Besakat dan Lapis: Bumbu Pergaulan yang Dapat Membuat Kawan Meradang

Antaran Pengantin

PONTIANAK, borneoreview.co – Kehidupan di kampong halaman, Pontianak sangatlah guyub dan cair.

Hal ini tak lain disebabkan kehidupan kota yang berlatarbelakang multietnis, sejak sedari awal kota Pontianak terbentuk.

Buktinya, lihat lah nama-nama pemukiman yang ada. Misalnya, ada Kampong Saigon, Benua Melayu, Kampong Arab, Kampong Bangka Belitung, atau Sentiong yang artinya Pekuburan Cina.

Letak kampong halamanku yang berada di tempat bertemunya Sungai Kapuas dan jalur perdagangan utama nusantara, menjadikannya kosmopolitan.

Lahir dan bertumbuh remaja di kampong halaman, Pontianak menjadikan aku tumbuh dan jamak berinteraksi dengan beragam teman, dari beragam etnisitas dan agama.

Kurasa cukup lengkap temanku dulu, bahkan cukup banyak yang diistilahkan pangtongpang, sebuah istilah bahasa Tionghoa yang artinya campuran beragam etnis.

Nah, di dalam kehidupan sehari-hari, besakat atau cela-celaan di antara teman menggarami pergaulan, yang bahkan sakatannya sampai menyinggung peranakan.

Rasanya tak ada perjumpaan yang tak diwarnai saling besakat. Ada satu hukum di dunia persakatan, jangan pernah menyakat teman lainnya, jika tak mau disakat.

Pada satu putaran, kita akan menjadi korban sakatan, di putaran lainnya. Jika beruntung kita dapat menjadi penyakat.

Saat menjadi korban sakatan, ada pula hukum lainnya, yakni tidak boleh cepat tersinggung atau bahasa kampongku pendek tongkek.

Ada satu strategi yang harus dimiliki saat menjadi korban disakat, yakni kemampuan mengalihkan cerita atau memindahkan posisi sakatan ke teman yang lain.

Nah, strategi ini dikenal pula dengan sebutan lapes. Orang yang mampu menghindar dari posisi korban sakatan, biasanya kami gelari kuat lapes.

Cara lainnya, yang biasanya cukup manjur memindahkan posisi korban sakatan adalah dengan memasang muka slembe atau muka tak berdosa, sehingga membuat sang atau  para penyakat kehilangan antusiasme.

Suasana sakat menyakat di kampong halaman, sering membuat rindu bagi aku yang hidup di perantauan.

Saat pulang kampong atau berjumpa teman sekampong di perantauan, suasana itu selalu ingin dihidupkan.

Walaupun konsekuensinya, bab-bab masa lalu dan memori sekitarnya kerap dibaca ulang. Sembari minum kopi dan tawa cekikikan.

Penulis: Dr Pahrian Siregar (Alm)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *