PONTIANAK, borneoreview.co – Angka kematian ibu selama dan setelah kehamilan atau persalinan masih tinggi. Dan, hal ini masih menjadi pekerjaan rumah yang tidak gampang.
Meski di beberapa tempat seperti Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, menyebut angka kematian ibu saat melahirkan mulai berkurang, tapi secara global angkanya masih menjadi momok.
Melansir berbagai sumber, Senin (5/5/2025), WHO menyebut sekitar 260000 wanita meninggal selama dan setelah kehamilan dan persalinan pada 2023.
Sekitar 92% dari semua kematian ibu terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah dan sebagian besar sebenarnya dapat dicegah.
Dengan kata lain, WHO mencatat setiap hari di tahun 2023, lebih dari 700 wanita meninggal karena penyebab yang dapat dicegah terkait kehamilan dan persalinan.
Lalu, kenapa kematian itu masih menjadi momok?
Fakta menjawab, ibu meninggal akibat komplikasi selama dan setelah kehamilan dan persalinan.
Sebagian besar komplikasi ini berkembang selama kehamilan dan sebagian besar dapat dicegah atau diobati.
Komplikasi lain mungkin ada sebelum kehamilan tetapi memburuk selama kehamilan, terutama jika tidak ditangani sebagai bagian dari perawatan wanita.
Komplikasi utama yang menyebabkan sekitar 75% dari semua kematian ibu adalah:
1. Pendarahan hebat (kebanyakan pendarahan setelah melahirkan).
2. Infeksi (biasanya setelah melahirkan)
tekanan darah tinggi selama kehamilan (preeklamsia dan eklamsia).
3. komplikasi dari persalinan.
4. Aborsi yang tidak aman.
Yang jelas, tingginya angka kematian ibu di beberapa wilayah di dunia mencerminkan ketimpangan dalam akses ke layanan kesehatan yang bermutu dan menyoroti kesenjangan antara orang kaya dan miskin.
Angka kematian ibu di negara-negara berpendapatan rendah pada 2023 adalah 346 per 100000 kelahiran hidup dibandingkan dengan 10 per 100000 kelahiran hidup di negara-negara berpendapatan tinggi.
Artinya, di sebagian besar negara berpendapatan tinggi dan menengah ke atas, sekitar 99% dari semua kelahiran ditolong oleh bidan, dokter, atau perawat yang terlatih.
Namun, hanya 73% di negara berpendapatan rendah dan 84% di negara berpendapatan menengah ke bawah yang ditolong oleh tenaga kesehatan terampil tersebut.***