Site icon Borneo Review

Bentang Laut Sunda Kecil Wajib Dilindungi untuk Indonesia dan Dunia

Transplantasi Terumbu Karang

Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Selatan bersama kelompok masyarakat mentransplantasi terumbu karang menggunakan metode Jaring Laba-laba di area 3 di Kecamatan Pulau Sembilan Kabupaten Kotabaru, Selasa (24/9/2024). ANTARA/HO-Dislutkan Kalsel

JAKARTA, borneoreview.co – Bentang Laut Sunda Kecil (BLSK), wajib dilindungi demi dunia dan Indonesia.

Bentang Laut Sunda Kecil menjadi salah satu prioritas konservasi. Alasannya, BLSK memiliki keanekaragaman terumbu karang yang sangat kaya, termasuk habitat unik.

Bentang Laut Sunda Kecil menjadi wilayah yang mendukung berbagai fase kehidupan spesies laut, termasuk migrasi marine megafauna; area pemijahan, mencari makan, serta area asuhan ikan karang dan ikan pelagis.

Perhatian terhadap Bentang Laut Sunda Kecil, merupakan perhatian para pejabat senior dunia di Indonesia. Yang baru saja menghadiri Konferensi Kelautan PBB (UNOC) ketiga di Nice, Prancis, pada 9-13 Juni 2025.

Konferensi itu dimaksudkan untuk mencapai rancangan perjanjian, demi meningkatkan perlindungan laut yang lebih ambisius, melalui kerja sama multilateral.

Tujuan UNOC3, di antaranya berupaya memobilisasi sumber pendanaan dengan tujuan melestarikan, dan menggunakan sumber daya kelautan secara berkelanjutan.

Selain itu, memperkuat serta menyebarluaskan pengetahuan terkait ilmu kelautan, sehingga menghasilkan kebijakan yang mendukung perlindungan laut.

Di Indonesia, upaya-upaya yang sejalan dengan ambisi dalam UNOC3 terus menerus dilakukan.

Program itu mulai dari pembentukan kawasan konservasi perairan, seperti di Pulau Wetar (Provinsi Maluku); Belu (Provinsi Nusa Tenggara Timur); dan Teluk Saleh (Provinsi Nusa Tenggara Barat), hingga inisiatif pengelolaan laut antarnegara di level bentang laut (seascape).

Pengelolaan seascape (lanskap laut) dimulai pada 2024, melalui Proyek Solusi untuk Ketahanan Pesisir dan Laut di Segitiga Karang (SOMACORE).

Proyek ini merupakan kelanjutan dari inisiatif kerja sama multilateral Coral Triangle Initiative (CTI) yang diluncurkan tahun 2009 oleh para pemimpin negara dalam acara World Ocean Conference (WOC) di Manado.

Inisiatif ini bertujuan untuk menjaga wilayah Segitiga Terumbu Karang bersama negara-negara lain, seperti Malaysia, Filipina, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Timor Leste.

Segitiga Terumbu Karang merupakan sumber daya paling berharga bagi jutaan orang yang tinggal di wilayah pesisir dan sekitarnya.

Hal itu, karena kawasan tersebut menyediakan sumber daya perikanan sebesar lebih dari USD3 miliar dan hasil tangkapan tuna senilai USD1,5 miliar.

Kawasan itu mendorong kemakmuran dengan menyumbang USD1,2 triliun dalam bentuk produk domestik bruto (PDB) dan menghasilkan lebih dari USD24,7 miliar dalam pariwisata berbasis alam dan petualangan.

Di wilayah Segitiga Terumbu Karang, terdapat tiga bentang laut. Yaitu, Bentang Laut Sulu-Sulawesi (SSS) meliputi antara laut Filipina, Malaysia, dan Indonesia di sisi utara Kalimantan dan Kalimantan Timur di Derawan.

Ada Bentang Laut Bismarck Solomon Seas (BSS) yang membentang dari Kepala Burung Papua, Papua Nugini, hingga Solomon Island; dan Bentang Laut Sunda Kecil.

Bentang laut merupakan daerah yang kaya akan nutrien karena fenomena upwelling, yaitu fenomena alam di mana air laut dari lapisan dalam yang kaya nutrien naik ke permukaan.

Melindungi BLSK

Bagaimana melindungi BLSK dapat mendukung ambisi Indonesia mencapai target 30 persen perlindungan laut nasional pada 2045?

Sebagaimana ditegaskan kembali oleh Direktur Konservasi Ekosistem Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Firdaus Agung dalam UNOC3, 10 Juni 2025, Indonesia ingin memenuhi target melindungi 30 persen laut dunia pada 2030 yang mencakup kawasan konservasi laut hingga lebih dari 97 juta hektare, dibanding saat ini 14,4 juta ha.

BLSK adalah wilayah perairan seluas lebih dari 35 juta ha dan hampir 11 ribu kilometer garis pantai yang mencakup Provinsi Bali, NTB, NTT, dan sebagian Kabupaten Maluku Barat Daya di Pulau Wetar, hingga Timor Leste, dan menjadi salah satu ecoregion paling kaya di kawasan timur Indonesia.

Dari hasil kajian pakar kelautan, Kawasan BLSK menduduki peringkat ketiga dalam keankearagaman hayati laut dan spesies endemik, setelah Papua dan Laut Banda.

BLSK memiliki ekosistem terumbu karang dengan resiliensi yang sangat tinggi (nomor 5 dari 50 BCU/biological climate unit), punya potensi perikanan tangkap dan rumput laut yang cukup besar, dan memiliki potensi pemanfaatan pariwisata bahari yang cukup potensial, terutama untuk aktivitas diving.

Bentang laut ini dilintasi oleh spesies karismatik Pygmy Blue Whale (Paus Biru Kerdil) yang wilayah migrasinya sangat luas dan memiliki peran krusial dalam menyuburkan laut serta menyerap karbon.

Karena itu, inisiatif pertama yang sedang dikerjakan untuk BLSK. Yaitu, mendorong kolaborasi marine migratory species atau perlindungan spesies bermigrasi laut.

Paus Biru Kerdil yang bermigrasi dari Australia, melewati Laut Sawu, Selat Ombai, dan berenang ke Pulau Banda, di utara Pulau Seram, hingga Papua, memiliki peran krusial dalam menyuburkan laut dan menyerap karbon.

Selain itu, area yang dilintasi Pygmy Blue Whale untuk bermigrasi di NTT, khususnya di Laut Sawu hingga Selat Ombai, merupakan jalur pelayaran yang sibuk.

Sementara spesies ini sangat rentan terhadap suara kapal, ditambah lagi aktivitas eksplorasi minyak dan gas bumi, yang memunculkan tantangan tersendiri.

Inisiatif kedua, yaitu pengelolaan kolaboratif sumber daya perikanan (fisheries collaborative management) di Selat Ombai, yang menghubungkan perairan Indonesia dan Timor Leste.

Di selat inilah nelayan kedua negara, Kabupaten Belu di Indonesia dan Distrik Bobonaro di Timor Leste, memenuhi kebutuhan ikan yang meliputi tuna, cakalang, tongkol, ikan pelagis kecil, dan ikan demersal.

Merujuk data tahun 2018, jumlah nelayan di wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste yang melaut di Selat Ombai sebanyak 2.011 orang, terdiri dari 1.670 nelayan Kabupaten Belu dan 341 nelayan di Distrik Bobonaro.

Beberapa isu penting terkait pengelolaan perikanan lintas batas di Selat Ombai, di antaranya pemanfaatan ikan yang tidak berkelanjutan; kerusakan habitat penting; dan ketidaksesuaian teknologi dan kapasitas penangkapan ikan di antara nelayan kedua negara.

Inisiatif ketiga untuk BLSK, yaitu kerja sama berbasis ilmu pengetahuan yang dilakukan antara lembaga kampus, riset, dan praktisi yang diharapkan menjadi alternatif dalam mendukung tata kelola bentang laut yang sedang diinisiasi oleh Pemerintah Indonesia dan Timor Leste.

Kolaborasi ini dimaksudkan untuk menghasilkan riset bersama mengenai isu kelautan dan perikanan, serta berbagi pengetahuan dan peningkatan kapasitas.

Salah satu riset yang dibutuhkan, yaitu kajian marine migratory species, terutama terkait distribution and movement, population for marine traffic analysis.

Kajian ini bermanfaat untuk melakukan perlindungan kolektif antara Indonesia dan Timor Leste dalam marine migratory specie, serta bagaimana peluang pemanfaatan dalam pariwisata pengamatan paus secara berkelanjutan di kedua negara.

Keempat, mengembangkan marine protected area (MPA) network untuk membangun jejaring di antara pengelola di kedua negara.

Para pengelola kawasan dapat memaksimalkan MPA Network untuk bertukar gagasan dan ruang pembelajaran bersama, serta memberi keuntungan yang lebih baik dalam konteks perlindungan ekologi; sumber daya perikanan; dan pariwisata berkelanjutan.

Di Indonesia, ada MPA Alor yang sudah masuk dalam kategori level emas dalam penilaian evaluasi efektifitas pengelolaan kawasan konservasi (EVIKA), dan sebagai salah satu pusat pembelajaran unggulan kawasan konservasi perairan di Indonesia.

Sementara di Timor Leste, seperti di Pulau Atauro, telah diprioritaskan oleh pemerintah sebagai wilayah MPA.

Pulau yang terpisah dari mainland Timor Leste ini didesain sebagai lokasi perlindungan biodiversity, pariwisata berkelanjutan, dan perikanan berkelanjutan.

Jika ekosistem Bentang Laut Sunda Kecil berhasil dijaga dan dilindungi, ada kontribusi besar yang nyata dari perairan Indonesia dan Timor Leste untuk mengatasi perubahan iklim dan ketahanan pangan dunia.

*) Tutus Wijanarko adalah IKI SOMACORE Project Lead, Konservasi Indonesia

Exit mobile version