Site icon Borneo Review

Atap Sirap: Peneduh Rumah Tropis dari Lembaran Tipis Kayu Belian

Atap SIrap

Atap sirap dari dari kayu belian atau ulin. (Ist)

PONTIANAK, borneoreview.co – Hingga awal 1980-an, rumah-rumah di kampong halamanku atapnya masih didominasi oleh atap dari sirap kayu belian (Eusideroxylon zwageri).

Pada masa itu, ketersediaannya masih berlimpah dan harganya juga terjangkau. Kayu belian atau dikenal pula sebagai kayu besi atau kayu ulin, saat itu masih diperbolehkan diekstraksi secara bebas.

Sejak 2006, pemanfaatan kayu belian dilakukan pembatasan oleh aturan pemerintah propinsi dan hanya diperuntuk bagi kebutuhan lokal semata.

Tak boleh kayu jenis ini dan produk turunannya, termasuk atap sirapnya, diperjualbelikan lintas propinsi atau diperdagangkan ke luar pulau.

Atap sirap dibuat dengan cara membelah-belah kayu menjadi lembaran-lembaran yang mempunyai panjang antara 40-60 cm dan lebar 5-10 cm, dengan ketebalan 3-5 mm.

Atap ini cukup ringan dan mampu mengisolasi panas, biasanya berwarna coklat tua saat awalnya dan kemudian semakin lama akan berubah menjadi semakin menghitam.

Butuh keahlian khusus dan waktu kerja yang lama untuk memasang lembar-lembar atap sirap, tak heran biasanya harga pemasangannya lebih mahal dibandingkan pemasangan atap dari bahan lainnya.

Untuk menghindarinya melengkung beberapa saat setelah dipasang, harus dipastikan lembar-lembar atap yang akan dipasang telah dalam kondisi yang kering.

Akibat sulitnya memperoleh atap sirap belian, mulai pada pertengahan 1980-an, banyak bangunan yang kemudian berganti menggunakan atap seng.

Ada yang mengganti seluruhnya, namun banyak pula yang menimpa atap sirap yang ada dengan atap seng. Tujuan mempertahankan atap sirap.

Tentu saja, agar tetap dapat mempertahankan kemampuan isolatif panas, sehingga bagian dalam rumah tak menjadi panas, seperti jika seluruhnya dibongkar dan diganti atap seng.

Mengenang urusan atap di kampong halaman ini, aku jadi teringat sebuah gurauan bersama beberapa teman yang bekerja di birokrasi kota.

Saat itu, ada seorang di antara mereka yang membahas rekan-rekan sejawatnya, ia terkenal penyakat (punya hobi ngeledek atau menganggu teman). Tim kerjanya yang berempat dikatakannya bak kondisi atap rumah di kota ini.

Seorang yang rambutnya masih hitam mengkilat dijulukinya rumah beratap sirap. Seorang yang lain karena telah memutih disebutnya beratap seng. Dirinya sendiri yang sebagian rambutnya telah beruban disebutnya atap campuran sirap dan seng.

Terus kutanya bagaimana sejawatnya yang satu lagi. Ia pun dengan enteng menjawab kalau sejawatnya tu bak rumah dengan atap bocor, sambil tertawa terkekeh-kekeh dan berlalu.

Sementara, sejawatnya yang rambutnya telah botak di bagian depannya, hanya bisa mesem-mesem sambil mengeluarkan sumpah serapah.***

Penulis: Dr Pahrian Siregar (Alm)

Exit mobile version