PONTIANAK, borneoreview.co – Generasiku masuk ke dalam generasi yang teramat beruntung, karena mengalami masa transisi media komunikasi dan informasi yang amat luar biasa.
Generasiku masih merasakan berkomunikasi dengan surat, telegram, telepon koin, dan memperoleh infomasi dari radio, televisi hitam putih, atau video VHS di masa lalu.
Kini, generasiku telah dipaksa membiasakan diri berkomunikasi dengan telepon gengam, internet, email, Line, WA dan beragam aplikasinya lainnya. Yang kecepatan pertukaran kabarnya, dapat berlangsung dalam hitungan sepersekian detik.
Pun, sumber informasi kami menjadi jauh beragam kini, dari media arus utama, platform berita online hingga grup-grup media sosial.
Di masaku kecil di kampong halaman di Kota Pontianak, seperti halnya masyarakat di kota-kota menengah lainnya, sumber informasi utama kami berasal dari radio.
Siaran televisi baru ada satu saluran, yakni TVRI dengan durasi siarnya dari sore hingga malam. Pada 1990, ditemani siarannya oleh TPI yang beoperasi di pagi hari.
Selanjutnya, beberapa penyiaran swasta menyusul mewarnai frekuensi televisi di kampong halaman. Kemudian, beberapa televisi lokal hadir dalam persaingan merebut minat pemirsa.
Radio yang menjadi sumber informasi adalah, radio yang beroperasi di transmisi AM. Ada beberapa radio swasta niaga yang kuingat beroperasi di kampong halaman.
Seperti, Volare di Jalan Sumatera. Mudita Buana di Merdeka Timur. Diah Rosanti di Jalan Nurali. Primadona di Jalan Sumatera. Kenari di depan Pelabuhan. Dardanela, dan Mitra Maharlika (MM) di Jalan Ahmad Yani. Serta, tentunya RRI Pontianak di Jalan Sudirman.
Beberapa radio tersebut tampaknya masih eksis hingga saat ini, dan telah pula beralih transmisi ke FM. Bahkan, beberapa stasiun ini siarannya dapat didengar di beberapa platform internet radio.
Hiburan utama di radio pada masa itu adalah, drama radio berseri. Seperti, Tutur Tinular dengan Arya Kamandarunya. Saur Sepuh dengan Brama Kumbaranya. Misteri dari Gunung merapi dengan Mak Lampirnya. Atau, butir-butir pasir di laut yang pernah disiarkan selama 15 tahun atau sekitar 5.700 episode.
Bentuk acara lainnya di radio yang banyak penggemarnya adalah kirim-kirim salam, dan lagu melalui lembaran pesan. Lembar pesan harus dibeli dan diisi oleh pengirim pesan.
Ada yang jangkauan siarannya regional. Seperti, Acara Titian Muhibah di RRI yang pesan dapat dikirimkan lintas propinsi, kemudian di-relay via transmisi SW.
Ada jangkauan lokal, seperti acara bertajuk Dona-dona di Radio Mudita Buana, yang populer di masa SMP-ku.
Ada satu program kirim-kirim salam dan lagu yang cukup unik. Acara itu berlangsung pagi menjelang siang hari di Radio Diah Rosanti. Kucoba mengingat-ingat tajuk acaranya, namun belum dapat.
Penyiarnya adalah seorang penghibur. Namanya, Bang Syukur. Dalam setiap siarannya, ia akan berperan dua karakter sekaligus. Sebagai Bang Lan, dan istrinya Mak Zaenab.
Percakapan mengenai kehidupan rumah tangga. Cerita-cerita masa lalu, hingga gurau khas Melayu pesisir Kalimantan menjadi penghidup acara tersebut.
Sepanjang siaran, ada saja yang diselipkan di antara lagu dan membaca pesan oleh Bang Lan dan Mak Zaenab, yang bikin aku sebagai pendengar tertawa geli.
Sayangnya, jaman itu belum diera digital, sehingga kerinduan akan gaya siaran Bang Syukur, tak dapat diperdengarkan kembali.
Penulis: Dr Pahrian Siregar (Alm)
