasa seperti mercusuar di laut gelap. Terlihat.
Namun jauh.

Namun Asisten Deputi Akselerasi Jaringan Usaha Kemenkop, Cecep Setyawan tetap percaya ada perubahan nyata.

“HUB bukan proyek. Ini jalan panjang,” kata Cecep Setyawan menjelaskan.

Jalan panjang dengan batu licin, tikungan tajam, dan cuaca tak menentu. Di sela diskusi, beberapa pengurus menceritakan hal kecil, hal remeh, namun menyakitkan.

Seorang petani karet dari Dedai mengeluh harga jual turun dua minggu berturut-turut.

Seorang pengrajin rotan dari Sepauk menyebut bahan baku makin sulit. Seorang ibu pemilik usaha keripik pisang mengatakan ongkos kirim lebih mahal dari laba.

Data nasional mendukung keluhan itu. Menurut survei Kemenkop UKM 2025, 33 persen koperasi desa berada pada ambang stagnasi.

Lebih dari 12 ribu koperasi berstatus tidak aktif. 30 ribu sudah bubar dalam dekade terakhir.

Angka-angka itu seperti batu nisan. Namun di sela gelap, tetap ada cahaya kecil.
Cahaya bandel. Cahaya keras kepala.

Seorang pengurus KDKMP berkata lirih, “Kami cuma ingin berdiri. Tidak harus besar.” Kalimat itu terdengar seperti doa.

Helmi menambahkan, “Desa punya tenaga. Perlu arah. Perlu jembatan.” Jembatan itu bernama HUB.

Di ruangan cafe, suara mesin pendingin ruangan terdengar samar. Para peserta terdiam. Tidak ada tepuk tangan. Tidak ada sorak. Hanya diam. Diam panjang seperti menunggu hujan turun.

Sesi diskusi berlangsung lebih lama dari jadwal. Pertanyaan datang seperti aliran sungai modal, distribusi, teknologi, pelatihan, branding, pasar.

Tidak semua terjawab. Tidak semua bisa terjawab. Tidak ada jalan singkat. Kalimat seperti batu kecil jatuh ke lantai.

Saat acara usai, kabut Kelam Permai turun lagi. Menyentuh bahu para peserta. Menutup langkah mereka saat menuju jalan pulang.

Namun di balik kabut itu ada sesuatu tersembunyi. Kehendak untuk bertahan.
Kekuatan kecil. Kekuatan sunyi.

Koperasi Merah Putih belum besar. Belum kuat. Belum stabil. Namun tetap hidup.
Tetap bergerak.

Tetap menyalakan api kecil di tengah rimba ekonomi modern. Mungkin lambat.
Mungkin terseret cuaca. Namun tetap ada harap. Harap bahwa desa tidak hilang dari peta.

Harap bahwa ekonomi rakyat bisa bertahan dari badai digital. Harap bahwa koperasi tidak mati sebelum musim baru tiba.

Di dunia serba cepat, harap kecil sering terasa paling jujur. Di Kabupaten Sintang, harap kecil itu masih menyala.

Meski nyalanya tipis. Meski cahayanya rapuh. Meski jalan panjang masih gelap tetap ada asa harapan menanjak ekonomi kerakyatan.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *