Site icon Borneo Review

Badan Karantina Tumbuhan Ajak Geser Stigma Negatif Sawit

Kelapa sawit

Kegiatan Indonesian Palm Oil Smallholder Conference and Expo (IPOSC) ke-5 yang berlangsung di Kubu Raya, Rabu (24/9/2025). (borneoreview/ANTARA)

PONTIANAK, borneoreview.co – Deputi Bidang Karantina Tumbuhan Badan Karantina Indonesia, Bambang MM menegaskan pentingnya menggeser stigma negatif tentang kelapa sawit dengan membangun persepsi publik yang benar mengenai peran strategis komoditas tersebut.

“Kelapa sawit sering diserang dengan stigma negatif, padahal sawit adalah tanaman paling produktif menghasilkan minyak dan energi, bahkan, sawit menjadi penyelamat hutan tropis dunia ketika energi fosil habis. Oleh karena itu, kita harus kompak membela kepentingan nasional dan meyakinkan dunia bahwa kelapa sawit penting,” kata Bambang dalam kegiatan Indonesian Palm Oil Smallholder Conference and Expo (IPOSC) ke-5 yang berlangsung di Kubu Raya, Rabu (24/9/2025).

Menurutnya, kelapa sawit merupakan salah satu tanaman paling produktif yang mampu menghasilkan minyak dan energi, sekaligus berperan dalam konservasi lingkungan.

Ia menekankan, media memiliki peran sentral dalam membangun opini publik agar masyarakat, baik nasional maupun internasional, memahami manfaat besar sawit.

“Suara kebaikan perlu dipublikasikan agar masyarakat dunia sadar bahwa sawit memberi manfaat besar bagi kesejahteraan rakyat,” tuturnya.

Sementara itu, Ketua Panitia IPOSC ke-5, Mansuetus Darto, mengingatkan bahwa nasib petani sawit hingga kini masih belum jelas, meski Hari Tani telah ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) tahun 1963. Ketua Umum Perkumpulan Forum Petani Kelapa Sawit Jaya Indonesia (POPSI) itu menyoroti persoalan penyitaan lahan di kawasan hutan yang kerap dilakukan tanpa mekanisme dialog dengan petani.

“Perjuangan petani belum selesai, terutama mereka yang lahannya masuk dalam kawasan hutan sehingga pemerintah perlu membangun dialog dengan petani sawit agar penyitaan dan penyelesaian lahan bisa lebih adil dan tidak merugikan masyarakat. Nasionalisasi berbasis BUMN tanpa melibatkan petani merupakan strategi struktural yang memiskinkan,” katanya.

Adapun Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Kalimantan Barat, Heronimus Hero, menjelaskan bahwa subsektor perkebunan, khususnya kelapa sawit, memberi kontribusi besar terhadap perekonomian daerah.

Dari total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kalbar, sektor pertanian menyumbang sekitar 32 persen, dengan 20 persen berasal dari perkebunan dan 12 persen dari industri pengolahan berbasis sawit.

“Sekitar 30 sampai 40 persen masyarakat Kalbar menggantungkan hidup dari sawit. Saat ini tercatat 368 perusahaan berinvestasi di sawit dengan konsesi sekitar 3 juta hektare. Namun baru 1,7 juta hektare yang tertanam, sehingga konsesi yang ada perlu dievaluasi agar optimal,” jelasnya.

Hero menambahkan, program peremajaan sawit rakyat (replanting) di Kalbar sudah mencapai 24 ribu hektare dengan nilai bantuan sekitar Rp600 miliar dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Program itu, lanjutnya, sangat membantu pekebun mandiri, terutama yang sawitnya sudah tidak produktif.

“Selain itu, program sarana prasarana dan beasiswa juga mendukung peningkatan kapasitas SDM sawit di Kalbar,” katanya.

Ia juga menyoroti tantangan global, termasuk regulasi Uni Eropa terkait deforestasi, serta keterbatasan pupuk subsidi yang masih lebih difokuskan pada tanaman pangan. Meski demikian, ia tetap optimistis forum ini dapat menghasilkan kebijakan yang memperkuat kelembagaan petani sawit.

“Kami berharap pertemuan ini memberi pemahaman dan pendekatan baru dalam menangani permasalahan perkebunan, serta meningkatkan kerja sama antara seluruh pemangku kepentingan untuk pembangunan sawit berkelanjutan di Indonesia maupun di Kalimantan Barat,” kata Hero. (Ant)

Exit mobile version