Bagaimana Politik Lokal Mempengaruhi Izin Perkebunan Sawit

PONTIANAK, borneoreview.co – Perkebunan kelapa sawit telah menjadi tulang punggung ekspor dan pembangunan ekonomi daerah di Indonesia. Namun, di balik geliat pertumbuhan ini, terdapat persoalan krusial yang sering luput dari perhatian publik: peran politik lokal dalam proses perizinan lahan sawit. Politik lokal tidak hanya menjadi penggerak pembangunan, tetapi juga aktor kunci yang kerap menentukan arah dan kecepatan ekspansi industri sawit, seringkali dengan mengabaikan aspek keberlanjutan dan keadilan sosial.

Sejak reformasi 1999, Indonesia mendorong desentralisasi kewenangan, termasuk dalam hal perizinan usaha perkebunan. Bupati dan gubernur diberikan kewenangan luas untuk menerbitkan Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan mengalokasikan lahan untuk perusahaan swasta. Hal ini seharusnya mempercepat pertumbuhan ekonomi lokal. Namun, dalam praktiknya, desentralisasi ini membuka ruang bagi kolusi dan politik balas budi.

Di banyak wilayah seperti Riau, Kalimantan Barat, dan Sumatera Selatan, bupati dan elit lokal memegang peran sentral dalam pengambilan keputusan terkait lahan. Kedekatan perusahaan dengan pejabat daerah seringkali menjadi faktor penentu dalam penerbitan izin—bukan keberlanjutan, bukan kajian lingkungan, dan bukan persetujuan masyarakat adat.

Penerbitan izin sering menjadi alat transaksi politik. Banyak kepala daerah menerbitkan izin konsesi sawit dalam jumlah besar menjelang pemilu untuk menggalang dukungan dana kampanye atau memperkuat jaringan politik. Bahkan, tak sedikit pejabat yang tersangkut kasus korupsi akibat praktik suap dalam alokasi izin lahan.

Contohnya, mantan Gubernur Bengkulu sempat ditetapkan sebagai tersangka karena diduga memberikan izin sawit di kawasan hutan produksi secara ilegal. Di daerah lain, seperti Ketapang (Kalimantan Barat), sejumlah perusahaan sawit besar mendapatkan izin dengan mudah berkat hubungan dekat dengan elit lokal.

Salah satu dampak paling serius dari intervensi politik lokal dalam perizinan adalah terpinggirkannya masyarakat adat dan lokal. Banyak wilayah adat yang belum memiliki sertifikat atau diakui secara hukum, sehingga mudah diklaim sebagai “lahan negara” dan diberikan kepada perusahaan. Proses ini jarang melibatkan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), yakni persetujuan bebas dan penuh informasi dari masyarakat terdampak.

Akibatnya, konflik agraria pun meledak di berbagai wilayah. Warga kehilangan akses terhadap sumber mata pencaharian seperti kebun dan hutan. Sayangnya, jalur penyelesaian seperti mediasi, gugatan hukum, hingga pengaduan ke lembaga internasional kerap gagal membuahkan hasil konkret.

UU Cipta Kerja yang disahkan pada 2020 memperluas peluang perusahaan untuk melegalkan penggunaan lahan yang sebelumnya tidak berizin. Setidaknya 3 juta hektare perkebunan sawit berada di kawasan hutan tanpa izin yang sah. Pemerintah berencana “memutihkan” sebagian besar lahan ini. Meskipun langkah ini bertujuan menyelesaikan masalah legalitas, prosesnya rentan disusupi kepentingan politik dan bisnis lokal.

Banyak pengamat menilai bahwa tanpa pengawasan ketat dan keterbukaan data, pemutihan ini justru akan melegalkan pelanggaran masa lalu dan memberi contoh buruk bagi investor baru.

Untuk mencegah penyalahgunaan wewenang politik lokal dalam izin perkebunan sawit, diperlukan reformasi tata kelola lahan yang menyentuh akar masalah:

– Digitalisasi dan keterbukaan data izin secara publik

Pengakuan hak tanah adat melalui pemetaan partisipatif

– Audit izin yang diterbitkan sejak desentralisasi

Perkuat mekanisme pengaduan masyarakat terhadap penyalahgunaan izin

– Transparansi dalam kemitraan antara perusahaan dan masyarakat lokal

Perusahaan juga perlu menjalankan tanggung jawab sosial secara sungguh-sungguh, termasuk memastikan keterlibatan masyarakat sejak awal, membangun model kemitraan yang adil, dan mendukung konservasi lingkungan.

Izin perkebunan sawit bukan sekadar urusan teknis administrasi. Ia menyangkut hajat hidup masyarakat, masa depan lingkungan, dan integritas demokrasi lokal. Ketika politik lokal lebih mementingkan keuntungan jangka pendek daripada keadilan dan keberlanjutan, maka sawit bukan lagi berkah, melainkan bencana.

Untuk itu, masyarakat sipil, media, akademisi, dan lembaga negara harus bersama-sama mengawal proses perizinan agar tetap berada di jalur yang adil, transparan, dan berkelanjutan. Karena dari sinilah masa depan industri sawit Indonesia akan ditentukan.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *