Oleh: Malindo Wardana
JAKARTA, borneoreview.co – Wakil Menteri Pekerjaan Umum Diana Kusumawati baru-baru ini berbicara di forum ARCH:ID, menekankan pentingnya penerapan bangunan gedung hijau (BGH) untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK).
Diana menyatakan, krisis iklim dan disrupsi teknologi telah membuat peran arsitektur menjadi lebih signifikan untuk mereduksi emisi karbon di sektor bangunan, yang di antaranya dapat dilakukan melalui penggunaan energi terbarukan dan prinsip bangunan gedung hijau.
Pernyataan itu dapat menjadi salah satu indikasi bahwa pemerintah menaruh perhatian besar agar bangunan berkontribusi pada pencapaian target iklim, mengingat sektor ini menjadi salah satu kontributor terbesar emisi.
Menurut Peta Jalan Penyelenggaraan dan Pembinaan BGH dari Kementerian PUPR, kini dipisah menjadi Kementerian PU dan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), bangunan gedung menyumbang rata-rata 33 persen emisi GRK sepanjang 2011–2021.
Salah satu penyebabnya adalah tingginya konsumsi energi bangunan gedung, yang menurut riset Financing Green Buildings in Indonesian Cities (2024), bangunan menyumbang 23 persen dari total konsumsi nasional.
Peralihan bangunan konvensional menjadi BGH dapat membantu mengurangi potensi peningkatan konsumsi energi yang diprediksi mencapai 40 persen pada 2030.
Padahal tingginya konsumsi energi yang bersumber dari energi fosil terbukti turut berkontribusi pada polusi udara di perkotaan.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, untuk kawasan Jabodetabek, kontribusi sektor energi terhadap polusi udara mencapai 34 persen.
Penerapan BGH yang mengedepankan efisiensi energi, air, dan material pun menjadi krusial. Kementerian PUPR memperkirakan, penerapan BGH secara masif dalam jangka panjang dapat mengurangi konsumsi energi hingga 31–54 persen dan menurunkan emisi karbon sekitar 37 juta ton pada 2030. Jika upaya ini diperluas ke tingkat kawasan, dampaknya akan sangat signifikan.
Studi International Energy Agency memperkirakan efisiensi bangunan yang diterapkan konsisten di Asia Tenggara dapat memangkas emisi karbon hingga 60 persen pada 2040.
Laporan ASEAN Energy Outlook 2022 juga menempatkan sektor bangunan sebagai prioritas utama dalam strategi efisiensi energi kawasan. Karena itu, Indonesia perlu meresponsnya dengan kebijakan yang lebih menyeluruh dan terintegrasi.
Pemerintah Indonesia telah memulai langkah awal penerapan BGH dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2021.
Aturan itu mengamanatkan penerapan standar BGH kepada pemerintah pusat, daerah, serta pemilik dan pengelola gedung, namun implementasinya masih perlu dimaksimalkan.
Berdasarkan laporan Climate Policy Initiative dan Cities Climate Finance Leadership Alliance (2024), ada enam kota, mencakup Semarang, Jakarta, Gorontalo, Pariaman, Bandung, dan Provinsi Bali yang punya regulasi lokal untuk menjalankan amanat PP tersebut.
Sertifikasi BGH di Indonesia, sesuai amanat peraturan tersebut masih perlu dimaksimalkan. Kementerian PUPR mencatat, ada 10 bangunan, satu kawasan, dan lima perumahan yang memiliki sertifikasi BGH.
Data sertifikasi non-pemerintah, Green Building Council, juga menunjukkan jumlah yang tidak signifikan, yakni110 gedung bersertifikat Greenship dan 153 EDGE.
Mengingat pemerintah melalui pernyataan Kementerian Pekerjaan Umum telah menunjukkan pentingnya sektor bangunan berkontribusi bagi pencapaian target emisi, ada sejumlah tantangan yang perlu ditangani.
Pertama, memaksimalkan implementasi regulasi. Saat ini, pedoman umum pelaksanaan BGH sudah dibuat, yaitu PP 16/2021 dan Peraturan Menteri PUPR No. 21 Tahun 2021 (Permen PUPR 21/2021) tentang Penilaian Kinerja BGH.
Namun, implementasinya di daerah masih perlu ditambah karena sejumlah hal, termasuk minimnya pengetahuan pemerintah daerah dan masyarakat tentang BGH, belum ada dukungan regulasi lokal, atau adanya regulasi lokal, namun tidak diterapkan. Salah satu contoh yang menarik adalah Kota Bandung.
Kota ini sudah memiliki regulasi lokal yang mendukung BGH, namun jumlah BGH tidak meningkat signifikan karena masih ada pelaku usaha yang menganggapnya sebagai langkah yang memberatkan.
Kedua, mispersepsi pengembang tentang BGH. Survei International Finance Corporation menunjukkan, 62 persen pengembang masih menganggap BGH sebagai beban, bukan peluang.
Biaya awal yang 30 persen lebih tinggi dan minimnya insentif fiskal memperkuat resistensi ini. Sementara dalam jangka panjang, BGH dapat menghemat energi hingga 30 persen selama 40 tahun.
Langkah strategis
Jika Indonesia ingin serius mendorong transformasi menuju BGH, setidaknya ada tiga langkah strategis yang dapat dipertimbangkan.
Pertama, penguatan sistem pengecekan bangunan gedung yang wajib menerapkan prinsip BGH.
Permen PUPR 21/2021 Bab 2 Pasal 2 telah memetakan dengan jelas kriteria bangunan gedung yang wajib menerapkan BGH.
Pengecekan bangunan gedung baru dilakukan melalui proses Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung (SIMBG), namun pengecekan bangunan gedung yang sudah ada yang wajib menerapkan BGH masih minim.
Mekanisme pengecekan bangunan gedung existing yang wajib menerapkan BGH bisa dibuat lebih komprehensif dengan memadukan pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB) dengan pengecekan. Pendekatan regulasi tersebut terbukti berhasil saat diterapkan di Vietnam.
Mengutip VnEconomy, Vietnam telah memiliki 559 bangunan bersertifikat hijau dengan total luas lantai 13,6 juta meter persegi.
Capaian ini melesat jauh melampaui target nasional, hampir 700 persen dari target 80 bangunan pada 2025, dan lebih dari 350 persen dari target 160 bangunan pada 2030 yang ditetapkan melalui National Energy Efficiency Program 2019–2030.
Keberhasilan ini didorong oleh kombinasi dukungan kebijakan, insentif fiskal, dan permintaan pasar.
Pemerintah Vietnam aktif menyusun standar teknis, seperti QCVN 09:2017/BXD, memberi akses pada pinjaman hijau berbunga rendah, dan menyederhanakan proses perizinan.
Kedua, melalui insentif yang konkret dan tepat sasaran. Pengalaman di Malaysia menunjukkan, kebijakan fiskal yang kuat dapat mempercepat partisipasi pasar.
Lewat skema Green Investment Tax Allowance (GITA) dan Green Income Tax Exemption (GITE), penyedia jasa teknologi hijau, seperti konsultan dan desainer bangunan hijau mendapat pengurangan pajak hingga 70 persen dari penghasilan kena pajak selama tiga tahun.
Menurut riset Tax Incentive for Green Initiatives, insentif ini efektif membentuk ekosistem jasa pendukung BGH.
Efektivitasnya dapat dilihat dalam beberapa praktik nyata. TAKO Lightning System, misalnya, memanfaatkan GITA untuk memasang panel surya FirstSolar dan menurunkan biaya energi secara signifikan.
Mah Sing Group menerapkan sistem surya 1,8 MWp yang memangkas emisi hingga 1.400 ton CO₂ per tahun, sementara Yakult Malaysia mencatat pengurangan emisi 960 ton CO₂ per tahun dari sistem PV 1 MWp di pabriknya di Seremban.
Secara nasional, insentif ini juga mendorong proyeksi investasi hijau hingga RM1,3 triliun pada 2050, menciptakan sekitar 310 ribu lapangan kerja, dan menyumbang RM220 miliar terhadap PDB.
Ketiga, memperkuat kolaborasi lintas sektor. Di Surabaya dan Batam, misalnya, proyek Sustainable Energy Transition in Indonesia (SETI) yang diinisiasi oleh Pemerintah Jerman bekerja sama dengan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM yang dilaksanakan oleh konsorsium GIZ, IESR, WRI, dan CERAH memberikan sejumlah dukungan kepada pemerintah kota.
Proyek ini bertujuan mendukung dekarbonisasi industri dan bangunan melalui penerapan energi terbarukan dan konservasi energi secara terintegrasi.
Inisiatif lain juga telah dan sedang dilakukan untuk mendukung BGH, seperti kolaborasi antara Pemkot Samarinda, Global Building Performance Network (GBPN), dengan Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG).
Kerja sama ini kemudian diadopsi dalam Keputusan Wali Kota Samarinda No. 55/2021, menjadikan Samarinda kota pertama di luar Jawa yang menetapkan regulasi yang mendukung bangunan hijau.
Model kolaboratif seperti ini memperlihatkan, ketika berbagai pihak bergerak bersama, dekarbonisasi sektor bangunan menjadi lebih mungkin diwujudkan.
Semua langkah tersebut menunjukkan bangunan hijau bukan pilihan tambahan, melainkan pilar penting menuju kota yang adaptif iklim dan menguntungkan dalam jangka panjang.
Untuk mengimplementasikannya, BGH membutuhkan dukungan kebijakan, kapasitas pelaku, dan kemauan politik yang kuat dari pemerintah. (Ant)
*Penulis merupakan Manajer Proyek IESR untuk Sustainable Energy Transition in Indonesia (SETI)