PONTIANAK, borneoreview.co – Banjir bandang dan longsor menerjang Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, pada 24 November 2025.
Bencana memperlihatkan betapa rapuhnya kondisi ekologis kawasan hulu, saat ini.
Gelondongan kayu dan lumpur yang menghantam rumah warga bukan hanya dipicu intensitas hujan. Tapi merupakan tanda, fungsi perlindungan hutan sudah jauh menurun.
“Ketika daya dukung ekologis melemah, air tidak lagi mengalir secara terkendali,” tulis Doni Latuparisa, Batang Toru Program Manager, Konservasi Indonesia.
Arus besar datang membawa material yang merusak, dan masyarakat hilirlah yang harus menanggung akibat paling nyata.
Tekanan ekologis di Batang Toru meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa perusahaan dari berbagai sektor beroperasi di kawasan ini.
Aktivitas konstruksi untuk akses jalan, fasilitas penunjang, hingga pembukaan lahan baru, terus berkembang.
Citra satelit memperlihatkan pola bukaan lahan yang meluas dan terfragmentasi, terutama di sekitar tambang, PLTA, dan area perkebunan besar.
Setiap bukaan baru memotong fungsi ekologis hulu yang sebelumnya mampu mereduksi limpasan air dan menjaga stabilitas tanah.
Ketika area terbuka semakin banyak, kemampuan ekosistem untuk menahan tekanan cuaca ekstrem pun menurun.
Pada saat yang sama, dinamika pengelolaan di area penggunaan lain yang mencakup hampir 40 persen lanskap Batang Toru menambah tekanan yang tidak kecil.
Data dari Kementerian Kehutanan mengungkap bahwa pemegang hak atas tanah membuka lahan dan menebang kayu alam dalam skala besar untuk dimanfaatkan.
Aktivitas ini meningkat dalam dua tahun terakhir dan menimbulkan kekhawatiran di kalangan organisasi masyarakat sipil.
Mereka melihat kegiatan tersebut sebagai salah satu penyebab kayu gelondongan ikut terbawa arus ketika banjir terjadi.
“Di beberapa titik, pembalakan liar juga masih terdeteksi dan memperberat kondisi yang sudah rentan,” tulis Doni Latuparisa.
Hilangnya pohon, akar, serta vegetasi penahan tanah menyebabkan lereng menjadi tidak stabil dan mudah runtuh dalam curah hujan tinggi.

Kelemahan ekologis di hulu memiliki implikasi langsung terhadap masyarakat di hilir.
Batang Toru menjadi kawasan tangkapan air bagi Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, dan Kota Sibolga.
Ketika tutupan hutan berkurang, kemampuan sungai mengatur debit air terganggu. Aliran yang dulu mengalir stabil, kini berubah menjadi arus besar yang mudah meluap.
Desa, seperti Huta Godang, Anggoli, Bulu Mario, dan Aek Batang Paya, menjadi salah satu lokasi yang paling terdampak dalam peristiwa banjir bandang dan longsor, kali ini.
Situasi ini menegaskan bahwa persoalan Batang Toru bukan hanya soal konservasi satwa atau hutan, tetapi juga menyangkut keselamatan manusia.
“Di tengah tekanan tersebut, upaya rehabilitasi kawasan hulu terus berjalan,” tulis Doni Latuparisa.
Konservasi Indonesia bersama para pemangku kepentingan melakukan pemulihan di sekitar Cagar Alam Dolok Sipirok dengan melibatkan masyarakat.
Sekitar 150 hektare area terdegradasi telah persiapan rehabilitasi dan ditargetkan mencapai 500 hektare untuk memulihkan stabilitas tanah dan kapasitas serapan air di hulu.
Pada saat yang sama, pemulihan koridor ekologis, seperti Bulu Mario dan Aek Malakkut, diperkuat guna mempertahankan keterhubungan habitat orang utan Tapanuli.
Kedua koridor ini relatif masih baik, tetapi meningkatnya tekanan pada area sekelilingnya menunjukkan perlunya pengelolaan yang lebih cermat agar fungsi ekologisnya tetap terjaga.
Semua inisiatif lapangan ini penting, namun tidak akan cukup jika kebijakan tata ruang dan proses perizinan tidak bergerak dalam arah yang sama.
Pemerintah provinsi telah memiliki instrumen penting berupa Kelompok Kerja Pengelolaan Terpadu Ekosistem Batang Toru dan dokumen perencanaan terpadu lintas kabupaten dan kota.
Dokumen tersebut merangkum kepentingan berbagai pihak, mulai dari pemerintah daerah, perusahaan, hingga organisasi masyarakat sipil.
Tanpa kejelasan kebijakan operasional yang membuat dokumen ini mengikat dan diimplementasikan secara konsisten, upaya pemulihan di lapangan akan terus tertinggal dibandingkan laju perubahan lanskap.
“Pasca-bencana ini, arah kebijakan perlu diperkuat,” tulis Doni Latuparisa.
Evaluasi menyeluruh terhadap izin yang beroperasi di kawasan Batang Toru menjadi langkah penting agar pemanfaatan lahan tetap berada dalam batas yang dapat ditoleransi lingkungan.
Evaluasi ini tidak hanya mencakup izin perusahaan industri dan energi, tetapi juga izin pemanfaatan kayu alam oleh pemegang hak atas tanah di area penggunaan lain.
Jika penataan ulang izin tidak dilakukan sekarang, risiko bencana serupa akan terus berulang.
Selain itu, penegasan kawasan hulu sebagai daerah tangkapan air melalui kebijakan tata ruang perlu diprioritaskan.
Tanpa penetapan formal yang memberikan status perlindungan lebih kuat, kawasan hulu akan tetap menghadapi tekanan pembukaan lahan yang tidak terkendali.
Koridor ekologis, seperti Bulu Mario dan Aek Malakkut, juga perlu ditetapkan dalam dokumen tata ruang agar perlindungan mereka bersifat mengikat dan tidak hanya menjadi rekomendasi teknis.
Pemantauan perubahan tutupan hutan juga harus diperkuat melalui teknologi penginderaan jauh serta sistem deteksi dini.
Dengan pemantauan yang lebih cepat dan akurat, perubahan lanskap bisa diketahui lebih awal dan ditangani sebelum berkembang menjadi persoalan besar.
Pengawasan manual di lapangan tetap penting, namun perlu didukung sistem data yang mampu memberikan gambaran menyeluruh dan responsif.
“Masyarakat lokal sudah lama menunjukkan komitmen untuk menjaga Batang Toru,” tulis Doni Latuparisa.
Mereka membentuk kelompok wanatani, masyarakat mitra polisi kehutanan, serta berbagai komunitas desa yang aktif memantau kondisi hutan, menanam kembali area yang rusak, dan melaporkan aktivitas berisiko di lapangan.

Peran mereka menjadikan masyarakat sebagai garda terdepan dalam menjaga kawasan hulu.
Jika dukungan kebijakan diperkuat dan diberikan secara konsisten, kapasitas mereka dalam mencegah kerusakan dan menjaga stabilitas ekologi Batang Toru akan semakin besar.
“Batang Toru merupakan benteng ekologis bagi wilayah Tapanuli,” tulis Doni Latuparisa.
Kawasan ini tidak hanya menjadi habitat orang utan Tapanuli dan satwa langka lainnya, tetapi juga penyangga sistem hidrologi yang memengaruhi kehidupan ribuan keluarga.
Membiarkan hulu terus terdegradasi berarti membuka jalan bagi bencana yang semakin sering dan semakin sulit dikendalikan.
Banjir bandang pekan lalu tidak boleh dipandang sebagai kejadian alam biasa. Peristiwa tersebut merupakan peringatan yang harus direspons dengan langkah konkret.
Kebijakan ruang yang lebih ketat, peninjauan ulang seluruh izin, dan implementasi penuh pengelolaan terpadu perlu dilakukan tanpa penundaan.
Keterlambatan hanya akan membuat tekanan semakin berat dan risiko bagi masyarakat semakin besar.
Batang Toru membutuhkan keputusan yang tegas hari ini agar tidak terus menjadi titik rawan bencana di tahun-tahun mendatang.***
