PONTIANAK, borneoreview.co – Kelapa sawit sering menjadi sorotan publik sebagai penyebab deforestasi besar-besaran di Indonesia. Namun, benarkah sawit sepenuhnya mengganti hutan? Berikut fakta dan data yang perlu kamu ketahui untuk memahami peran sawit dalam deforestasi secara lebih berimbang.
Data menunjukkan luas perkebunan sawit di Indonesia mencapai sekitar 14,9 juta hektare hingga 2020, sementara luas deforestasi secara keseluruhan mencapai 106,2 juta hektare. Artinya, sawit hanya menyumbang sekitar 14% dari total deforestasi, sisanya digunakan untuk pertanian lain, pemukiman, dan infrastruktur.
Studi dari PASPI juga menunjukkan bahwa sekitar 98,6% perkebunan sawit di Indonesia justru berdiri di atas lahan terdegradasi seperti semak belukar atau lahan bekas HPH, bukan hutan primer. Namun demikian, catatan lain menyebutkan bahwa dari 6,6 juta hektare ekspansi sawit antara 2001-2023, sekitar 33% memang berasal dari hutan primer.
Indonesia pernah mengalami puncak deforestasi untuk sawit pada periode 2008-2012 dengan rata-rata 310 ribu hektare per tahun. Namun, tren ini menurun drastis menjadi sekitar 45 ribu hektare per tahun pada periode 2018-2020, seiring adanya moratorium izin baru perkebunan sawit, kebijakan pencegahan kebakaran hutan, serta upaya rehabilitasi gambut.
Tren deforestasi hutan primer secara keseluruhan juga menurun signifikan hingga 64% antara 2020-2022, menunjukkan adanya perbaikan pengelolaan lahan.
Walaupun kontribusi sawit terhadap deforestasi menurun, bukan berarti risiko telah hilang. Diperkirakan masih terdapat 2,4 juta hektare hutan primer dalam konsesi perkebunan sawit, yang dapat menjadi potensi ancaman bila lahan tersebut dibuka.
Selain itu, ekspansi sawit di lahan gambut menyebabkan pelepasan emisi karbon dalam jumlah besar, dengan kontribusi hingga 27,9% emisi gas rumah kaca di Indonesia dan Malaysia. Pembukaan lahan sawit juga mengancam keanekaragaman hayati, termasuk habitat orangutan, harimau, dan gajah.
Untuk mengatasi isu lingkungan, Indonesia menerapkan sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) dan dorongan sertifikasi RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) untuk perkebunan sawit berkelanjutan. Namun, penerapan di lapangan masih menghadapi tantangan, terutama pada perkebunan sawit skala kecil dan petani mandiri.
Selain itu, regulasi deforestasi Uni Eropa (EU Deforestation Regulation) menjadi tekanan global agar produksi sawit benar-benar memenuhi standar bebas deforestasi dan transparan.
Sawit memang berkontribusi pada deforestasi, tetapi tidak sepenuhnya menggantikan hutan, karena sebagian besar lahan sawit berasal dari lahan terdegradasi. Tren deforestasi akibat sawit juga menunjukkan penurunan, namun potensi risiko masih ada terutama pada lahan hutan primer di konsesi sawit serta ekspansi ilegal yang masih terjadi.
Ke depan, keberhasilan Indonesia dalam menyeimbangkan produktivitas sawit dengan keberlanjutan lingkungan akan sangat bergantung pada penerapan kebijakan tegas, pemantauan transparan, dan dukungan konsumen terhadap produk sawit berkelanjutan.***